Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 23 Oktober 2023

Lingkungan Berkelanjutan: Tergantung Integritas Pemimpin

Kita ingin pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Syaratnya: punya pemimpin berintegritas.

Integritas pemimpin dalam pengelolaan lingkungan

PIKIRAN rasional individu bisa mendorong tindakan rasional kolektif. Contohnya transportasi. Menyetir sendiri kendaraan ke tempat kerja merupakan pilihan rasional karenan lebih nyaman dan fleksibel dibanding transportasi publik. Namun, ketika semua orang berpikir sama, hasilnya kemacetan lalu lintas. Maka rasional individu yang menjadi rasional kolektif menjadi tidak rasional ketika kita lihat memakai perspektif yang lebih luas.

Dengan perspektif yang sama kita bisa memakainya untuk isu lingkungan sebagai barang publik (public goods). Rasionalitas individu tidak selalu sama dengan logika kolektif. Dalam “Overcoming the Environmental Collective Action Problem” di Essex Student Journal (2019), Kristina Raulo Enger menunjukkan hasil pemeriksaan masalah tindakan kolektif dalam pengelolaan lingkungan hidup dan menyarankan bagaimana mengatasi tantangan.

Konstruksi Kayu

Pertama, tindakan rasional. Meskipun setiap tantangan berbeda di berbagai negara atau lokasi, mengelola lingkungan hidup secara lokal sampai global perlu ditangani melalui tindakan kolektif. Tindakan kolektif adalah tindakan yang diambil sebagai aksi kelompok, dari semua tingkatan dan ukuran, untuk mewujudkan tujuan bersama. Tindakan kolektif tidak sama dengan gabungan tindakan rasional individu.

Kedua, tindakan kolektif menimbulkan masalah ketika tindakan tersebut menguntungkan kelompok tertentu atau menciptakan konflik antara kepentingan individu dan kelompok. Setiap individu memiliki kesempatan untuk bertindak demi kepentingan mereka sendiri.

Dengan dasar asumsi dalam teori pilihan rasional, individu memilih tindakan berdasarkan apa yang lebih sesuai dengan preferensi pribadi. Pilihan ini berpotensi membuat orang lain menjadi lebih buruk. Dengan kata lain, ada konflik kepentingan antara tindakan pribadi dan apa yang menjadi kepentingan terbaik bagi orang banyak atau publik. Misalnya pengelolaan lingkungan berkelanjutan.

Dalam The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups (1971), Mancur Olson berargumen bahwa organisasi, komunitas atau suatu negara, harus menjalankan fungsinya ketika anggotanya memiliki kepentingan bersama. Dengan kata lain, kelompok yang lebih besar tidak akan bertindak sesuai dengan kepentingan publik, kecuali individu-individu dari kelompok itu secara pribadi mendapatkan manfaat dari tindakan kolektif tersebut.

Ketiga, hambatan tindakan kolektif muncul dalam dua cara, yaitu ketidaktahuan dan/atau dominasi rasionalitas individu. Ketidaktahuan muncul karena kurangnya informasi, atau ketiadaan kemauan untuk mencari informasi tersebut, atau karena salah tafsir dalam menerima sebuah informasi.

Ketidaktahuan bisa terjadi akibat kurangnya kepastian, misalnya bagaimana seseorang yakin bahwa skema baru, seperti tambahan biaya penggunaan kantong plastik akan mengurangi jumlah kantong plastik. Tujuan akhirnya adalah mengurangi plastik yang berbahaya bagi lingkungan. Karena informasi kurang lengkap, seseorang memilih mengabaikan sepenuhnya perspektif itu dengan mengorbankan uang mereka membeli plastik.

Keempat, ketika akan menjalankan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah lingkungan, semua orang punya dua pilihan. Bekerja sama atau tidak. Ketika memilih tidak bekerja sama, aksi kolektif muncul. Alasan di balik memilih tidak bekerja sama biasanya cukup logis. Karena umumnya orang akan mengandalkan orang lain, sambil berharap ketika tidak ikut bekerja sama, orang lain akan mengambil peran.

Tetapi ketika banyak orang berpendapat seperti itu, kerja sama itu biasanya gagal. Penjelasannya ada dalam konsep “dilema tahanan (prisoner dilemma)”.

Jika ada dua orang tahanan, sipir akan memisahkan keduanya untuk mencegah mereka berkomunikasi. Dengan begitu, mereka tidak akan bisa bekerja sama kabur atau merekayasa fakta kejahatan mereka. Ketika mereka tidak saling komunikasi, biasanya satu sama lain menimpakan kejahatan itu kepada yang lain.

Artinya pengakuan bisa muncul tidak berdasarkan motif tiap orang secara independen, melainkan tergantung pada pengakuan orang lain. Tak membuat sampah terkesan nonsense jika orang lain tak melakukan tindakan serupa.

Pemerintahan negara-negata Nordik—Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, dan Swedia—memberlakukan biaya tambahan untuk botol minuman yang diberi tanda skema daur ulang. Biaya tambahan itu kemudian dikembalikan ke konsumen saat mereka mengumpulkan botol bekas di titik pengumpulan tertentu. Mereka mengembangkan sistem penyimpanan nasional dan warga menerima hadiah untuk semua botol yang dikembalikan. Botol-botol itu didaur ulang, sehingga tidak lagi memproduksi botol baru. Kondisi ini telah menguntungkan dari sudut pandang lingkungan hidup.

Dengan mengaitkannya pada fenomena dilema tahanan, masyarakat dan lingkungan akan mendapat manfaat dari semua orang yang bekerja sama dan mendaur ulang botol mereka. Namun, agar skema tersebut mencapai tujuan, tidak cukup jika hanya sedikit orang yang bersedia bekerja sama. Masalahnya, memotivasi semua orang agar bekerja sama tidak cukup hanya dengan mewajibkannya secara hukum.

Untuk itu, peran pemimpin, reputasi dan integritas serta rasa saling percaya menentukan apakah anggota komunitas mau bekerja sama mencapai tujuan bersama. Peraturan-perundangan yang dibuat melindungi lingkungan hidup, individu cenderung tetap membelot. Orang-orang ini biasa disebut sebagai “penunggang gratis (free riders)”. Mereka tidak bersedia bekerja sama, walaupun ikut menikmati manfaatnya.

Untuk itu, kepatuhan terhadap hukum yang cenderung memaksa, tidak selalu bisa berjalan akibat perbuatan menyimpang, berdasarkan sifat pilihan rasional yang menguntungkan. Ironisnya untung-rugi bagi individu tidak selalu sejalan dengan untung-rugi bagi publik.

Maka baik-buruk pengelolaan lingkungan hidup, baik-buruknya pembangunan berkelanjutan, selain ditentukan oleh hukum, juga integritas, reputasi, dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin.

Ikuti percakapan tentang perkembangan berkelanjutan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain