UNTUK mencegah kenaikan suhu bumi di bawah 1,5o Celsius, penduduk dunia harus mengurangi secara drastis emisi gas rumah kaca dan ketergantungan terhadap energi fosil. Sedikitnya kita perlu mengurangi penggunaan batu bara, minyak bumi, dan gas alam hingga 90%.
Untuk mewujudkannya ada satu skema meurunkan emisi gas rumah kaca dengan cara menebus emisi atau yang dikenal sebagai carbon offset.
Carbon offset adalah upaya menyeimbangkan emisi karbon suatu kegiatan dengan cara mereduksi emisi gas rumah kaca atau meningkatkan simpanan karbon di tempat lain. Salah satu yang terkenal melalui konservasi hutan.
Skema penebusan karbon ini dengan asumsi hutan sebagai penyerap karbon yang efektif. Selain itu, hutan juga menyediakan berbagai manfaat. Tak heran jika banyak perusahaan berbondong-bondong terlibat dalam konservasi hutan agar mereka bisa menyeimbangkan emisi karbon mereka. Sayangnya, alih-alih menyeimbangkan emisi karbon, banyak kegiatan carbon offset di hutan yang tak tepat sasaran, salah perhitungan, dan tidak bernilai.
Salah satu yang terkenal adalah program REDD+. Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) merupakan program perlindungan hutan terancam dan kemudian memonetisasinya dengan mengeluarkan kredit karbon. Sehingga, di satu sisi, mereka mencegah deforestasi di hutan terancam dan hasil penjualan karbonnya mereka gunakan untuk perlindungan dan konservasi di hutan terancam tersebut.
Walau terdengar keren, program REDD+ tidak memberikan pengurangan emisi karbon dan penurunan deforestasi signifikan. Berdasarkan penelitian di jurnal Science pada Agustus 2023, sebanyak 94% program carbon offset dari REDD+ memiliki nilai penurunan emisi karbon yang lebih kecil dibanding yang mereka klaim. Di mana mereka telah mengklaim 89 juta ton karbon setara CO2 kredit karbon.
Para peneliti menganalisis 26 proyek REDD+ yang ada di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Selatan. Para peneliti lalu fokus ke 18 proyek yang sudah memiliki publikasi dan informasi cukup. Hasilnya, hanya 6% karbon kredit yang benar-benar riil sebagai penurunan atau pencegahan emisi karbon.
Sebanyak 68% atau sekitar 60 juta kredit karbon, datang dari hutan yang tidak terancam dan tak memiliki dampak signifikan terhadap penurunan deforestasi. Sisanya datang dari hutan yang berdampak terhadap pengurangan deforestasi, namun tidak sebanyak seperti yang mereka klaim.
Pada 2018, CIFOR juga mengeluarkan publikasi pengamatan dan analisis REDD+. Mereka menganalisis program REDD+ di 22 negara tropis dan menemukan bahwa kegiatan pengurangan deforestasi dan degradasi lahan memberikan dampak positif untuk hutan.
Walau begitu, banyak juga program REDD+ yang berlokasi di hutan yang tak terjangkau membuatnya sulit diawasi dan diverifikasi. Hutan tersebut juga memiliki risiko sangat minimal dirambah.
Alih-alih menjadi alat menurunkan emisi, carbon offset seringkali dianggap sebagai alat untuk greenwashing. Jadi, apakah carbon offset menjadi solusi atasi krisis iklim?
“Kesempurnaan sulit didapat. Sangat sulit menghitung kredit karbon hasil carbon offset di hutan. Tapi, itu bukan berarti kegiatan carbon offset ide yang buruk,” Dr. Robert Nasi, CEO CIFOR-ICRAF.
Menurut Nasi, carbon offset hutan harus benar-benar didesain dan diimplementasikan secara baik. Beberapa elemen kunci yang perlu diperhatikan adalah menjamin hutan dalam program ini adalah hutan yang terancam dan akan hilang tanpa kehadiran program carbon offset.
Selain itu, merestorasi hutan yang rusak, meningkatkan kehadiran pohon di lahan pertanian, dan memastikan partisipasi masyarakat lokal menjadi kunci utama carbon offset berperan dalam mencegah krisis iklim.
Tak ada solusi tunggal mengatasi krisis iklim. Setiap solusi harus saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Kebijakan, energi terbarukan, konservasi hutan dan laut, dan segala solusi lainnya harus saling berbaur dan berjalan secara koheren.
Ikuti percakapan tentang carbon offset di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :