Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 30 Oktober 2023

Jati Diri Kaum Akademik

Para ilmuwan menerbitkan riset pertanian dan masyarakat adat di jurnal ilmiah bahasa asing. Makin jauh sebagai problem solving.

Jati diri kaum akademik

SAAT saya menulis artikel ini, media memberitakan kelaparan di Papua. Ribuan warga Kabupaten Yahukimo kesulitan mendapatkan makanan sejak Agustus 2023. Kelangkaan pangan terjadi karena curah hujan yang tinggi sehingga tanaman ubi dan patatas yang menjadi makanan pokok orang Papua gagal panen.

Kelangkaan pangan yang memicu kelaparan di Papua bukan kali ini terjadi. Pada 2005, sebanyak 55 orang meninggal akibat keterlambatan musim tanam. Tahun berikutnya juga terjadi kelaparan dengan 95 orang meninggal akibat suhu dingin yang ekstrem. Tiga tahun kemudian jumlah penduduk yang tewas naik menjadi 100 karena gagal panen. Tahun ini, hingga Juli, enam orang meninggal karena suhu dingin dan sebelas tewas karena curah hujan yang ekstrem.

Konstruksi Kayu

Setelah Indonesia merdeka 80 tahun, ketika dunia sibuk membuat kecerdasan buatan, kita masih menghadapi masalah purba ini. Lalu, di mana manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi

Dalam “Improving Social Equity and Justice Through Agriculture” oleh Global Impact Investing Network (GIIN) ada pembahasan bahwa sistem pertanian berkelanjutan memerlukan kesetaraan, keadilan, kesejahteraan, dan martabat pekerja pertanian, petani penggarap, serta pemilik pertanian hingga pekerja dan pemilik usaha dalam rantai pasokan pangan.

Di Indonesia terdapat penduduk miskin umumnya mengandalkan hidup dari pertanian. Pada Maret 2023, menurut Badan Pusat Statistik, penduduk miskin berjumlah 25,90 juta. Namun, secara agregat, meski pembangunan maju, ia juga mundur: maju dalam pemanfaatan sumber daya alam, tapi mundur dalam menutup kesenjangan kaya dan miskin, pemerataan pendidikan, hingga mencegah pencemaran lingkungan

Kasus kelaparan dan kematian di Papua Pegunungan bisa jadi hanya gejala. Masalah sesungguhnya dari peristiwa itu perlu kita temukan dan telusuri bersama. Sebab, kematian itu pasti berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam oleh sistem pemerintahan, sistem informasi, dan sistem pengetahuan.

Berbagai sistem itu kini sedang didominasi oleh sistem administrasi yang mengelabuhi dunia nyata. Seolah-olah kelaparan bisa dicegah jika anggaran pembangunan bisa terserap 100 persen.  Kesenjangan kaya-miskin bisa dicegah oleh penerbitan ribuan jurnal ilmiah tentang kebijakan pertanian dan sistem pertanian berkelanjutan

Metodologi untuk memahami hal tertentu (subject matter) semestinya juga dipakai untuk memecahkan persoalan di dunia nyata (problem solving). Masalahnya, metode pencarian fakta menghasilkan fakta sebagian, belum memotret problem secara keseluruhan. Akibatnya, ribuan jurnal, ribuan metode, juga menghasilkan solusi yang parsial.

Hak-hak kolektif masyarakat adat adalah fakta. Tapi, ia terabaikan ketika kita membuat kebijakan tentang pemetaan sumber daya alam, demarkasi, dan delineasi hak kepemilikan. Padahal susutnya pertanian antara lain akibat penggusuran hak-hal petani ini. Di Pulau Rempang, Batam, hak masyarakat terhadap lahan tetap tergusur meski mereka sudah mendapat pengakuan dan perlindungan secara hukum.

Bila perguruan tinggi bisa memahami fakta untuk menyelesaikan masalah nyata yang dialami petani, orientasi pengetahuan masih memerlukan pendekatan transdisiplin—misalnya temuan teknologi memerlukan tinjauan sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Untuk itu, selain perlu menghindari pertanyaan penelitian yang tidak tepat, peneliti juga perlu mempersoalkan peraturan-perundangan yang tidak adil.

Jika peneliti dan perguruan tinggi tidak bisa memecahkan masalah di dunia nyata, terutama yang terkait keadilan alokasi manfaat pembangunan pertanian, bisa jadi karena desain dan cara berpikir yang keliru. Peneliti bersandar pada kaidah nasional atau internasional yang tak bisa memecahkan problem-problem nyata itu. Ironisnya, standar itu telah menjadi bagian tak terpisahkan “jati diri kaum akademik”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “jati diri” adalah ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang, yang dapat dijabarkan menjadi identitas, inti, jiwa, dan semangat seseorang. Dengan kata lain, secara kumulatif, jati diri menjadi suatu hal yang ada di masyarakat yang meliputi karakter, sifat, watak, dan kepribadian.

Salah satu simbol jati diri bangsa adalah bahasa. Maka, seharusnya, jika jurnal dan hasil penelitian hendak bermanfaat bagi petani, ia harus ditulis dalam bahasa Indonesia. Bahkan dalam bahasa lokal sehingga temuan empiris itu bisa dibaca oleh para petani.

Dengan mengutamakan penulisan dalam bahasa Inggris, kaum akademik pertanian menjauhkan temuan mereka dari objek yang mereka teliti dan subjek yang ingin mereka bantu. Maka semakin banyak jurnal ilmiah tentang pertanian, semakin menganga jurang ketidakadilan, makin banyak penduduk yang tewas akibat kelaparan.

Para petani pun terpisah dari kiprah lembaga pengembangan ilmu pertanian. Kelaparan di Papua bisa menjadi bahan evaluasi mengenai peran Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kaum akademik perlu memahami ragam karakteristik wilayah pertanian yang beragam. Ragam karakteristik itu perlu menjadi jati diri, sifat, watak, dan cara berpikir termasuk cara pengambilan keputusan.

Karena itu perlu pergeseran orientasi pelaksanaan Tri Dharma, berdasarkan evaluasi yang ragam fakta di lapangan (bottom-up). Para peneliti perlu informasi terbaru tentang perkembangan pertanian dari lapangan, perlu diketahui dari waktu ke waktu, inovasi, hingga perkembangan kelembagaannya. Dengan teknologi informasi semua itu menjadi mungkin.

Selain itu peneliti juga perlu informasi rutin mengenai perkembangan penyebab kemiskinan dan kelaparan, gagal panen, hama dan penyakit, dampak kekeringan atau banjir, peningkatan biaya produksi, kerusakan sumber daya alam hingga kebijakan yang membuat sawah dan masyarakat lokal tergusur.

Dengan begitu substansi Tri Dharma perguruan tinggi sejalan dengan kondisi riil sosial-ekonomi masyarakat di lapangan. Dengan mengetahui dan mengikuti masalah aktual di lapangan, kebijakan pertanian menjadi tepat sasaran, untuk mewujudkan keberlanjutan, keadilan ekonomi maupun sosial.

Ikuti percakapan tentang perguruan tinggi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain