KEPULAUAN Indonesia adalah pemilik hutan mangrove terluas di dunia. Ada 3,5 juta hektare hutan mangrove yang tersebar di Nusantara. Meski terluas, selama ini kita tidak mengetahui wilayah mana yang menjadi hotspot atau pusat keanekaragaman hayati mangrove di Indonesia.
Berdasarkan penelitian terbaru yang dipublikasikan di Scientific Reports pada 2023, terdapat dua pusat (hotspot) keanekaragaman hayati mangrove di Indo-Pasifik Barat. Tepatnya di Selat Malaka, daerah utara Sumatera, dan Segitiga Terumbu Karang Dunia, yang membentang dari Sulawesi, Maluku, hingga Papua.
Dari segi jenis, kedua hotspot mangrove ini juga berbeda jenis. Mangrove di Selat Malaka tergolong mangrove tepi sungai (riverine mangrove). Mangrove yang berada di sepanjang sungai dan digenangi oleh pasang surut. Sedangkan mangrove di Segitiga Terumbu Karang Dunia memiliki jenis mangrove tepi (fringe mangrove). Mangrove yang berada di tepian pantai.
Penemuan kedua hotspot ini didapat setelah peneliti menelisik keragaman dan kelimpahan siput famili Onchidiidae. Famili tersebut telah berevolusi dan beradaptasi dengan lingkungan mangrove dan pantai berbatu. Sehingga, mereka ideal untuk melihat keragaman spesies di wilayah jelajah mereka. Hasilnya, para peneliti menemukan keragaman dan kelimpahan Onchidiidae di kedua hotspot tersebut, Selat Malaka dan Segitiga Karang Dunia.
Hal ini mencerminkan fakta bahwa tidak semua hutan mangrove sama. Mangrove di Selat Malaka dan Segitiga Terumbu Karang Dunia memiliki karakteristik dan spesies tumbuhan yang berbeda. Mangrove di Selat Malaka yang berada di tepi sungai, memiliki komposisi yang lebih lebat dan dihuni oleh pepohonan yang tinggi. Sementara mangrove di Segitiga Terumbu Karang Dunia yang ada di tepi pantai, cenderung dihuni oleh pohon kecil namun kerapatannya tinggi.
Pergerakan lempeng tektonik dan kenaikan permukaan laut jutaan tahun lalu, para peneliti menduga, memberikan pengaruh besar terhadap distribusi mangrove di dua tempat itu. Sehingga membuat mereka memiliki karakteristik yang begitu berbeda. Sama seperti fauna di bagian barat dan timur Indonesia yang berbeda, sehingga dipisahkan oleh garis imajiner Wallace.
Kini, distribusi dan keberadaan mereka juga dipengaruhi oleh deforestasi. Setidaknya dari rentang 2009-2019, Indonesia telah kehilangan 182.091 hektare hutan mangrove. Atau sekitar 18.209 hektare mangrove hilang setiap tahun.
Mangrove tepi sungai menjadi yang paling terancam. Sebab, mereka lebih dekat dengan pemukiman manusia. Walhasil, mereka yang akan lebih dulu dikonversi oleh manusia untuk perluasan perkebunan, pengolahan kayu, atau tambak budidaya.
Deforestasi juga menempatkan 16% spesies mangrove asli sebagai terancam punah. Salah satunya adalah Sonneratia griffithii, spesies mangrove yang telah kehilangan 80% habitatnya, terisolasi di sebagian Asia Tenggara dan India, dan terdaftar sebagai kritis oleh IUCN.
Kehilangan hutan mangrove, berarti kehilangan salah satu penyimpan karbon biru terbesar di bumi. Sebab, mangrove mampu menyerap 4 kali lebih banyak karbon dibanding hutan tropis. Selain itu, hutan mangrove di Indonesia sendiri menyimpan sebanyak 3,1 miliar ton karbon! Jumlah yang setara dengan emisi yang dihasilkan 2,5 miliar mobil per tahunnya.
Baca: Potensi Karbon di Indonesia
Kerusakan hutan mangrove berarti adalah kerusakan permanen. Walau dipulihkan, hutan mangrove akan memiliki keragaman spesies dan stabilitas yang lebih rendah. Hutan mangrove hasil rehabilitasi juga memiliki fungsi ekosistem lebih rendah dibanding hutan mangrove alami. Maka dari itu, melindungi menjadi langkah paling penting dan efisien dibanding merehabilitasi.
Di Indonesia, pemerintah berkomitmen untuk melindungi hutan mangrove yang ada. Misalnya, dengan merencanakan tata ruang untuk menyelesaikan konflik penggunaan lahan. Kemudian memperluas kawasan konservasi perairan hingga lebih dari 23 juta hektare. Serta, target ambisius untuk rehabilitasi mangrove 600.000 hektare pada 2004.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :