Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 08 November 2023

Strategi Konservasi Berbasis Spesies

Perencanaan konservasi perlu memperhatikan keberadaan jenis penting. Konservasi akan lebih efektif dan efisien.

Harimau sumatera merupakan spesies kunci bagi ekosistem (foto: Restorasi Ekosistem Riau)

ISTILAH keanekaragaman hayati, menurut Convention on Biological Diversity, mencakup taksa hewan, tumbuhan dan mikroorganisme pada tingkat spesies, genetik dan ekosistem. Ketiga tingkatan hayati tersebut merefleksikan kehidupan yang harus dilestarikan bagi kelangsungan kehidupan dunia yang lebih baik.

Berdasarkan penilaian Global Biodiversity Index (GBI) oleh The Swiftest pada 2022, Indonesia menempati posisi ke-2 negara dengan kekayaan hayati tertinggi di dunia. Pemeringkatan tersebut memberikan nilai GBI sebesar 418,78 bagi Indonesia, setingkat lebih rendah dibandingkan Brazil.

Konstruksi Kayu

Tingkat kekayaan jenis keanekaragaman hayati Indonesia tersebut disumbangkan oleh jenis tumbuhan berpembuluh (19.232 jenis), mamalia (729 jenis), burung (1.723 jenis), amfibi (383 jenis), reptil (773 jenis), dan ikan (4.813 jenis).

Buku “Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia” yang diterbitkan LIPI tahun 2014 mencatat Indonesia juga memiliki tingkat endemisitas flora dan fauna yang tinggi. Tingkat endemisitas flora berkisar 40-50% dari jenis yang ada di setiap pulau. Sedangkan jumlah satwa endemik sebanyak 270 untuk jenis mamalia, 386 jenis burung, 328 jenis reptil, 204 jenis amfibi, dan 280 jenis ikan.

Kekayaan tersebut tak lepas dari letak strategis Indonesia pada garis khatulistiwa dengan hutan hujan tropis yang luas. Juga sebagai negara kepualauan yang mencakup tiga biogeografi dunia, yaitu Indo-Malaysian, Wallacea, dan New Guinean (Proches & Ramdhani, 2012). Ribuan pulau yang berjajar mulai dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote telah menyumbangkan variasi ekosistem yang beragam, mulai dari ekosistem perairan laut hingga puncak salju abadi di piramida Cartensz. 

Sebagai salah satu upaya untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati, saat ini Indonesia memiliki sebanyak 568-unit kawasan konservasi degan luas total lebih dari 26 juta ha (Statistik Direktorat Jenderal KSDAE, 2022). Sayangnya kawasan konservasi tersebut banyak yang menghadapi berbagai tantangan, seperti kebakaran hutan, pembalakan liar, okupasi lahan, dan perburuan liar.

Dibandingkan dengan kekayaan hayati yang dimiliki, luasan tersebut masih dirasakan kurang. Oleh karena itu berbagai areal hutan lindung, kawasan ekosistem esensial/penting, dan areal bernilai konservasi tinggi (ABKT) menjadi additional kawasan penting di luar kawasan konservasi.

Dengan kekayaan jenis keanekaragaman hayati yang sangat melimpah itu, upaya pelestarian tidak mungkin dilakukan per jenis. Untuk itu perlu strategi dalam upaya konservasi jenis, habitat, atau bahkan kawasannya melalui pendekatan spesies. 

Spesies bendera memiliki peran utama dalam konservasi keanekaragaman hayati, yaitu untuk meningkatkan kesadaran dan menggalang pendanaan bagi kegiatan konservasi. Pemilihan spesies bendera umumnya berdasarkan jenis karismatiknya atau daya tarik estetika semata.

Spesies bendera dipilih sebagai duta dan ikon yang mewakili keberadaan keanekaragaman hayati di suatu kawasan bahwa areal tersebut sangat penting untuk dilindungi dan dilestarikan. Keberadaan spesies bendera berperan signifikan dalam upaya kampanye konservasi untuk menyentuh berbagai kalangan untuk lebih peduli terhadap upaya konservasi. Selain itu kekuatan spesies bendera akan mempengaruhi keberhasilan fundrising dalam upaya konservasi. 

Beberapa megafauna umum menjadi spesies bendera, seperti harimau, badak, atau gajah. Satwa karismatik lainnya juga bisa menjadi satwa bendera, seperti bekantan, tarsium atau elang jawa. Meskipun demikian spesies bendera belum tentu berperan sebagai satwa payung maupun satwa kunci.

Spesies payung adalah jenis yang jika dilindungi beserta habitatnya maka secara otomatis juga melindungi berbagai keanekaragaman hayati yang ada di bawahnya. Penggunaan spesies payung dapat mempermudah pengelola kawasan dalam mengambil kebijakan dalam pengelolaan.

Beberapa pertimbangan suatu spesies dapat dijadikan spesies payung adalah:

  • Spesies yang memiliki habitat luas dengan ditunjukkan oleh daerah jelajahnya (homerange). Meskipun dalam beberapa kasus satwa akan memperluas daerah jelajahnya saat kondisi habitatnya rusak atau saat ketersediaan sumber pakan mulai terbatas. Umumnya mamalia besar terestrial memiliki daerah jelajah luas. Selain itu, jenis raptor sebagai burung top predator juga berdaya jelajah tinggi dan layak menjadi spesies payung.
  • Satwa yang memiliki variasi sumber pakan tinggi. Melindungi jenis tersebut berarti harus melestarikan banyak jenis lain baik tumbuhan maupun satwa yang menjadi mangsanya (prey). Sebagai contoh macan tutul dikenal sebagai satwa yang oportunis dalam berburu mangsa. Berbagai jenis satwa mulai dari mamalia kecil sampai besar bahkan satwa arboreal yang ada di dalam hutan merupakan sumber pakannya.
  • Satwa interior adalah satwa yang memiliki preferensi hidup di habitat dalam hutan dan menghindari daerah tepi hutan. Satwa tersebut biasanya tidak toleran dengan adanya kerusakan dan fragmentasi hutan. Areal hutan yang luas dan utuh adalah habitat yang ideal bagi satwa interior.

Ada juga spesies kunci. Secara sederhana spesies kunci diartikan sebagai organisme yang dapat menyatukan sistem di dalam ekosistem. Keberadaannya berperan dalam mempertahankan kesehatan ekologi dan menjaga jaring-jaring makanan (web food cain) di dalam ekosistem. Ketidakhadirannya akan mengubah secara drastis kondisi ekosistem atau bahkan akan menghilangkan ekosistem itu sendiri.

Keberadaan spesies langka dan terancam akan memperkuat suatu kawasan bernilai penting bagi konservasi keanekaragaman hayati. Beberapa dasar yang digunakan untuk menentukan status spesies langka dan terancam di antaranya adalah daftar merah IUCN dan kategorisasi berdasarkan status perdagangan menurut CITES.

Selain itu untuk jenis-jenis dilindungi di Indonesia mengacu daftar jenis dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106/2018. Jenis dilindungi di Indonesia saat ini lebih dari 900 jenis, sehingga tidak mungkin upaya konservasi dilakukan pada semua jenis. Perlu dilakukan penapisan untuk menentukan jenis prioritas (species priority) dalam upaya konservasinya. Untuk itu pemerintah Indonesia menerbitkan P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Species Nasional 2008-2018. Dalam peraturan tersebut memuat berbagai jenis prioritas dan jenis prioritas tinggi untuk dilakukan upaya konservasi. Meskipun secara legal peraturan tersebut berlaku hingga 2018, namun sejauh ini secara substansi masih relevan. 

Untuk menentukan areal yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati dapat dilakukan pendekatan spesies payung. Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah diidentifikasi dengan cermat jenis payung yang ada didaerah target. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data sebaran jenis payung tersebut di dalam kawasan untuk menilai kesesuaian habitatnya.

Ada beberapa peranti lunak tersedia secara open sources untuk menganalisis kesesuaian habitat. Salah satu tool yang populer digunakan untuk kebutuhan tersebut adalah Maximum Entropy (MaxEnt). Program tersebut dapat diunduh free di https://biodiversityinformatics.amnh.org/open_source/maxent/, dan dapat dipelajari menggunakan panduan dalam Bahasa Indonesia yang disusun oleh Septiadi (2019). 

MaxEnt menggunakan perhitungan algoritma titik-titik sebaran satwa untuk memperkirakan distribusi paling seragam (entropy maksimum) di seluruh areal studi berdasarkan beberapa variabel lingkungan yang relevan. Output MaxEnt akan memberikan informasi terkait tingkat suitabilitas habitat satwa target sebagai dasar delineasi areal yang penting untuk dikonservasi.

Habitat satwa saat ini banyak mengalami kerusakan dan fragmentasi. Fragmentasi habitat dapat mengakibatkan terputusnya aliran genetik antar populasi. Hal tersebut akan meningkatkan potensi terjadinya inbreeding yang berdampak pada menurunkan kualitas generasi yang dihasilkan dan berujung pada kepunahan lokal.

Salah satu tujuan dilakukan restorasi habitat adalah untuk menghubungkan kembali fragmen habitat sehingga aliran genetik antar populasi terhubung kembali. Perencanaan lokasi restorasi habitat dapat ditentukan berbasiskan fungsinya sebagai habitat satwa payung. 

Program Condatis adalah salah satu tool yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi fragmen hutan mana saja yang perlu dihubungkan sehingga antar populasi dapat terhubung kembali. Condatis dapat memprediksi upaya restorasi habitat sekecil mungkin akan mampu menfasilitasi pergerakan individu paling tinggi antara populasi sources menuju targets. Aplikasi open sources tersebut adalah pengembangan dari Dr. Jenny Hodgson dan tim dari Universitas Liverpool yang berkolaborasi dengan akademisi, pengembang perangkat lunak, dan praktisi konservasi. Aplikasi Condatis tersedia secara online di https://pgb.liv.ac.uk/~condatis_dev.

Perencanaan konservasi dengan memperhatikan keberadaan jenis penting akan meningkatkan upaya konservasi yang lebih efektif dan efisien. Upaya yang didukung meliputi rencana strategi funding, delineasi kawasan konservasi, strategi pembinaan habitat, restorasi hutan dan upaya meningkatkan pemahaman masyarakat terkait keanekaragaman hayati.

Ikuti percakapan tentang konservasi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti ahli madya bidang konservasi dan ekologi satwa liar pada Pusat Riset Zoologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain