Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 09 November 2023

Domestikasi Malapari: Sumber Energi Terbarukan di Lahan Marjinal

Malapari bisa menjadi andalan bahan baku energi terbarukan. Bisa melalui domestikasi tanaman

Bibit Malapari di KHDTK Parungpanjang, Bogor, Jawa Barat

DALAM arti yang sederhana, domestikasi adalah proses “penjinakan” terhadap hewan liar atau tumbuhan yang hidup di alam. Apabila penjinakan lebih pada individu, domestikasi melibatkan populasi, seperti seleksi, pemuliaan (perbaikan keturunan), serta perubahan perilaku/sifat dari organisme yang menjadi objeknya. 

Tumbuhan dikatakan telah terdomestikasi apabila sejumlah penampilannya mengalami perubahan dan ia menjadi tergantung pada campur tangan manusia dalam pertumbuhan dan perbanyakan keturunannya. Salah satunya malapari (Pongamia pinnata (L.) Pierre, salah satu tanaman sumber bahan baku biofuel.

Konstruksi Kayu

Domestikasi tanaman malapari untuk menyediakan bahan baku biofuel yang selama ini tumbuh liar di tepi pantai ditanam di tanah mineral. Dengan domestikasi penyediaan bahan baku biofuel dapat dikontrol dan dipenuhi secara berkelanjutan.

Untuk menghasilkan 1 liter biodiesel dibutuhkan sekitar 10–20 kilogram buah malapari. Jika kita mengandalkan tanaman yang tumbuh di alam mustahil bisa terpenuhi. Kegiatannya dilakukan di KHDTK (Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus) Parungpanjang sejak 2011, berlanjut pada tahun 2015 dan 2022.

KHDTK Parungpanjang berada di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Plot dibangun dalam bentuk uji provenan yang benihnya diambil dari provenan Alas Purwo (Jawa Timur), Carita (Banten), Batu Karas (Jawa Barat), dan Pulau Bangka (Sumatera). 

Di habitat alaminya, pohon malapari tumbuh di sepanjang pantai dengan ketinggian tempat mulai dari 0 sampai 20 meter dari permukaan laut. Hidup mengelompok dengan curah hujan berkisar 1.500-3.950 milimeter per tahun, suhu rata-rata tahunan 20-240 Celsius dan tipe iklim A–F. 

Namun pohon malapari juga dapat tumbuh di Parungpanjang dengan ketinggian 51,71 mdpl dan bukan di pantai, dengan kandungan pasir (28,8%) yang jauh lebih rendah dari habitat alaminya.  Selain itu pohon malapari juga dapat tumbuh pada pH yang sangat masam (pH 4,3) walaupun pada habitat aslinya tumbuh pada pH netral dan agak alkalis. 

Pohon yang tumbuh di Parungpanjang sudah mulai berbuah pada usia tiga tahun.  Jika dilihat dari perbedaan tempat tumbuh alami dan budidaya di Parungpanjang diduga malapari merupakan pohon yang mempunyai daya adaptasi yang tinggi yang dapat hidup pada kondisi tapak yang tidak sama dengan habitat aslinya. Sehingga tanaman ini dapat direkomendasikan untuk ditanam pada lahan-lahan marjinal yang kurang subur atau lahan-lahan bekas tambang.   

Tanaman malapari untuk pemenuhan bioenergi mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Peran energi baru dan terbarukan pada 2025 paling sedikit 23% dan tahun 2050 paling sedikit 31%. 

Saat ini untuk memenuhi kebutuhan EBT masih menggunakan minyak sawit yang keberadaannya berlimpah namun bersaing dengan kebutuhan pangan (minyak goreng). Maka pemerintah terus mencari alternatif tanaman lain, di antaranya adalah tanaman malapari, karena tanaman malapari tidak akan bersaing dengan pangan dan merupakan tanaman kehutanan yang dapat tumbuh di lahan-lahan yang kurang subur.

Malapari mampu tumbuh di ketinggian 0 mdpl hingga 1.200 mdpl. Tanaman ini juga mampu mengikat nitrogen dari udara melalui simbiosis dengan rizhobia dari genus Bradyrhizobium. Berdasarkan kemampuan tersebut, malapari dapat tumbuh pada tanah marginal serta dapat digunakan untuk tujuan rehabilitasi lahan karena mampu memperbaiki kesuburan tanah. 

Selain itu tanaman malapari mempunyai banyak manfaat, mulai dari akar, batang, bunga,

buah dan daun. Tumbuhan malapari dapat dimanfaatkan baik hasil kayu maupun bukan kayunya. Kemanfaatan malapari utamanya sebagai biofuel dan pengobatan. Biji malapari mengandung minyak dengan kadar lemak 23-26% yang kaya akan asam oleat. Untuk mendapatkan minyak tersebut, dapat dengan metode   kempa secara mekanik maupun ekstraksi   menggunakan pelarut.

Biji malapari yang digunakan untuk  keperluan biodiesel optimal pada kadar air ≤ 8 %. Sisa pengepresan bijinya dapat diproses menjadi bioetanol melalui fermentasi, bahkan berpotensi untuk diolah menjadi pakan ternak.

Beberapa bagian tanaman malapari oleh masyarakat tradisional dipakai untuk berbagai pengobatan dan saat ini telah diketahui kandungan senyawa aktifnya, seperti flavonoid dan turunannya, sesquiterpene, diterpene, triterpenes, steroids, asam amino dan turunannya, disaccharide, dan asam lemak. Selain itu minyak malapari juga bisa dimanfaatkan untuk pestisida nabati, obat anti kanker, anti implamasi dan antidiabet.

Budidaya tanaman malapari bertujuan mendapatkan (a) data keragaman provenan berdasarkan fenotipe polong dan biji, (b) korelasi antar karakter fenotipe polong dan biji, dan (c) pengaruh genetik terhadap fenotipe polong dan biji. Informasi tersebut diharapkan bermanfaat untuk kegiatan konservasi dan pemuliaan sebagai informasi awal  keragaman genetik untuk mendukung seleksi dan budidaya tanaman malapari terutama peningkatan produktivitasnya.   Malapari dapat dibudidayakan dengan cara generatif dan vegetatif.  Buah yang sudah masak berwarna coklat diunduh dengan cara digoyang-goyang dahannya atau memungut buah yang jatuh. 

Selanjutnya buah diekstraksi dan diseleksi. Ekstraksi buah malapari dilakukan dengan cara manual yaitu mengeluarkan biji dari cangkangnya.  Satu buah malapari berisi 1, 2 sampai 3 biji.  Biji hasil ekstraksi selanjutnya diseleksi berdasarkan ukuran dan kesehatannya.  Buah-buah yang tidak masuk dalam kriteria yang baik dibuang dan buah-buah yang bernas dan tidak ada hama penyakitnya  dikecambahkan.

Perkecambahan dilakukan dengan menggunakan media campuran tanah dengan pasir (1:1).  Setelah biji malapari yang berkecambah kemudian disapih ke dalam polybag berukuran 15 x 20 cm.  Penyapihan menggunakan media campuran tanah dengan  kompos (1:3) dengan diberi naungan 25 % (cahaya masuk 75%). Bibit umur 5 bulan memiliki tinggi 47,53 sentimeter dan diameter 7,49 milimeter.   

Sebelum penanaman, bibit diaklimatisasi dengan cara pengaturan frekuensi penyiraman dan pengaturan jarak polybag serta ditempatkan di area terbuka tanpa naungan. Selain itu, pengadaan bibit malapari dapat juga dilakukan secara vegetatif seperti stek, okulasi, cangkok maupun kultur jaringan. Perbanyakan malapari dengan stek dapat menggunakan bahan stek batang outroprop, batang plagiotrop, yang berumur muda maupun dewasa.

Media stek dapat menggunakan campuran media cocopeat + sekam padi (1:1). Setelah 2 bulan bahan stek dapat berakar, kemudian diaklimatisasi pada media campuran tanah + kompos+sekam padi (3:1:1). Bibit siap tanam umur 4 bulan sampai dengan 6 bulan. Perbanyakan malapari dengan okulasi dapat menggunakan okulasi model forket (lidah).

Mata tunas (scion) ditempelkan pada batang bawah (rootstock) yang telah disayat kulitnya bentuk lidah. Mencangkok adalah teknik perbanyakan vegetatif dengan cara mengupas kulit batang yang telah berkayu dan membungkusnya dengan media agar akar dapat tumbuh pada bagian batang yang dikupas tersebut. Kultur jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan cara menumbuhkan bagian tanaman, baik sel, jaringan, atau organ pada media buatan dalam kondisi  aseptik secara in vitro.

Teknik cangkok dan okulasi digunakan untuk menggandakan tanaman malapari unggul dari lokasi yang jauh dari lokasi persemaian dengan cara mencangkok cabang (ranting) atau membawa mata tunasnya ke persemaian. Sedangkan teknik stek dan kultur jaringan dapat digunakan untuk produksi bibit unggul malapari secara massal dan homogen.

Pertumbuhan malapari hasil domestikasi dari beberapa provenan (Pantai Carita, Banten; Pantai Batukaras, Pangandaraan; Alas Purwo, dan Pulau Bangka) menunjukan pertumbuhan

yang baik. Malapari tahun tanam 2011 (umur 12 tahun) dengan jarak tanam 3 x 3 meter memiliki rata-rata tinggi 4,34± meter, dengan diameter 8,15±4,56 sentimeter, tinggi bebas cabang 1,31±0,74 meter, jumlah cabang utama 2,13 ± 0,36 buah, lebar tajuk 2,25 ± 1,05 meter. Tanaman malapari hasil domestikasi, pada umur 3 tahun sudah mulai berbunga dan berbuah. 

Masa pembungaan berlangsung selama ± 2 bulan, dimulai dengan munculnya tunas bunga, bunga mekar dan mahkota bunga berguguran dan berkembang menjadi buah muda. Periode pembuahan berlangsung selama ± 5 bulan mulai dari buah muda sampai dengan buah masak dengan keberhasilan reproduksi sebesar 10,41%. Fruit set (rasio bunga menjadi buah) mencapai nilai 12% dan seed set (ratio ovul menjadi biji) 88%.

Kondisi ini menunjukkan bahwa tanaman malapari yang merupakan tanaman pantai dengan salinitas tinggi, bisa tumbuh dan melakukan reproduksi dengan baik pada tanah mineral. Ukuran buah polong bervariasi dengan panjang rata-rata 51,00 ± 8,24 milimeter, lebar 20,47 ± 2,55 milimeter, tebal 10,83 ± 2,51 milimeter, berat 3,01±1,07 gram. 

Produktivitas tanaman malapari umur 10 tahun hasil domestikasi mampu menghasilkan buah polong sebanyak ±5 kilogram per pohon dengan rendemen minyak antara 9,52% sampai dengan 20,9%. 

Penanaman malapari di KHDTK Parungpanjang melibatkan masyarakat yang menanam tanaman semusim pada lahan di sela-sela tanaman pokok. Jarak tanam yang lebar  memungkinkan petani melakukan tumpangsari dengan jenis-jenis yang ekonomis seperti lengkuas, padi gogo, dan lain-lain. Petani dapat mengambil manfaat dari keberadaan tanaman domestikasi malapari di KHDTK Parungpanjang.

Hasil pertanian dapat dijual dan menjadi sumber pendapatan masyarakat sekitar sedangkan tanaman malapari bisa dipelihara sehingga tidak dirusak sampai tanaman itu berproduksi. Masyarakat juga bisa membudidayakan lebah untuk budidaya madu, karena bunga malapari dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan lebah.

Ikuti percakapan tentang domestikasi tanaman di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti Pusat Riset Konservasi Tumbuhan Kebun Raya dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Peneliti Pusat Riset Konservasi Tumbuhan Kebun Raya dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain