Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 10 November 2023

Ketika Sungai Kehilangan Ikan

Kepunahan keenam makin dekat. Ikan makin berkurang di sungai.

Lahan pertanian yang tergerus akibat sungai yang longsor karena banjir di hulu (Foto: Dok. FD)

DALAM sepuluh tahun terakhir, ancaman kepunahan spesies menjadi sorotan berbagai studi lingkungan. Sejak 1990-an upaya global mencegah kepunahan spesies berputar-putar di sekitar dokumen A to Z. Sebagian besar dialog lintas negara belum cukup berenergi untuk menggerakkan aksi nyata ke level yurisdiksi terkecil dan individu. Karena itu, sudah saatnya pilihan tindakan bersama menyusup ke keyakinan individual.

Elizabeth Kolbert dalam Kepunahan Keenam (2014) mendeskripsikan kehilangan keanekaragaman hayati yang secara dominan dipicu oleh ulah manusia. Menurut Kolbert, di penghujung abad ini dunia akan kehilangan 20-50% flora dan fauna. Studi senada diungkapkan oleh Gerardo Ceballos, Paul Ehrlich, dan Rodolfo Dirzo (2017). Dari pemodelan mereka periode 1900-2015, dunia kehilangan 32% dari 27.600 spesies vertebrata atau 8.851 spesies. 

Konstruksi Kayu

Pada 2021, publikasi  Risk of Pesticide Pollution at the Global Scale  dari sejumlah peneliti Universitas Sydnedy Australia (Fiona H.M. Tang) menegaskan kembali keprihatinan akan pencemaran tanah pertanian yang terus meningkat yang pada akhirnya membunuh banyak spesies. Para peneliti memetakan risiko polusi global oleh 92 jenis bahan kimia yang biasa digunakan dalam pestisida pertanian di 168 negara. Hasilnya adalah 64% lahan subur di dunia berisiko tercemar pestisida. Asia memiliki wilayah daratan terbesar dengan risiko polusi tinggi. Sebagian besar wilayah yang tercemar adalah dapur utama warga planet ini; tempat bersumbernya pangan bagi mayoritas penduduk bumi.

Baca: Perubahan Iklim di Kampung

Studi itu memproyeksikan penggunaan pestisida global akan meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi global menuju 8,5 miliar pada 2030. Selain itu, pestisida adalah andalan praktis mengatasi berkembangnya invasi hama akibat gangguan iklim. Seiring dengan semakin kompleksnya dampak perubahan iklim pada ekosistem mikro, ke depan pestisida dan pupuk akan semakin menumpuk dalam mata rantai produksi pertanian global.

Pestisida dan pupuk hanya terurai secara kasat mata. Namun senyawanya tetap melekat pada siklus biogeokimia  yang terus bergulir dalam sistem planet bumi. Senyawa itu dapat diangkut oleh air permukaan dan air tanah melalui limpasan dan infiltrasi, mencemari badan air, sehingga mengurangi kegunaan sumber daya air, memusnahkan keanekaragaman hayati, menggoyahkan ekosistem, dan menurunkan kualitas sumber air yang diandalkan manusia dan hewan untuk bertahan hidup.

Karena itu, para peneliti menyimpulkan meskipun melindungi produksi pangan penting untuk manusia, mengurangi polusi pestisida sama pentingnya untuk melindungi keanekaragaman hayati yang menjaga kesehatan dan fungsi tanah serta berkontribusi terhadap ketahanan pangan. 

Studi pencemaran global bukan baru. Sejak 1970-an, masalah serupa telah diangkat oleh banyak ilmuwan lain yang melahirkan sejumlah kesepakatan global. Misalnya, Konvensi Rotterdam yang mengatur Prosedur Persetujuan yang Diinformasikan Sebelumnya (Prior Informed Consent) untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu dalam Perdagangan Internasional. Kesepakatan internasional ini mempromosikan tanggung jawab semua negara dalam hal impor bahan kimia berbahaya. Meski demikian, persoalan serupa terus berlanjut dengan tingkat yang lebih kompleks dan rumit.

Dampak penggunaan pestisida terhadap keanekaragaman hayati tidak terjadi baru-baru ini. Beberapa dekade silam ketika Revolusi Hijau digalakan, program ketahanan pangan digerakkan oleh penggunaan pupuk dan pestisida secara masif. Dalam kurun waktu yang panjang, intrusi senyawa asing pada lahan pertanian sudah menghujamkan akibatnya pada ketahanan ekosistem dan akhirnya berisiko pada manusia di hampir semua aspek. 

Memori orang-orang tua di Jawa masih mengingat sebelum tahun 1970-an (pra-revolusi hijau), sawah bukan hanya tempat menanam padi. Sawah juga merupakan tempat tersedianya stok nutrisi gratis buat petani. Masa itu, ikan masih melimpah di sungai dan sawah. Ketika petani menyiangi rumput di sawah, mereka masih menangkap ikan dan belut yang melimpah. Suplai nutrisi petani diperoleh seketika itu juga, tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan di pasar seperti yang umum terjadi saat ini. Hidup serba gratis mengandalkan kemurahan alam.

Pengalaman yang sama dapat ditemukan di daerah lain. Di Flores, sebelum 1990-an (pra-intensifnya pestisida), ikan di sungai masih melimpah. Warga di sana mengetahui lokasi tempat hidup alamiah belut-belut sungai. Pada musim tertentu mereka memanen belut, udang, ikan di lokasi-lokasi itu. Ketika sungai deras pada musim hujan, anak-anak di kampung-kampung hanya menunggu udang naik ke bebatuan untuk diambil. Momen seperti itu, di samping mendapatkan lauk gratis, juga merupakan rekreasi bagi orang di kampung.

Pengenalan senyawa kimia secara masif pada pertanian dimulai era 1960-an. Orang-orang tua di Jawa yang saya jumpai menuturkan bahwa pada 1965-1966 hama tikus dan wereng (hama yang makan bonggol padi) merajalela. Petani bekerja sama secara gotong royong membasmi tikus. Selain cara manual, pemerintah memperkenalkan cara yang lebih instan: kimiawi.

Ketika itu, obat endrin yang sudah dilarang penggunaannya saat ini, diaplikasikan di berbagai daerah. Dampak intervensi kimiawi itu tidak hanya membunuh tikus dan wereng. Hampir semua hewan di air dan sawah ikut terbasmi. Ketika itulah, populasi ikan, udang, belut di sungai terus merosot drastis. Kemewahan alam yang pernah ada ikut larut bersama pestisida dan pupuk yang makin rupa macam produknya. 

Target swasembada beras dan suplai makanan orang kota yang dicanangkan revolusi hijau, membuat teknologi makin merajalela. Selain berdampak ekologis, teknologi juga membuat pertanian yang tadinya kolektif menjadi individualis. Jika sebelumnya, gotong royong menandai pengelolaan sawah dan kebun, teknologi membuat masing-masing rumah tangga bekerja sendiri. Apalagi, perkenalan padi jenis benih baru yang bersiklus pendek (3-4 bulan) memaksa petani menggenjot produksi makin intensif. Ajang berkumpul makin sulit. Solidaritas yang melekat dalam gotong royong menjalankan pekerjaan di tingkat desa lambat laun meleleh.

Pilihan kolektif untuk mencegah kerusakan berlanjut cukup banyak. Namun cukup banyak pula usaha sistemik yang mendorong aksi kolektif-politik gagal. Dunia menunggu tindakan kolektif ekologis sejak 1970-an. Hingga kini, tindakan itu lebih banyak menjadi komitmen yang menguap di panggung politik daripada aksi nyata yang sungguh-sungguh. Mengubah sistem lebih rumit karena tidak seperti menjentikkan jari.  

Alternatif lainnya melalui tindakan individu yang berada dalam kendali masing-masing individu. Laporan UNEP 2022 menyebutkan bahwa emisi dari rantai pasok hingga sampah makanan berkontribusi 10% emisi global yang mengakibatkan perubahan iklim. Dalam perhitungan EPA, emisi makanan di Amerika saja setara dengan emisi 42 pembangkit tenaga batu bara. Semuanya itu merupakan dampak dari pemborosan konsumsi yang muncul dari perilaku individu. 

Motif dan modus individual acapkali sulit ditembus oleh agenda kolektif karena berkaitan dengan sikap dan perilaku personal. Mengendalikan konsumsi makanan hanya mungkin efektif jika itu dilakukan sebagai ekspresi keyakinan individu yang ditopang oleh studi-studi pendukung. Kemauan personal dapat dimulai dari penguatan kembali keyakinan individu yang bersandar pada agama maupun tradisi. Puasa merupakan tradisi keagamaan.

Puasa yang sama dapat menolong lingkungan. Selain itu, studi ilmiah seperti autophagy mengkonfirmasi bahwa mengurangi konsumsi makan mempunyai efek domino yang menyehatkan bagi tubuh. Puasa dapat juga mengurangi tekanan terhadap lahan, penggunaan plastik, dan pada akhirnya mengurangi jejak karbon individu.  

Demikian halnya dengan penghargaan terhadap pohon, mata air, binatang adalah bagian dari tradisi di banyak suku. Penguatan tradisi yang saat ini berkembang dalam gerakan global untuk masyarakat adat merupakan bagian dari semangat membina kembali relasi dengan alam.

Ikuti percakapan tentang kepunahan keenam di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pengacara dan peneliti sosial-ekologi fokus pada masyarakat adat, keberlanjutan, perubahan iklim, komoditas, dan mata air

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain