Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 November 2023

Pengakuan Masyarakat Adat Terganjal Peraturan Daerah

BRWA mengidentifikasi 1.336 wilayah adat dengan luas 26,9 juta hektare. Baru sedikit yang diakui pemerintah.

Ngata Toro merupakan desa yang bersinggungan dengan Taman Nasional Lore Lindu (foto: Aliansi Masyarakat Adat Indonesia)

ADA sekitar 4,57 juta masyarakat adat di Indonesia yang dicatat oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), lembaga independen pemantau komunitas adat. Hingga Agustus 2023, BRWA telah memetakan 1.336 wilayah adat dengan total area seluas 26,9 juta hektare. Tahun sebelumnya lahan adat seluas 20,7 juta hektare.

Sebagian besar wilayah adat yang dipetakan BRWA berada di Kalimantan Utara, tepatnya di Malinau. Ada 1,8 juta hektare tanah adat di wilayah tersebut.

Konstruksi Kayu

Dibentuk pada 2010, BRWA berdiri karena minimnya data dan lambatnya proses pemetaan wilayah adat oleh pemerintah. Pemetaan yang lambat membuat pengakuan masyarakat adat sebagai awal perlindungan negara terhadap mereka menjadi terhambat.

Dari wilayah adat yang dipetakan oleh BRWA, baru 14% yang diakui pemerintah daerah. Menurut Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan, pengakuan masyarakat adat harus datang dari pemerintah daerah sebelum mendapat pengesahan oleh pemerintah pusat sebagai basis legalitas.

Baca: Sengkarut Pengakuan Masyarakat Adat

Sampai saat ini, baru 219 wilayah adat seluas 3,73 juta hektare yang mendapat status hukum dari pemerintah daerah. Artinya, masih ada 23,17 juta hektare wilayah adat yang belum mendapat pengakuan pemerintah daerah.

"Kurangnya kapasitas, prosedur berbelit, dan minimnya anggaran yang dialokasikan pemerintah membuat proses pengakuan wilayah adat berjalan begitu lambat," kata Kasmita Widodo, Ketua BRWA.

Seluas 3,73 juta hektare wilayah adat yang diakui pemerintah masih dalam pengakuan skala lokal. Masyarakat adat masih rentan terhadap okupasi korporasi yang ingin merenggut lahan mereka atas nama konsesi.

Sebagian besar masyarakat adat hidup di dalam hutan. Untuk hutan adat, BRWA mengidentifikasi 20,85 juta hektare. Namun, hingga Oktober 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru mengakui 244.195 hektare hutan adat seluas 6,37 juta hektare.

Pengakuan hutan adat oleh pemerintah sedang digalakan melalui perhutanan sosial. Targetnya 12,7 juta hektare.

Tanpa pengakuan, konflik tenurial dan konflik agraria antara masyarakat adat dan korporasi dalam eksploitasi sumber daya alam terus menyala. Tanpa perlindungan hukum, masyarakat adat akan selalu tersisih dibanding korporasi atau entitas lain yang sudah mendapatkan pengakuan hukum oleh negara.

Seperti yang terjadi pada masyarakat Dayak Hibun di Sanggau, Kalimantan Barat. Tanah adat mereka telah diambil oleh perkebunan sawit seluas 1.400 hektare.

Bukan hanya soal konflik, proses mendapat pengakuan negara juga tak mudah. Kelompok adat di Aceh, Mukim, menghabiskan tujuh tahun perjuangan untuk mendapat pengakuan atas tanah adat leluhur mereka. Bahkan, proses panjang tersebut baru menghasilkan pengakuan atas 15% total hutan adat Mukim. Total terdapat 13 Mukim di Aceh yang mencari hak atas hutan adat mereka yang seluas 144.497 hektar. Namun, baru 22.549 hektar yang diakui.

“Pengakuan masyarakat adat berdasarkan peraturan sangat melelahkan. Pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi jalan untuk menyederhanakan dan mempercepat proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat," kata Kasmita.

Selain itu, alokasi anggaran juga perlu menjadi perhatian. Alokasi anggaran untuk mendukung pemetaan dan pengakuan masyarakat adat harus dialokasikan secara cukup, bukan minimalis. Tanpa anggaran yang cukup, target yang telah ditetapkan hanya jadi wacana semata.

Ikuti percakapan tentang masyarakat adat di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain