TUMBUHAN muncul di bumi sekitar 500 juta tahun lalu. Sejak itu, tumbuhan berevolusi, tak sedikit yang punah bersamaan dengan kepunahan massal mahluk hidup. Hanya sedikit yang bertahan, salah satunya adalah Takakia.
Takakia adalah lumut kecil dan tumbuh lambat yang berusia 390 juta tahun. Sebagai tumbuhan tertua di bumi, Takakia hanya ada di sebagian kecil dataran tinggi Tibet. Tumbuh di wilayah paling ekstrem, lumut ini punya kemampuan adaptasi tinggi.
Pada 2005, sekelompok peneliti coba mempelajari Takakia. Para peneliti mendaki hingga ke ketinggian 4.000 meter dari permukan laut untuk menjumpai lumut mungil ini. Selama sepuluh tahun, para peneliti mempelajari Takakia di habitat aslinya yang dijadikan laboratorium alam. Pada Agustus 2023, para peneliti mempublikasikan riset itu di jurnal Cell.
Bagi Takakia, hidup di dataran tinggi Tibet bukan hal mudah. Mereka harus terkubur di bawah salju selama delapan bulan dalam setahun. Ketika salju mencair, mereka terekspos radiasi ultraviolet tinggi. Dalam banyak kasus, terkena radiasi ultraviolet tinggi membuat tanaman tidak bisa bertahan. Lain dengan lumut ini.
Para peneliti coba meneliti sekuens DNA Takakia untuk menjawab proses evolusi lumut ini. Ternyata susunan genetik Takakia mengalami perubahan begitu cepat. Ada 27.467 gen pengkode protein yang sebagian besar berevolusi cepat sebagai respons terhadap tekanan lingkungan yang ekstrem.
Perubahan genetik tersebut menjadi kunci Takakia bisa bertahan selama ratusan juta tahun. Sebagai tumbuhan tertua, para peneliti yakin lumut ini sudah ada sebelum pegunungan Himalaya muncul 65 juta tahun lalu.
Ketika gunung Everest muncul, Takakia beradaptasi dengan lingkungan yang semakin dingin, minim oksigen, dan radiasi ultraviolet yang tinggi. Meskipun genetika Takakia telah berubah secara dramatis seiring waktu, morfologinya hampir tak banyak berubah.
“Biasanya mutasi dalam genetik membuat bentuk mahluk hidup berubah. Studi Takakia akan melahirkan studi baru, yakni evolusi yang melibatkan perubahan genom dengan morfologi statis," kata Ralf Reski, ahli bioteknologi tanaman Universitas Freiburg, Jerman.
Sayangnya, predikat tanaman tertua untuk Takakia berpeluang besar hilang. Krisis iklim memberikan dampak signifikan bagi ekosistem dan populasi Takakia. Selama sepuluh tahun lebih peneliti mengukur perbedaan faktor-faktor iklim. Sejak 2010, temperatur rata-rata telah meningkat sekitar setengah derajat Celcius. Lapisan es di dataran tinggi Tibet juga mencair secara cepat, menyusut 50 meter per tahun.
Walhasil, populasi Takakia juga menurun. Selama 2010 hingga 2021, tutupan Takakia menyusut 1,6% per tahun, paling cepat dibanding spesies lumut lain di Tibet. “Kami memprediksi Takakia akan menyusut hanya 1.000 kilometer persegi pada akhir abad ke-21. Jika perubahan iklim terus memburuk, Takakia tak akan bertahan dalam 100 tahun kedepan," kata Ruoyang Hu, peneliti utama studi ini.
Ikuti percakapan tentang krisis iklim di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :