Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 15 November 2023

Stok Perikanan Indonesia Menurun dan Tak Seimbang

Tingkat penangkapan dan pemulihan populasi ikan tangkap tidak seimbang. Stok ikan menurun.

Nelayan terancam penurunan hasil tangkapan (foto: unsplash.com/Devi Puspita Amartha Yahya)

ADA 5,08 juta nelayan di seluruh Indonesia yang bergantung pada sektor perikanan. Namun, studi gabungan Indonesia dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa stok perikanan di kepulauan Nusantara terus menurun, tidak seimbang, dan tidak berkelanjutan. Penurunannya lebih parah dibanding yang diprediksi oleh pemerintah.

Para peneliti coba mengevaluasi ulang stok ikan yang ada di laut dalam Indonesia. Mereka mengamati delapan spesies ikan bernilai ekonomi tinggi sebagai parameter. Beberapa spesies tersebut adalah kakap darah (Lutjanus malabaricus), Anggoli (Pristipomoides multidens dan P. typus), ikan gorara gigi (L. erythropterus), dan ikan tajuk (Aphareus rulitans). Jenis-jenis ikan tersebut berkontribusi besar terhadap perekonomian dan kesejahteraan nelayan.

Konstruksi Kayu

Spesies yang diamati para peneliti menunjukkan tingkat perkawinan (pemijahan) ikan yang menurun, seperti diungkap studi yang dipublikasikan Science Direct yang terbit Desember 2023. Hasil studi ini juga memperkirakan stok spesies-spesies tersebut 1,4-2,4 kali lebih rendah dibandingkan perkiraan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Untuk melihat tingkat keberlanjutan stok perikanan laut dalam, para peneliti menggunakan tingkat tangkapan (catch rates) dan rasio pemijahan yang dihasilkan (spawn produced ratio) untuk menganalisis stok delapan spesies ikan yang mereka amati. Penggabungan dua indikator tersebut memberikan gambaran lebih jelas dan lebih holistik tentang stok ikan di laut dalam Indonesia.

Berdasarkan dua indikator tersebut, para peneliti menemukan tidak spesies yang menunjukkan tingkat tangkapan yang meningkat atau stabil bersamaan dengan tingkat pemijahan yang meningkat. Artinya, tidak ada spesies ikan dalam kondisi baik dan ditangkap secara berkelanjutan alias overfishing.

Elle Wibisono, salah satu peneliti dan ahli perikanan dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, mengatakan perlu melihat metode Kementerian Kelautan Indonesia untuk mengetahui perbedaan angka dengan studi mereka. Sebab, jika hanya menggunakan satu indikator, maka hasilnya akan berbeda dan tidak akurat. Walhasil, penentuan kebijakannya akan tidak tepat sasaran.

Selama ini, pemerintah yang berfokus pada aspek produksi, menggunakan indikator tingkat tangkapan (catch rates) sebagai penentu kebijakan. Sedangkan, bagi pembuat kebijakan konservatif dan berhati-hati, kebijakan memakai dasar rasio pemijahan sebagai indikator.

“Ke depan, kebijakan tidak hanya ditentukan oleh satu indikator, tapi oleh beberapa indikator. Studi ini memperlihatkan dunia perikanan yang begitu variatif, analisis satu indikator bisa berbahaya. Maka menggabungkan beberapa indikator bisa memberikan hasil yang lebih akurat dalam penentuan kebijakan,” kata Elle Wibisono seperti dikutip Mongabay.

“Soal indikator apa yang digunakan, perlu dibahas bersama antara akademisi, pemerintah, dan lembaga swadaya yang ahli di bidangnya,” lanjutnya.

Analisis multiindikator menjadi penting bagi sektor perikanan Indonesia. Sebab, analisis tersebut menjadi fondasi penyusunan kebijakan untuk memaksimalkan hasil perikanan Indonesia yang berkelanjutan.

Menurut Kementerian Kelautan, 90% perahu nelayan Indonesia melaut di daerah yang sudah mengalami penangkapan ikan berlebihan (overfishing).

Selain overfishing, sektor perikanan Indonesia juga rentan terhadap krisis iklim. Laju kenaikan suhu saat ini berpotensi membuat hasil tangkapan ikan menurun hingga 20% di 2050.

Dampak ekonomi yang dihadapi oleh nelayan skala besar mencapai penurunan pendapatan hingga 14%. Bagi nelayan kecil lebih parah lagi, pendapatannya berpotensi menurun hingga 19%.

Artikel ini diperbarui pada 17 November 2023 pada sumber kutipan peneliti. Ikuti percakapan tentang perikanan berkelanjutan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain