KAWASAN Gunung Mutis menjadi salah satu kawasan hutan pegunungan tersisa di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Kawasan ini cap disebut “jantungnya” Pulau Timor karena fungsi pentingnya sebagai daerah tangkapan air, habitat flora fauna endemik Timor, penyedia sumber daya kayu maupun non-kayu, areal penggembalaan ternak serta berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon.
Tak mengherankan bila kawasan Gunung Mutis ditetapkan sebagai kawasan lindung, dengan sebutan hutan tutupan pada zaman pemerintah Hindia Belanda tahun 1928 dan pada 1983 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkannya menjadi Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata yang menjadi cikal bakal lahirnya Cagar Alam (CA) Mutis Timau pada 1996.
Sayangnya, dalam tiga dekade terakhir, pelbagai kajian menunjukkan kawasan Mutis Timau seluas 12 ribu hektare ini terancam oleh deforestasi dan degradasi hutan akibat berbagai aktivitas manusia seperti pengambilan kayu, perluasan lahan pertanian, pembangunan infrastruktur, penggembalaan liar dan termasuk aktivitas wisata.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dan UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, aktivitas wisata tidak diperbolehkan di kawasan cagar alam. Wisata pada kawasan konservasi hanya diperbolehkan pada Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA), Taman Hutan Raya (Tahura) dan Suaka Margasatwa (SM).
Masyarakat umum ternyata belum memahami sepenuhnya tentang hal ini, sehingga cagar alam Mutis Timau tetap diserbu wisatawan. Mereka tidak menyadari aktivitas wisata yang mereka lakukan termasuk “illegal”. Ironisnya, demi target Pendapatan Asli Daerah, Dinas Pariwisata Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), yang semestinya paham dengan fungsi cagar alam, tetap mencantumkan Mutis sebagai destinasi utama dalam promosi wisatanya. Setali tiga uang, demi menarik wisatawan, agen wisata juga gencar berpromosi dengan melabeli kawasan Mutis sebagai “surga tersembunyi” di Pulau Timor.
Sementara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT selaku pengelola kawasan, terkendala dengan jumlah personel di lapangan dalam pengawasannya, sehingga seakan-akan cagar alam Mutis Timau menjadi wilayah yang open access bagi wisatawan.
Pengelolaan wisata di Mutis Timau yang sarat “pertarungan” kepentingan ekonomi dan konservasi akan dikupas dalam kerangka DPSIR (Driver-Pressure-State-Impact-Response) – sebuah kerangka penilaian lingkungan yang dikembangkan oleh European Environment Agency (1999), yang mengasumsikan adanya hubungan sebab akibat oleh faktor pendorong (driver), tekanan aktivitas manusia (pressure), kondisi lingkungan (state), dampak yang ditimbulkan (impact) dan respons kebijakan (response).
Pendorong. Faktor eksternal yang menjadi pendorong adalah pertumbuhan wisata. United National World Tourism Organization (UNWTO), badan PBB yang mengurusi wisata, melaporkan secara global kunjungan wisatawan meningkat tiga kali lipat dari sekitar 435 juta pada tahun 1990 menjadi 1,3 miliar pada 2017 dan diperkirakan jumlah kunjungan wisatawan akan terus meningkat.
Dalam lingkup nasional, data KLHK menyebutkan bahwa terjadi peningkatan kunjungan ke objek wisata alam hampir dua kali lipat, dari 2,9 juta wisatawan pada 2021 menjadi 5,3 juta wisatawan pada 2022. Dalam lingkup lokal, data BPS menyebutkan selama 2014-2022 (di luar masa pandemi Covid, 2019-2020), sekitar 11 ribu wisatawan setiap tahunnya berkunjung ke Kabupaten TTS, di mana sebagian besarnya berkunjung ke kawasan Mutis.
Sementara faktor pendorong internal adalah objek daya tarik wisata berupa keindahan alam Gunung Mutis dengan keunikan hamparan sabana dan tegakan alam ampupu (Eucalyptus urophylla) serta hutan bonsai, yang menjadi magnet bagi wisatawan untuk berkunjung.
Kondisi suhu udara yang cukup dingin (sekitar 12-19o Celsius) juga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Timor, yang biasa berpanas-panas dengan suhu rata-rata 28-30oC. Tidak mengherankan jika pada akhir pekan, akses utama ke Mutis dari kota di sekitarnya (Kupang, Kefamenanu), banyak orang berkendara demi mendapatkan “AC alami” di Kawasan Mutis.
Pressure-State-Impact. Berbagai aktivitas yang dilakukan oleh wisatawan dapat dianggap sebagai tekanan (pressure) yang akan mempengaruhi atau bahkan mengubah kondisi (state) biofisik kawasan Mutis dan sosial ekonomi masyarakat sekitar yang pada akhirnya akan memberikan dampak (impact) ekologis, sosial budaya, dan ekonomi.
Spot wisata utama yang menjadi incaran wisatawan di Mutis Timau adalah hutan bonsai (tanaman ampupu kerdil yang tumbuh di sekitar jalan utama yang membelah kawasan cagar alam Mutis Timau), Padang Lelofui (padang rumput atau savana seluas sekitar 50 hektare yang dikelilingi oleh tegakan ampupu) dan Puncak Gunung Mutis (2.427 meter dari permukaan laut). Aktivitas wisata yang di Padang Lelofui pada umumnya camping, sementara untuk kegiatan wisata di hutan Bonsai sebatas foto-foto dan jalan-jalan. Selain itu, para pecinta alam biasanya menyukai kegiatan tracking dan mendaki puncak Gunung Mutis.
Sementara penggila motor cross memanfaatkan jalur jalan yang menantang di kawasan cagar alam Mutis. Kegiatan-kegiatan tersebut berpotensi menimbulkan dampak ekologi berupa terganggunya kehidupan satwa, rusaknya anakan pohon, potensi kebakaran hutan serta tumpukan sampah pada musim liburan.
Wisatawan yang datang dari dalam dan luar negeri dengan berbagai latar belakang budaya juga berpotensi mengubah perilaku masyarakat setempat, baik yang sifatnya positif maupun negatif. Selain dampak ekologi dan dampak sosial tersebut, dampak yang dianggap positif adalah dampak ekonomi, berupa peningkatan pendapatan masyarakat melalui layanan pemandu wisata, penyewaan homestay, penjualan suvenir. Pada musim liburan salah satu homestay di sekitar Mutis biasanya selalu penuh dan souvenir berupa kain tenun motif Timor serta oleh-oleh Madu Timor biasanya laku keras.
Response. Respons merupakan upaya pengelola atau pihak terkait dalam rangka meminimalkan dampak negatif. Isu utama yang perlu dilakukan adalah bagaimana “melegalkan” kegiatan wisata di Mutis Timau. Salah satu respons yang sudah dilakukan oleh pengelola adalah mengevaluasi fungsi kawasan (sesuai Peraturan Menteri LHK P.49/2014) dan mengubah peruntukan dan fungsi kawasan (tata caranya diatur dalam PP 104/2015).
Meskipun ada perdebatan dalam upaya perubahan fungsi kawasan, ada anggota legislatif yang menyuarakan penolakan dengan dalih menjaga kelestarian, namun pada akhirnya sebagian besar stakeholder sepakat dengan perubahan cagar alam menjadi taman nasional atau kawasan konservasi lainnya.
Isu perubahan fungsi cagar alam menjadi taman nasional ini sebenarnya seperti lagu lama yang dipopulerkan kembali, karena sekitar 20 tahun yang lalu (tahun 2004), kawasan bentang alam Mutis ini pernah diusulkan menjadi taman nasional, namun pada waktu itu terhambat karena salah satu dari tiga kepala daerah tidak menyetujuinya.
Tidak hanya untuk wisata, perubahan fungsi kawasan cagar alam juga diharapkan mampu mengakomodasi aktivitas masyarakat lainnya seperti, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan penggembalaan ternak.
Setelah perubahan fungsi kawasan, tahap selanjutnya adalah penentuan zonasi, dengan menetapkan kawasan dengan nilai biodiversitas tinggi sebagai zona inti (tidak boleh ada gangguan aktivitas masyarakat), sementara spot wisata, aktivitas pengambilan hasil hutan bukan kayu dan penggembalaan dapat dilakukan di zona pemanfaatan.
Intinya perubahan fungsi kawasan cagar alam ini menjadi prasyarat utama agar kegiatan wisata dapat dilakukan di dalam kawasan Mutis.
Setelah tercipta enabling condition, kawasan mutis secara legal sudah bisa mengakomodasi kegiatan wisata, hal yang perlu dilakukan adalah menyelaraskan Rencana Induk Pariwisata Daerah (Ripparda) Kabupaten TTS dengan Rencana Pengeloaan Kawasan Mutis. Dalam Ripparda Kabupaten TTS 2018-2025, kawasan Gunung Mutis menjadi kawasan andalan pariwisata daerah dan akan dikembangkan wisata minat khusus berupa aktivitas pendakian, panjat tebing, turun tebing dan kegiatan perkemahan.
Berbagai aktivitas wisata tersebut harus disinkronkan dengan zonasi pengelolaan kawasan Mutis.
Yang tidak kalah penting, pada setiap situs lokasi zona pemanfaatan wisata harus dilakukan perhitungan daya dukung lingkungan dan daya tampung wisatawan untuk memastikan bahwa kegiatan wisata tidak merusak habitat flora/fauna serta bisa meminimalisasi dampak negatif yang terjadi. Jalan bersama untuk menjaga surga tersembunyi di Pulau Timor dengan memadukan sektor pariwisata dan kehutanan dengan masing-masing kepentingannya tentunya tidak mudah.
Namun dengan kolaborasi multipihak yang melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat setempat, yang menjadi salah satu dari 10 cara baru pengelolaan kawasan konservasi KLHK serta terpenuhinya konsep 5A pariwisata, yaitu attractions (daya tarik), accessibility (aksesibilitas), amenities (fasilitas), available packages (paket perjalanan), dan activities (kegiatan), pengelolaan wisata ke depan diharapkan dapat menarik lebih banyak wisatawan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah serta tetap menjaga kelestarian hutan Gunung Mutis.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti Madya pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :