DALAM kehidupan sehari-hari kita bisa menikmati suatu manfaat tanpa susah payah menciptakan atau membayarnya. Misalnya, kita menikmati udara segar karena suatu daerah banyak pohonnya, pemandangan indah, atau air dari pegunungan yang bersih. Ahli ekonomi menyebut udara, pemandangan, air sebagai barang publik atau barang kolektif. Kita, sebagai penikmatnya, disebut penunggang gratis atau free riders.
Standford Encyclopedia of Philosophy dalam “The Free Rider Problem” (2020) menyebut problem penunggang gratis atau free riders adalah perilaku mereka membuat barang publik rusak karena kontribusi memperbaikinya tidak menjadi tanggung jawab setiap orang. Namun, apabila persediaan barang publik tersebut habis, usaha memenuhinya tidak akan cukup.
Dengan kata lain, mempertahankan barang publik perlu kebersamaan, walaupun semua orang tidak mempunyai kewajiban atau keperluan melakukannya. Dalam konteks itulah muncul istilah penunggang gratis.
Ahli ekonomi akan bertanya: mekanisme apa yang paling efisien dalam memproduksi barang kolektif atau barang publik, mengingat ada insentif bagi penunggang gratis? Ahli psikologi sosial akan mengajukan pertanyaan: sejauh mana dan dalam keadaan apa orang termotivasi menjadi pelaku penunggang gratis? Orang politik tak ketinggalan: apa yang menjelaskan partisipasi politik berskala besar meski ada insentif bagi penunggang gratis? Ahli filsafat moral menutupnya dengan pertanyaan: dalam keadaan apa penunggang gratis salah secara moral?
Penunggang gratis menjadi masalah karena selain tidak membayar barang yang mereka konsumsi, mereka bisa terus mendapatkan manfaatnya. Meski semua orang kooperatif secara alami, keberadaan penunggang gratis membuat perilaku sosial masyarakat cenderung memburuk.
Barang yang menciptakan penunggang gratis biasanya tidak mampu mengecualikan pihak yang tidak membayar. Konsumsi oleh individu tidak mempengaruhi ketersediaan barang itu, walaupun barang tersebut harus tetap diproduksi dan/atau dipelihara.
Kondisi tersebut, dalam ilmu sosial, memicu pertanyaan bagaimana membatasi mereka serta mencegah pengaruh negatifnya. Hal ini sekaligus mengantisipasi sumber daya “tanpa ada pengecualian”. Yang berarti bahwa orang yang tidak membayar pun tidak bisa dicegah menggunakan atau mendapat manfaat dari barang tersebut.
Selain itu, masalah penunggang gratis umum terjadi pada barang publik yang bersifat non-excludable dan non-rivalry. Barang non-excludable artinya orang yang tidak membayar tidak bisa dilarang menggunakan atau mengambil manfaat dari barang tersebut. Sementara barang non-rivalry berarti penggunaan suatu barang atau jasa oleh konsumen tertentu tidak mengurangi ketersediaan barang itu bagi konsumen lain.
Karakteristik barang publik itu mengakibatkan kurangnya insentif atau minat bagi konsumen melindungi keberadaannya, walaupun mereka menikmati manfaatnya.
Barang publik juga biasanya tak punya pesaing. Satu orang yang menghirup oksigen ketika bernapas tak mengurangi oksigen di udara terbuka bagi orang lain. Karakteristik barang publik seperti itu menghasilkan insentif yang kecil bagi penggunanya untuk berkontribusi atas keberadaan dan kualitasnya, walaupun ikut menikmati manfaatnya.
Demikian pula, misalnya, keamanan dalam suatu rukun tetangga. Setiap rumah tangga wajib ikut menjalankan sistem keamanan lingkungan sesuai jadwal. Namun bila ada seseorang anggota rukun tetangga tidak hadir sesuai jadwal, ia tetap akan mendapat manfaat keamanan oleh ronda itu. Orang yang tak ikut ronda itu bisa kita sebut sebagai free riders.
Barang publik bisa dibatasi penggunaannya. Misalnya jalan umum gratis yang terlalu padat sehingga menimbulkan kemacetan diubah menjadi jalan tol yang berbayar.
Keberadaan barang publik kadang-kadang diperburuk oleh fakta konsumsi oleh pihak lain sebagai pesaing. Konsumen barang publik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tanpa membayar, juga konsumsi itu dilakukan dengan membebankan biaya kepada orang lain. Konsep “tragedy of the commons” atau tragedi barang publik dari Garrett Hardin menyoroti soal ini.
Dalam konsep itu, setiap orang dalam suatu lingkungan bisa mengambil manfaat dari lingkungan itu secara maksimal. Bila semua orang menjalankan prinsip itu, konsumsi berlebihan mengakibatkan kehancuran. Penunggang gratis seperti itu juga bisa muncul ketika produksi barang tidak mempertimbangkan biaya eksternalitas. Misalnya akibat eksploitasi sumber daya alam berdampak buruk bagi lingkungan hidup.
Dalam fenomena perubahan iklim global juga terjadi demikian. Manfaat pengurangan emisi di suatu negara bisa melampaui batas wilayah negara itu dan bersama dengan negara-negara lain berdampak pada negara-negara di seluruh dunia. Sifat seperti itu mengakibatkan beberapa negara bertindak untuk kepentingan mereka sendiri, membatasi mencegah dampak krisis iklim seraya menikmati pekerjaan negara lain.
Dalam skala kecil, ketika kebutuhan pada barang publik meningkat, beberapa kelompok masyarakat tertarik membuat kegiatan dengan aksi kolektif. Misalnya membangun taman kota atau taman di permukiman.
Kegiatan seperti itu umumnya membalikkan sifat-sifat penunggang gratis. Kegiatan yang sering dimaknai sebagai biaya dalam model yang berfokus pada kepentingan pribadi, diarahkan oleh kepentingan pribadi, tapi bertujuan dapat memenuhi kepentingan publik. Namun, perilaku seperti itu tidak bisa meluas. Masalah penunggang gratis, menurut sebagian ahli, akan menjadi isu sepanjang massa.
Misalnya, Albert O. Hirschman, ekonom Jerman (1915-2012), percaya bahwa penunggang gratis menjadi masalah siklus dalam perekonomian kapitalis. Siklus ini akan berulang kembali ketika kerja individu untuk kepentingan publik menjadi kurang berarti dan tingkat komitmen pendukung terhadap kegiatan kolektif akan menurun. Dengan berkurangnya dukungan, banyak yang akan kembali ke kepentingan pribadi, dan seiring berjalannya waktu mengulangi siklus tersebut.
Para pendukung model Hirschman menegaskan bahwa faktor penting dalam memotivasi orang adalah mereka perlu didorong oleh seruan seorang pemimpin tepercaya untuk melakukan altruisme. Ia memberi contoh pidato pengukuhan presiden John F. Kennedy yang mengimbau rakyat Amerika untuk “Jangan bertanya apa yang bisa diberikan negara untuk Anda, tanyakan apa yang bisa Anda lakukan untuk negara Anda”.
Maka, dengan pengertian dan penjelasan di atas, apakah hutan yang menghasilkan oksigen dan pelindung manusia dari bencana termasuk ke dalam barang publik? Jika, ya, bagaimana menempatkan dan mengaturnya?
Ikuti percakapan tentang barang publik di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :