DENGAN kemajuan sains dan teknologi saat ini, seperti perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligent), kita perlu menekankan kembali pentingnya mewujudkan keadilan. Itu karena praktik sains bisa berbeda dengan hukum dalam menentukan keadilan.
Nic Ulmi dalam How justice and science are looking for the truth (2017) merumuskan bagaimana hukum dan sains berhubungan menentukan keadilan. Menurut dia, sains dan keadilan punya tujuan yang sama, yakni mencari fakta, namun hasilnya sering kali berbeda.
Ada yang menyebut tujuan utama hukum adalah menegakkan keadilan, bukan menemukan kebenaran ilmiah. Maka, tidak ada hubungan pasti antara sains dan keadilan yang dipandu hukum. Namun, baik hukum maupun sains, menganggap kebenaran ada jika sebuah fakta “tidak diragukan lagi”, bukan harus selalu diakui secara absolut.
Dalam kondisi apa pun, tulis Ulmi, selalu ada pilihan dan interpretasi. Mengabaikan hal ini bisa menghasilkan praktik “saintisme”, bukan praktik sains. Hukum akan mengejar dan tunduk pada “hantu ilmu pengetahuan”, yang berisiko menghilangkan alasan keberadaannya. Konon kebenaran hanyalah sebagian kecil dari hukum, karena tujuan utamanya memang menegakkan keadilan, bukan memburu kebenaran.
Apa yang ditulis Ulmi itu berguna memperluas kecukupan interpretasi suatu hasil studi dalam arti luas, sosial, ekonomi, politik, penggunaan teknologi dan lain-lain. Berbagai studi itu tidak cukup hanya diharuskan menggunakan contoh (sampling) yang dapat mewakili populasi dan kesimpulan yang tepat, misalnya, tetapi harus ada pernyataan bagaimana menggunakan hasil penelitian itu dalam kondisi ketimpangan dan ketidak-adilan yang sedang berlangsung.
Sehingga ada pertanyaan mendasar: Apakah perkembangan kecerdasan buatan saat ini untuk memperjuangkan keadilan atau justru mengabaikannya?
Ilustrasi kompleksitas hubungan antara sains dan keadilan bisa ditunjukkan dengan kesaksian di pengadilan. Pernyataan seorang akademisi tidak selalu dianggap benar dan digunakan hakim atau jaksa dan pengacara. Walaupun sains dan keadilan didefinisikan oleh fakta, tapi caranya berbeda. Para ilmuwan kini cenderung tidak lagi percaya kepada kebenaran mutlak, mereka lebih percaya pada konsensus komunitas ilmiah.
Banyak yang menegaskan bahwa sains adalah hukum moral—termasuk para epistemolog seperti Karl Popper. Popper menegaskan bahwa fakta dalam sains ditetapkan dengan cara yang mirip dengan persidangan oleh juri dalam kasus hukum. Dengan kata lain, kita menemukan intersubjektivitas yang sama di jantung ilmu pengetahuan.
Kadang-kadang ada perbedaan mendasar antara jenis bukti dalam proses peradilan dan bukti yang dihasilkan eksperimen ilmiah. Pembuktian dalam persidangan tunduk pada serangkaian aturan yang tidak berlaku bagi peneliti sains. Sering kali, dalam persidangan, batasan waktu menentukan bukti faktual dapat dikesampingkan. Dengan kata lain, logika yang diajukan bisa dianggap terlalu tua.
Hal itu sama dengan apa yang dilakukan seorang hakim ketika menolak keterangan ahli karena ia menganggap tidak relevan di mata hukum, meskipun hakim itu benar-benar yakin akan keabsahan ilmiahnya. Beberapa bukti mungkin faktual, namun tetap saja tidak dapat digunakan.
Misalnya ada video kejahatan yang menunjukkan peristiwa kejahatan. Tapi cara mendapatkan video tersebut ilegal. Maka, meski video tersebut mengungkap fakta tanpa keraguan, hakim tidak berhak mempertimbangkannya karena cara mendapatkan bukti tersebut yang bertentangan dengan hukum.
Oliver Leclerc menyebut kebenaran didekati bukan melalui kepastian, namun melalui konvergensi penafsiran, melalui pilihan kolektif. Ini tidak berlaku bagi sains yang menganggap proses ilmiah sesuatu yang ideal.
Sains tunduk pada aturan pembuktian yang memiliki standar praktis serta proses tinjauan kolega atau teman sejawat. Baik dalam keadilan hukum maupun sains, kebenaran didekati bukan melalui kepastian, namun melalui pilihan kolektif diterimanya suatu kenyataan, dan sebagai hasil dari konsensus yang tercerahkan yaitu berbagai kebenaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Untuk hal ini ada yang menegaskan bahwa kebenaran undang-undang hanya dapat dibuktikan melalui penggunaannya dalam menyelesaikan kasus-kasus nyata di lapangan. Sehingga cakupan undang-undang itu bukan hanya isi teksnya, ditentukan juga oleh kapasitas dan kredibilitas pelaksananya.
Hal itu berarti bahwa kebenaran ilmiah atau sains yang hanya didasarkan pada fakta, meskipun sudah terverifikasi dan dapat direproduksi, belum mencakup upaya mewujudkan keadilan. Mewujudkan pemanfaatan sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan, mengembangkan dan menggunakan teknologi, sama sekali belum menjadi landasan untuk mewujudkan keadilan itu.
Saat ini ketidakadilan sudah bersifat struktural. Penetapan kebenaran ilmiah, misalnya, penentuannya sering kali memakai persentase dari populasi mayoritas. Anggota lainnya yang minoritas diabaikan. Hal ini serupa bila terdapat sejumlah populasi yang tidak dapat mengikuti atau menggunakan teknologi, bahasa, ataupun informasi, akan ditinggalkan dalam pengembangan ilmu pengetahuan juga dalam pengambilan keputusan.
Filsafat, agama, rasa keadilan, dan prasangka, memang tidak ada hubungannya dengan sains. Tapi, meski bukan sains, tidak berarti mereka tidak punya manfaat dalam penggunaan sains. Penggunaan sains, bagaimanapun, harus sejalan dengan tumbuhnya rasa adil di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Ikuti percakapan tentang kebenaran ilmiah di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :