ZINGIBRTACEAE adalah kelompok jahe-jaheaan yang merupakan famili terbesar dalam ordo Zingiberales. Keluarga jahe mengandung senyawa aromatik yang memberikan banyak manfaat sebagai bumbu masakan dan obat-obatan.
Indonesia adalah rumah bagi sekitar 500 spesies jahe dari total 1.500 spesies di dunia. Menurut Axel Dalberg Poulsen, ahli taksonomi Royal Botanic Garden Edinburgh, Wallacea, Kalimantan, dan Sumatera merupakan pusat keanekaragaman jahe liar di Indonesia dan sebagian besar merupakan spesies endemik. Namun, lebih dari 100 spesies jahe terancam punah dan masuk daftar merah IUCN.
Ancaman itu akibat konversi dan penggundulan hutan dalam beberapa dekade terakhir. Jahe liar merupakan sumber plasma nutfah yang potensial untuk bahan baku obat. Sayangnya, hanya sedikit spesies jahe yang telah dimanfaatkan oleh manusia. Diperkirakan hanya sekitar 40-50 spesies jahe yang telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Kajian etnobotani dan farmakologi mengungkapkan sebagian besar anggota jahe merupakan sumber obat tradisional dan mengandung berbagai senyawa aktif yang berpotensi dalam penemuan obat modern. Jahe dilaporkan memiliki berbagai potensi aktivitas biologis dan farmakologis, antara lain sebagai antioksidan, antibakteri, antiinflamasi, antikanker, antitumor, antiartritis, anthelmintik, dan antihipertensi.
Beberapa senyawa metabolit sekunder yang berpotensi menjadi sumber obat juga telah berhasil diidentifikasi dan diisolasi dari Zingiberaceae, seperti senyawa fenolik dan 6-gingerol pada Zingiber officinale Roscoe terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi.
Sedangkan senyawa flavonoid dan fenolik, yang terkandung dalam Etlingera elatior (Jack) R.M.Sm., memiliki aktivitas antibakteri yang kuat terhadap Staphylococcus aureus, bakteri penyebab infeksi kulit.
Berdasarkan daftar merah IUCN tahun 2020, famili jahe di Indonesia memiliki 80 spesies dengan 20 genus terdaftar sebagai tanaman terancam punah. Jumlahnya naik menjadi 105 di 23 genus dalam daftar merah 2023.
Sekitar 68,57% total jenis diakui sebagai spesies endemik. Spesies ini dikategorikan ke dalam empat wilayah di Indonesia: Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa. Namun, kini ancaman kepunahan jahe turun. Penurunan ini bisa disebabkan oleh kecilnya ukuran populasi alami dan pemanfaatan yang terbatas dalam komunitas lokal.
Jumlah spesies jahe yang dimanfaatkan oleh masyarakat kurang dari 10%. Di antara genusnya, Etlingera adalah yang paling luas digunakan sebanyak lima spesies, disusul Curcuma dua spesies, lalu Plagiostachys dan Zingiber dengan masing-masing satu spesies.
Pemanfaatan utama spesies ini adalah sebagai bahan makanan (Curcuma sumatrana, Etlingera aurantia, Etlingera baculeta, Etlingera baramensis, Etligera loerzingii, Etlingera muriformis, Plagiostachys crocydocalyx, dan Zingiber album).
Kegunaan lain termasuk tujuan pengobatan untuk kulit (C. sumatrana), kosmetik (E. baramensis), praktik spiritual (P. crocydocalyx) dan tidak teridentifikasi. Menurut data Web of Science Core Collection database, hanya 8 dari 23 genus yang umum digunakan dalam pengobatan tradisional, dengan masing-masing tercatat 34 dan 29 kegunaan. Disusul oleh genus Etlingera dan Alpinia juga banyak digunakan untuk tujuan pengobatan, masing-masing 13 dan 12 manfaat.
Lalu Boesenbergia dengan enam kegunaan. Sedangkan Hedychium dan Wurfbainia masing-masing memiliki lima dan tiga. Genus Hornstedtia, meskipun tidak digunakan secara tradisional untuk tujuan pengobatan, studi farmakologi menunjukkan bahwa genus ini memiliki aktivitas antikanker dan antioksidan.
Spesies yang termasuk dalam delapan genus jahe adalah Alpinia, Boesenbergia,Curcuma, Etlingera, Hedychium, Hornstedtia, Wurfbainia Zingiber memiliki sejarah panjang pengobatan tradisional di Indonesia. Genus-genus ini sedikitnya bisa mengobati 67 penyakit, dari luka luar hingga penyakit dalam.
Menariknya, beberapa genus menunjukkan efektivitas pengobatan yang serupa sehingga menunjukkan bahwa terdapat banyak alternatif pilihan genus jahe untuk mengobati kondisi kesehatan yang sama. Misalnya untuk mengatasi masalah seperti nafsu makan, stamina, dan efek afrodisiak, dapat diatasi dengan beberapa spesies jahe yang berasal dari empat hingga lima genus berbeda.
Contoh lainnya, penyakit seperti kolesterol, pilek, batuk, demam, hipertensi, dan rematik dapat diatasi menggunakan spesies dari salah satu dari tiga genus yang disebutkan di atas. Spesies Zingiberaceae tidak hanya dimanfaatkan sebagai bahan tunggal dalam pengobatan tradisional tetapi sering kali dalam proses meramunya dikombinasikan dengan spesies Zingiberaceae lain atau bahkan dengan spesies dari famili tumbuhan lain.
Aktivitas spesifik di dalamnya spesies dan genus jahe mencerminkan tingginya keanekaragaman senyawa aktif dalam famili ini, yang menunjukkan keragaman potensinya untuk mengatasi berbagai macam penyakit.
Besarnya potensi pemanfaatan jahe liar Indonesia ini sebagai sumber bahan obat-obatan tradisional dan modern terbalik dengan upaya konservasi ex-situ untuk melindunginya. Menurut data base Makoyana, hanya ada delapan spesies dari 105 spesies jahe Indonesia terancam punah yang saat ini dikonservasi di Kebun Raya Indonesia.
Delapan jenis itu adalah Curcuma sumatrana, Etlingera loerzingii, Etlingera solaris, Globba variabilis, Hedychium roxburghii, dan Hornstedtia mollis yang dikonservasi di Kebun Raya Bogor, Plagiostachys crocydocalyx dikonservasi di Kebun Raya Bali, dan Zingiber odoriferum yang dipelihara Kebun Raya Bogor dan Bali.
Setengah dari spesies yang dikonservasi ini dikategorikan sebagai spesies jahe yang rentan (vurnerable), tiga spesies termasuk dalam kategori rentan terancam punah (critical endangered) dan satu berstatus terancam punah (endangered). Menariknya, hanya Curcuma sumatrana, E. loerzingii dan E. solaris yang memiliki catatan pemanfaatan yang terdokumentasi. Misalnya air rebusan daun C. sumatrana secara tradisional digunakan untuk meredakan gatal, sementara E. loerzingii dan E. solaris sebagai bahan makanan.
Ikuti percakapan tentang tanaman obat di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti ahli pertama di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Topik :