KEADAAN sosial-ekonomi dan politik sedang berubah. Perubahan yang sama juga terjadi pada biofisik lokal hingga global sebagai akibat perubahan iklim. Di saat bersamaan, masyarakat miskin masih sekitar 25 juta secara nasional. Mereka adalah korban ketidakadilan pengelolaan ekonomi melalui pemanfaatan sumber daya alam. Semua itu terjadi akibat tata kelola pemerintah yang mengakumulasikan manfaat ekonomi bagi segelintir orang.
Problem tata kelola tecermin dari indeks korupsi di Indonesia. Indeks persepsi korupsi secara agregat turun dari 38 menjadi 34. Indeks itu terdiri dari Internationl Country Risk Guide dari 48 menjadi 35, Asia Risk Guide dari 32 menjadi 29, dan World Competitiveness dari 44 menjadi 39.
Bila melihat data KPK periode 2004-2023, sekitar 530 kepala daerah dan anggota legislatif terlibat korupsi. Sejak 2004 sampai November 2023 ada 1.470 kasus korupsi yang telah dan sedang ditangani KPK. Korupsi oleh pejabat tinggi negara atau menteri sebanyak empat orang di masa Presiden Megawati Soekarnoputri, lima di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan enam orang di masa Presiden Joko Widodo.
Situasi seperti itu melahirkan—yang telah saya sebut dalam artikel sebelumnya—sebagai “dunia kedua”, yakni kondisi yang faktual tapi dihindari oleh metodologi penelitian maupun percakapan resmi di kantor pemerintah, yang kita sebut saja “dunia pertama”.
Hilangnya realitas dunia kedua itu terjadi akibat pembahasan di dunia pertama tentang realitas memakai asumsi seluruh syarat yang ideal menciptakan keadaan baik terpenuhi. Faktanya, asumsi itu meleset. Misalnya, fakta bahwa manajemen jutaan hektare hutan produksi tidak lestari akibat norma-noma pengelolaan hutan lestari tak direapkan.
Model kuantitatif dalam perhitungan atau pelaksanaan kebijakan agar mencapai hasil hampir selalu disertai asumsi. Masalahnya, bila asumsi itu tidak tercapai, premis awal tersebut seharusnya dianggap keliru. Tapi, dalam kenyataan korelasi keduanya acap diabaikan.
Misalnya, untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari, status hukum hutan harus mendapat legitimasi masyarakat. Semua orang mengakui suatu areal masuk kategori hutan negara. Artinya hukum atau legalitas bisa berjalan jika ia melalui proses sosial dalam mendapat pengakuan secara hakiki (dunia kedua), bukan hanya secara administrasi (dunia pertama).
Perbedaan pandangan dalam dunia pertama dan kedua membuat persoalan atau persyaratan hukum untuk kelestarian usaha tidak tercapai. Padahal, jika dunia pertama dan kedua selaras ia juga mendatangkan efisiensi usaha karena menurunkan biaya transaksi. Faktanya, sudah jadi rahasia umum setiap bisnis perlu “perlindungan” informal untuk mencegah berbagai tekanan akibat kesalahan yang pasti menambah biaya.
Dalam perhitungan KPK, biaya transaksi bisnis seperti itu mencapai Rp 680 juta hingga Rp 22 miliar per perusahaan per tahun. Akibatnya, dunia usaha menebang kayu secara berlebihan untuk menutupnya.
Biaya transaksi secama itu, menurut KPK, juga ada dalam usaha pertambangan, perkebunan, maupun perikanan. Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa kerusakan sumber daya alam terjadi akibat biaya transaksi yang tinggi.
Karena itu kita perlu cara pandang baru melihat realitas, yakni “hiper-realitas” yang dirumuskan filsuf Prancis Jean Baudrillard pada 1981. Cara pandang ini bertolak dari paradigma bahwa melestarikan hutan tak cukup menimbang faktor teknikal, sosial, dan ekonomi. Juga tata kelola yang menyangkut kapasitas, sistem hukum, dan politik. Karena itu dalam “hiper-realitas” melihat hutan mesti multisudut pandang. Artinya, pembuat kebijakan maupun pengelolanya mesti multidisiplin ilmu dan multipenangung jawab.
Dalam Simulacra and Simulation, Baudrillard memadukan apa yang “nyata” dengan simbol yang mewakilinya (tidak nyata). Proses ini melibatkan penciptaan simbol atau serangkaian penanda yang mewakili sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Apa yang umumnya dianggap nyata dan apa yang dipahami sebagai “fiksi” bisa bercampur secara langsung dalam pengalaman, sehingga tidak ada lagi perbedaan yang jelas di antara keduanya.
Karena tidak seorang pun bertanggung jawab, mempersoalkan, atau mendiskusikan ketidaklestarian hutan produksi, situasi itu menjadi konsensus baru sebagai realitas sosial. Jika konsensus ini melahirkan kesepakatan baru secara terus-menerus, ia berkontribusi pada penciptaan “hiperrealitas”. Dengan demikian, hiperrealitas adalah perwujudan model sesuatu yang nyata, tapi tanpa asal-usul kenyataan.
Di sini kita diperingatkan agar tidak mencampuradukkan pemujaan terhadap selebritas dengan para pahlawan. Jika itu terjadi, kita akan kehilangan segala hal yang nyata. Kita harus punya kemampuan membedakan orang yang tampak hebat dan menjadi terkenal dengan orang yang menjadi terkenal karena memang hebat. Bila hal itu terjadi, kita akan kehilangan para pahlawan karena mereka tidak memiliki agensi hubungan masyarakat (public relation) untuk membangun hiperrealitas gambar diri mereka sendiri.
Bahaya hiperrealitas juga difasilitasi oleh teknologi informasi yang menyediakan alat bagi kekuatan dominan yang mendorong konsumsi dan materialisme. Bahaya mengejar rangsangan dan rayuan bukan karena kurangnya makna, tapi, seperti dikatakan Baudrillard, “kita dipenuhi oleh makna yang membunuh kita.”
Hiperrealitas dapat ditunjuk sebagai paradigma untuk menjelaskan kondisi budaya saat ini. Konsumerisme membuat kita ketergantungan pada nilai tukar. Merek X menunjukkan imaji modis, mobil Y menunjukkan kekayaan dan prestise. Nilai tukar ini menjadi faktor yang berkontribusi pada terciptanya hiperrealitas.
Masalahnya, keberlanjutan dan pengentasan kemiskinan kita perlukan untuk menata kehidupan yang sesungguhnya. Keseimbangan antara manfaat sumber daya alam dan kebutuhan manusia harus berwujud secara nyata dan adil.
Ikuti percakapan tentang tata kelola di tautan ini. Koreksi 20 Desember 2023 pada judul. Sebelumnya tertulis "Keberlanjutan"
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :