JAUH sebelum istilah pembangunan berkelanjutan populer, para petani telah mengembangkan sistem pengetahuan yang memastikan mata pencarian mereka berlangsung dalam jangka panjang. Pengalaman, sebenarnya, telah mengajarkan bahwa pembangunan berkelanjutan telah jadi praktik di tingkat mikro dan madya.
Istilah keberlanjutan atau nachhaldigkeit dalam bahasa Jerman, pertama kali digunakan oleh Hans Carl von Carlowitz dalam risalah kehutanan, Sylviculture oeconomica (Panduan Budidaya Pohon Asli) yang diterbitkan di Leipzig pada 1713. Istilah ini muncul sebagai respons terhadap konversi hutan secara besar-besaran dan naiknya permintaan kayu sebagai bahan bakar untuk tungku pabrik yang perlu dibatasi dan diatur agar pemanfaatannya dapat digunakan secara efisien dan berkelanjutan.
Pada 1960-an, gerakan perlindungan lingkungan secara signifikan mempengaruhi lahirnya kebijakan-kebijakan yang berfokus pada lingkungan. Mereka terinspirasi oleh “economy of nature” di Eropa dan Amerika, yang menempatkan hubungan ekologi sebagai inti kegiatan ekonomi.
Gerakan ini juga mempengaruhi munculnya pembangunan berkelanjutan sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang dirumuskan dalam Laporan Komisi Bruntland pada 1987 berjudul Our Common Future.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan didefinisikan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.” Idenya adalah mengembangkan solusi kebijakan yang mengintegrasikan kepedulian terhadap lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan kesetaraan sosial.
Dalam implementasinya, gagasan pembangunan berkelanjutan tidak tunggal. Nygren (1998) menganalisis empat gagasan besar tentang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang selama ini beredar, yaitu environmentalism for nature, environmentalism for profit, alternative environmentalism, dan environmentalism for the people.
Gagasan environmentalism for nature berfokus pada konservasi lingkungan yang menempatkan manusia sebagai elemen eksternal dan terpisah dari alam. Gagasan ini menganggap manusia sebagai perusak alam. Oleh karena itu, kebutuhan untuk melestarikan lingkungan diwujudkan dalam kegiatan konservasi. Di sisi lain, environmentalism for profit menekankan pada gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah dasar dari pembangunan berkelanjutan. Pemanfaatan alam diperlukan agar memiliki nilai jual. Gagasan ini terlihat dalam program-program seperti ekowisata.
Gagasan alternative environmentalism mengasumsikan bahwa pengaruh modernisasi dan perluasan budaya Barat bersifat destruktif terhadap praktik-praktik budaya non-Barat. Gagasan ini menyiratkan penekanan pada pembangunan yang berpusat pada pengelolaan sumber daya lokal dan tradisional. Sedikit berbeda dengan gagasan alternative environmentalism, konsep environmentalism for the people menitikberatkan pada pencarian solusi melalui keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan lingkungan. Kesadaran akan rasionalitas yang beragam dalam masyarakat menempatkan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
Meskipun keempat gagasan di atas memiliki perspektif berbeda, keberlanjutan dalam pembangunan berkelanjutan sering kali dipahami sebagai upaya mempertahankan apa yang sudah ada. Menurut Moore (2017), tujuan keberlanjutan seharusnya tidak hanya mempertahankan apa yang sudah ada, juga mempertahankan kapasitas untuk pengembangan lebih lanjut dan diversifikasi berbagai ontologi dan praktik-praktik pengetahuan lokal. Untuk mewujudkan hal ini, kita harus melihat proses perubahan. Di sini konteks masa lalu menjadi penting dalam keberlanjutan.
Pengalaman masa lalu bisa mempengaruhi tindakan saat ini dan membentuk masa depan dengan berbagai cara. Seperti yang dikatakan oleh McCallum (2014) bahwa berbagai realitas muncul dan diakui, tetapi mereka adalah produk dari keterlibatan, pertemuan yang secara historis dan dinamis berada di antara being dan becoming. Konteks masa lalu dapat dilihat dari bagaimana manusia terus menerus beradaptasi terhadap tantangan dan perubahan lingkungan.
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di Asia Tenggara dan banyak digunakan untuk pertanian. Namun, pertanian di lahan gambut terkenal menghasilkan emisi yang tinggi dan tidak berkelanjutan. Agar tanaman dapat tumbuh, tinggi muka air harus diturunkan. Penurunan tinggi muka air ini dapat memicu timbulnya kebakaran karena gambut menjadi kering (Qurani et al, 2022). Kerentanan lahan gambut menjadi menarik untuk melihat proses adaptasi petani dalam menjalankan praktik pertanian di lahan gambut.
Perubahan Praktik Pertanian Komoditas Kelapa di Ekosistem Lahan Gambut Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian telah berlangsung sejak lama. Di Indonesia, pemanfaatan lahan gambut dimulai pada masa Kerajaan Majapahit yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya. Pada saat itu, lahan gambut dimanfaatkan untuk permukiman dan pertanian. Pada 1920, lahan gambut dimanfaatkan oleh Belanda untuk menanam komoditas karet dan kelapa. Setelah Indonesia merdeka, lahan gambut dikelola oleh negara sebagai bagian dari proyek-proyek pembangunan (Nursyamsi et al, 2016).
Penelitian yang Anda et al, (2021) menyatakan bahwa lahan gambut di Indonesia memiliki luas total 13,43 juta hektare, tersebar di Sumatera (5,85 juta hektare), Kalimantan (4,54 juta hektare), dan Papua (3,01 juta hektare). Di Pulau Sumatera, Riau merupakan wilayah dengan lahan gambut terluas, yaitu 3,57 juta hektar. Salah satu kegiatan pertanian di lahan gambut yang dapat kita jumpai adalah pertanian kelapa.
Sejak masa kolonial Belanda, komoditas kelapa telah diperdagangkan di berbagai daerah, termasuk Indragiri Hilir, Riau (Akmal et al, 2021). Pertanian kelapa di Indragiri Hilir bergantung pada pasar. Selain pasar, faktor alam dan kekhawatiran petani terhadap perubahan lingkungan membuat petani kelapa harus terus beradaptasi dalam melakukan kegiatan pertanian.
Menurut Hastrup (2017), pengetahuan tentang teknologi asing sangat mempengaruhi kebutuhan lokal. Awalnya, perawatan kebun oleh petani hanya mengandalkan teknologi tebas untuk menghilangkan semak-semak dan gulma yang tumbuh di sekitar kebun. Munculnya teknologi pemanfaatan bahan kimia, seperti herbisida dan pestisida, kemudian digunakan oleh petani karena dianggap lebih mudah diakses, lebih cepat, dan lebih tahan lama.
Seiring berjalannya waktu, para petani merasakan efek samping dari penggunaan bahan kimia terhadap kondisi kebun, kuantitas, dan kualitas kelapa mereka. Hal ini berdampak pada pendapatan dari penjualan kelapa mereka. Pengalaman ini perlahan membentuk kembali pengetahuan petani untuk menggunakan bahan kimia secara hemat dengan mengombinasikan sistem tebas dan bahan kimia seperti herbisida. Beberapa petani telah menggunakan alat modern untuk sistem penebasan.
Adaptasi petani juga terlihat pada isu pembakaran lahan (Fawzi et al, 2021; Rozaki et al, 2022). Menurut El Amady (2020), pembakaran lahan berawal dari kultur tanah mineral, yang berfungsi untuk mempersiapkan tanah dan mendapatkan kesuburan tanah. Pada pertanian kelapa di lahan gambut, pembakaran dilakukan untuk mendapatkan abu dari sabut kelapa yang dibakar. Abu ini kemudian digunakan sebagai pupuk untuk tanaman mereka. Namun, pembakaran lahan ini dapat menyebabkan kebakaran hebat dan cepat menyebar ke berbagai tempat karena sifat lahan gambut yang mudah terbakar.
Hidup di ekosistem gambut berarti menjadi sasaran kebijakan pemerintah terkait larangan membakar lahan seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Kedua peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang membuka lahan dengan cara membakar. Pihak yang melanggar akan diberikan sanksi tegas berupa pidana penjara 3 hingga 10 tahun dan denda Rp 3-10 miliar.
Di sisi lain, pembakaran sabut dan limbah rumah tangga tetap tidak bisa dihindari. Hal ini dikarenakan sisa-sisa sabut kelapa selama masa panen tidak bisa dibiarkan membusuk dengan sendirinya. Bagaimana pun juga, penumpukan limbah sabut akan memenuhi lahan pertanian mereka.
Dengan adanya kebijakan pemerintah yang melarang pembakaran lahan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, para petani biasanya membakar limbah sabut dengan mempertimbangkan lokasi dan kondisi cuaca. Pembakaran dilakukan pada saat udara dingin atau di lokasi dengan ketinggian gambut yang rendah.
Hal lain yang turut membantu petani kelapa dalam melakukan praktik pertanian berkelanjutan di lahan gambut Indragiri Hilir, Riau adalah keberadaan sistem pengelolaan air yang disebut sebagai Water Management Trinity (WMT). Sistem ini terdiri dari kanal, tanggul, bendungan, dan pintu air. WMT dirancang untuk menjaga kelembaban tanah dan mengatur ketersediaan air terutama pada saat musim kemarau sehingga kejadian kebakaran lahan dapat diminimalisasi (Fawzi et al, 2021; Qurani et al, 2022).
Pola adaptasi petani tentu tidak selamanya bersifat linier. Keterlibatan jangka panjang antara petani dengan agen-agen non-manusia seperti tanaman, hama, teknologi, dan lain sebagainya juga mempengaruhi pandangan petani terhadap keberlanjutan. Pandangan ini diperoleh melalui sosialisasi kebijakan pemerintah nasional, dan hubungan yang kompleks dari faktor-faktor pengalaman, eksperimen, dan interaksi mereka dengan alam dan pasar.
Pembangunan berkelanjutan berfokus pada bagaimana membuat generasi berikutnya hidup dengan baik. Untuk mencapai hal tersebut, kita perlu melihat proses adaptasi. Dengan memahami konteks masa lalu, kita dapat melihat bagaimana pola adaptasi manusia dapat membantu kita melakukan improvisasi dan inovasi untuk masa depan yang berkelanjutan. Hal ini juga dapat menjadi refleksi bagi kita untuk memikirkan kembali masa depan seperti apa yang kita inginkan dan butuhkan.
Ikuti percakapan tentang pembangunan berkelanjutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peserta Magang Divisi Riset dan Manajemen Pengetahuan di Tay Juhana Foundation
Topik :