PENGELOLAAN ekonomi berbasis komoditas ditopang oleh sistem politik dengan pemilihan umum yang mahal. Karena itu para pemimpin juga mesti memenuhi biaya mahal itu. Lingkaran proses ini sudah lama dimanfaatkan para elite dan pelaku usaha besar mempengaruhi kebijakan pengelolaan ekonomi agar menguntungkan mereka.
Partai politik dan lembaga legislatif kini diisi oleh para pelaku bisnis, terutama infrastruktur, lahan, dan industri sumber daya alam. Mereka membentuk jaringan sangat kuat untuk menopang politik dan sistem ekonomi.
Pengusaha batu bara dan kelapa sawit menikmati kekuatan struktural yang semakin besar itu. Akibatnya, berbagai perusahaan agrobisnis dan sumber daya ekstraktif menjadi aktor kebijakan yang semakin tangguh. Buku Eve Warburton “Resource Nationalism in Indonesia: Boom, Big Business, and the State” (2023) menggambarkan kiprah dunia usaha dalam politik pengambilan keputusan itu. Saya sarikan isi buruk tersebut:
Pertama, nasionalisme dan aktivis sosial. Ekspansi perkebunan dan pertambangan yang pesat memotivasi kampanye berbagai organisasi gerakan sosial lingkungan, anti-korupsi, dan agraria, di tingkat nasional maupun lokal. Namun, upaya mereka belum berubah menjadi gerakan nasional yang mampu mempengaruhi proses legislasi seperti di Ekuador atau Bolivia.
Kampanye oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat sering kali terfokus pada isu-isu teknis yang relatif sempit, termasuk kegiatan reklamasi pasca-tambang, proses perizinan, dan pembayaran pendapatan bukan pajak. Sebagian yang lain mengemukakan argumen ideologis menentang model ekonomi neoliberal yang memungkinkan eksploitasi lahan dan sumber daya alam oleh korporasi, dan mengadopsi narasi yang, dalam banyak hal, mencerminkan model ekonomi di Amerika Latin.
Masyarakat sipil umumnya bersikap ambivalen terhadap kebijakan nasional sumber daya alam. Mereka kecewa dengan wacana dan bentuk nasionalisme sumber daya alam yang digerakkan oleh elite, misalnya yang dikaitkan dengan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara tahun 2009 maupun 2020.
Seorang mantan komisioner KPK menggambarkan setiap siklus pemilu menghasilkan parlemen yang lebih banyak diisi swasta. Ini menjadi salah satu sebab rendahnya kemauan politik untuk menegakkan atau meningkatkan lembaga antikorupsi seperti tecermin dalam Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Cipta Kerja, serta Undang-Undang KPK yang baru.
Selain itu perlindungan tenaga kerja yang dikurangi. Pengusaha menyederhanakan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dengan menghilangkan kewajiban berkonsultasi dengan pemangku kepentingan pihak ketiga, termasuk LSM, dalam proses persetujuan lingkungan hidup.
Revisi Undang-Undang KPK mengikis alat investigasi dan meningkatkan kontrol pemerintah dengan menjadikan pegawainya sebagai pegawai negeri sipil dengan pengawas yang dipilih oleh eksekutif. Dampaknya tidak hanya kewenangan hukum berkurang, juga terjadi pergeseran orientasi organisasi. KPK versi baru tidak lagi berupaya bermitra dengan aktivis lingkungan hidup dan antikorupsi dalam mengumpulkan informasi.
Kedua, hubungan negara-bisnis kontemporer dan pembuatan kebijakan ekonomi. Pemerintahan Presiden Suharto menghasilkan dua karakter negara dan hubungannya dengan modal. Ada dominasi kelas oligarki yang memiliki kekayaan materi dan politik yang menunjukkan kesinambungan kelas penguasa pada masa Orde Baru.
Selain itu, sifat persaingan politik dan hubungan negara-bisnis serta jaringan berbasis patronase yang terfragmentasi merupakan logika pengorganisasian ekonomi politik kontemporer.
Bisnis pengusaha etnis Tionghoa, sementara itu, lebih liberal. Mereka umumnya tidak terlalu terikat pada patron tertentu di eksekutif atau militer dan tidak terlalu dibatasi oleh kekuasaan, walaupun tidak sepenuhnya bebas dari diskriminasi budaya dan politik.
Ketiga, ada kecenderungan umum kepemilikan usaha pribumi dan berbagai perusahaan besar lebih proteksionis jika dibandingkan dengan berbagai perusahaan besar. Perusahaan besar ini cenderung punya hubungan yang lebih terbuka dengan jabatan politik, kadang-kadang pimpinan perusahaan langsung memegang jabatan politik, sehingga kebijakan mereka lebih instrumental.
Pelaku korporasi dominan di sektor kelapa sawit adalah perusahaan milik pebisnis Tionghoa Indonesia yang terdiversifikasi. Bisnis seperti ini umumnya banyak terdapat di sektor agrobisnis dan di lapisan atas konglomerat yang mendominasi ekspor dan berinvestasi di seluruh rantai nilai perkebunan.
Perusahaan perkebunan kecil juga terikat dengan modal asing karena pemerintah bergantung pada investor luar negeri dan swasta serta memberikan penghidupan dan akses pasar bagi masyarakat perdesaan.
Setelah Indonesia merdeka, bisnis etnis Tionghoa diperlakukan berbeda dengan rekan mereka yang pribumi. Perbedaan perlakuan hubungan negara-bisnis tersebut terus terjadi hingga kini. Pengaruh liberalisasi konglomerat Tionghoa berasal dari kekuatan ekonomi struktural, yang berbeda dari bentuk kekuasaan instrumental pengusaha pribumi.
Keempat, nasionalisasi dan pembangunanisme. Upaya nasionalisasi sumber daya alam, seperti halnya di negara-negara lain sering dibingkai oleh para pendukung pemerintah, partai politik, dan perusahaan dalam negeri. Kebijakan ekonomi developmentalis mengintervensi negara sekaligus masuknya modal swasta dan perluasan perusahaan domestik.
Salah satu alasan pemerintah mengalihkan pertambangan besar ke tangan domestik adalah karena pemilik lokal lebih bersedia—atau lebih mudah terdorong—berinvestasi pada industrialisasi hilir.
Di sektor batu bara, pemerintah terus mengejar berbagai perusahaan yang tidak memenuhi domestic market obligation (DMO) mereka. Namun, transformasi kepemilikan di sektor pertambangan belum menghasilkan hubungan negara-bisnis yang mendukung pembangunan yang ideal. Upaya nasionalisasi di sektor pertambangan sering kali ditandai naiknya kolusi dan pembuatan kesepakatan yang partikularistik.
Saat ini, ketika swasta menjadi aktor kebijakan yang tangguh, preferensi dunia usaha akan selalu ikut menentukan arah kebijakan nasional. Untuk itu, dominasi kelas oligarki yang memiliki kekayaan materi dan politik akan semakin menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam ke depan. Maka, dapat diperkirakan, kemauan politik untuk menegakkan atau meningkatkan kapasitas lembaga antikorupsi makin rendah.
Apa yang ditulis Warburton menegaskan bagaimana kepentingan politik oligarki sudah berkelindan dalam kebijakan negara. Kenyataan itu sering kali ditolak oleh penelaah kebijakan non-politik. Saatnya memasukkan ekologi politik dalam melihat kebijakan-kebijakan pembangunan dan ekonomi.
Ikuti percakapan tentang pembangunan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :