KERIUHAN debat calon wakil presiden pekan lalu antara Gibran Rakabuming Raka dan Mahfud Md soal carbon capture and storage seharusnya menarik diulas lebih jauh. Tapi percakapan publik setelah debat itu adalah soal kesesuaian pertanyaan dengan tema debat. Padahal, ini saatnya membawa isu nilai ekonomi karbon ke dalam percakapan khalayak.
Penyusunan kebijakan nilai ekonomi karbon tarik ulur yang panjang sejak 2010. Baru pada 2021, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98/2021 sebagai oleh-oleh pemerintah Indonesia dalam perundingan Konferensi Perubahan Iklim ke-27 (COP27) di Glasgow, Skotlandia.
Peraturan ini menandai adanya insentif pengembangan pasar karbon di Indonesia, sekaligus meningkatkan peran masyarakat dan swasta dalam menurunkan emisi yang dapat dimasukkan ke dalam biaya internal produksi, maupun daya saing dalam perdagangan karbon di Indonesia. Pada Oktober 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan bursa karbon.
Secara global, perdagangan karbon merupakan elemen integral dari arsitektur kebijakan iklim yang lebih luas di suatu negara. Jika rancangan instrumennya bagus, ia bisa menjadi bagian dari mitigasi perubahan iklim dan memungkinkan transisi menuju perekonomian rendah karbon.
Pendekatan-pendekatan mitigasi iklim secara global dirancang untuk mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca dengan biaya yang efektif, meningkatkan daya saing ekonomi dari teknologi rendah karbon (dengan menciptakan harga yang kuat), dan menghasilkan aliran pendapatan yang dapat disalurkan untuk adaptasi dan ketahanan iklim.
Saat meluncurkan bursa karbon, Presiden Joko Widodo mengatakan potensi perdagangan karbon Indonesia mencapai lebih dari Rp 3.000 triliun—meski kita belum tahu lokasi dan cara menghitungnya. Potensi besar ini akan menjadi sebuah kesempatan ekonomi baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Hal ini sejalan dengan arah dunia yang sedang menuju kepada ekonomi hijau. Aktivitas perdagangan karbon di dalam negeri, lewat perdagangan primer antarentitas bisnis dan sekunder melalui bursa, seperti perhitungan Otoritas Jasa Keuangan, bisa mencapai US$1 miliar sampai dengan US$ 15 miliar, atau setara Rp 225,21 triliun per tahun.
Pada 2022, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 mengatur tentang tata laksana penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Peraturan ini amat birokratis, sehingga sebuah entitas bisnis bisa masuk perdagangan karbon perlu waktu hampir empat tahun, baik pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Ketentuan ini bisa menghambat investasi dari entitas negara-negara produsen emisi karbon untuk berinvestasi dalam proyek karbon di Indonesia. Padahal, data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menunjukkan Indonesia memiliki hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektare yang dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton setara CO2.
Sementara, luas area hutan mangrove di Indonesia 3,31 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon biru sekitar 950 ton karbon per hektare atau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove di Indonesia. Indonesia juga memiliki lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 55 miliar ton.
Dari data tersebut, total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 Gigaton. Jika pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga US$ 5 saja di pasar karbon, potensi pendapatan Indonesia mencapai US$ 565,9 miliar. Walhasil, secara kasar, potensi ekonomi karbon Indonesia mencapai Rp 8.000 triliun. Rinciannya karbon dari hutan tropis sebesar Rp 1.780 triliun, hutan mangrove Rp 2.333 triliun, dan lahan gambut Rp 3.888 triliun.
Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, merupakan kebijakan yang menjadi momentum bagi Indonesia menjawab persoalan pemanasan global sesuai Perjanjian Paris 2015 yang mewajibkan seluruh negara menurunkan emisi hingga 43 persen untuk mencegah pemanasan global. Namun dalam kurun dua tahun, hambatan pelaksanaannya masih menjadi persoalan besar.
Persoalan mendasar itu antara lain terkait alotnya penggunaan metodologi dan mutual recognition, belum adanya harmonisasi registrasi, dan lamanya persetujuan perdagangan internasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jika tak diubah, bisa jadi penyebab kegagalan skema perdagangan karbon yang sejalan dengan mitigasi iklim.
Karena itu, urusan karbon dan perdagangan karbon tak hanya dilihat semata soal lingkungan. Ia mesti masuk ke dalam kerangka kebijakan ekonomi dan investasi nasional. Karena itu, kesempatan berharga ini hilang karena calon wakil presiden tak memperdebatkannya di panggung politik yang bertema pembangunan ekonomi ke depan.
Ikuti percakapan tentang perdagangan karbon di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional 2006-2012, penasihat senior Strengthening Palm Oil Sustainability (SPOS) Indonesia Kehati
Topik :