Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 28 Desember 2023

Hutan Jati Sebagai Tabungan untuk Membayar Utang Luar Negeri

Gagasan menjadikan hutan jati di Jawa sebagai tabungan negara untuk membayar utang luar negeri. Bisakah?

Petani jati di Cimahi, Jawa Barat (Foto: Rifqy Fauzan)

KALAU kita meminjam uang US$ 1 sekarang, jumlah yang harus dibayar nanti tidak linear menurut waktu dan menurut bunga. Misalnya, US$ 1 akan menjadi US$ 2 atau nilainya menjadi berlipat dengan menggunakan asumsi satu kali pembayaran dan mengenakan compounding interest rate: a) apabila dikenakan bunga 3% per tahun pada tahun ke-23 menjadi US$ 2; b) apabila bunga yang dikenakan 6%, nilai US$ 1 tersebut akan menjadi berlipat pada tahun ke-12; dan c) apabila bunganya dinaikkan menjadi 12% per tahun maka nilai utang akan menjadi berlipat pada tahun ke-6.

Berapa tahun nilai utang akan menjadi berlipat apabila bunganya 25%? Pada tahun ke-3 nilai utang akan menjadi dua-kali lipat dari nilai awal. Kita bisa merasakan betapa beratnya beban yang dipikul oleh para pelaku ekonomi mikro dengan bunga cukup tinggi; apalagi para pelaku ekonomi kecil yang terjerat oleh lintah darat.

Konstruksi Kayu

Bagaimana Indonesia menyiapkan diri untuk bisa membayar utang kurang lebih US$ 420 miliar sekarang dan akan menjadi sekitar US$ 840 miliar pada 2045? Pertanyaan semacam ini penting karena kita harus selalu ingat akan sejarah tahun 1998 ketika Indonesia kehilangan kedaulatannya akibat perusahaan swasta besar tidak bisa membayar utang luar negeri dan negara memikul bebannya.

Indonesia memiliki sumber daya hutan jati di pulau Jawa yang selama ini dikelola Perum Perhutani. Hutan jati seluas sekitar 700 ribu hektare. Apabila ditanami sekarang dengan menggunakan klon Cepu, misalnya, dan asumsi perkembangan harga kayu jati 10% per tahun, pada 2045 nilai kayu jati mencapai US$ 840 miliar.

Estimasi ini belum termasuk potensi pendapatan dari penjarangan, perdagangan karbon, atau perdagangan bursa pertumbuhan tegakan jati apabila dikembangkan bursa pohon jati pada suatu saat nanti. Tulisan ini membatasi ruang-lingkup pembahasan terbatas pada aspek potensi nilai ekonomi dari hutan jati apabila dijadikan Hutan Tanaman Jati Tabungan Negara (HTJTN).

Bunga tinggi investasi rendah

Akibat dari perilaku bunga, bisa dikatakan semakin tinggi tingkat bunga dikenakan di pasar uang, semakin rendah tingkat investasi. Kondisi ini biasa dinamakan sebagai mahalnya masa depan sehingga semua sumber daya digunakan untuk kepentingan hari ini.

Antisipasi terhadap perilaku bunga yang sifatnya ekstrem dilakukan pemerintah Jepang sejak 1992, yaitu mengenakan bunga simpanan di bank nol persen. Dengan perkataan lain, kalau kita menyimpan uang di bank Jepang, kita bukan mendapat pendapatan dari bunga tapi membayar jasa perbankan.

Jepang menerapkan kebijakan tersebut dengan alasan utama, antara lain, pendapatan bunga merupakan pendapatan bukan dari hasil kerja atau dalam literatur dinamakan sebagai rente (rent; unearned income). Bangsa Jepang tidak menghendaki pendapatan bukan dari hasil kerja seperti menyimpan uang di bank, termasuk sifat dan sikap kelompok bangsa Jepang yang kaya, yang “dirugikan” oleh kebijakan bunga nol tersebut.

Sejak zaman Belanda hingga sekarang, pola pembangunan Indonesia dilaksanakan dengan proporsi yang besar bersumber dari modal asing. Modal asing ini ada yang berupa investasi langsung dari investor yang berasal di negara lain atau berupa pinjaman luar negeri. Besarnya proporsi modal asing, khususnya pinjaman luar negeri dapat dilihat dari perilaku keseimbangan neraca perdagangan jasa dan transaksi modal (service account dan capital account dalam Balance of Payments, BOP).

Dalam service account, Indonesia hampir selalu mengalami defisit. Apabila nilai service account ini ditambah dengan transaksi ekspor-impor barang (commodity account), tidak jarang nilai akhirnya berstatus defisit pula sebagaimana terlihat pada gambar berikut.

Net current account Indonesia

Pola defisit yang menukik tajam ini menandakan Indonesia banyak mendatangkan modal asing termasuk pinjaman luar negeri tetapi nilai output barang dan jasa yang dijual di pasar internasional nilainya rendah.

Model ekonomi Indonesia seperti ini sudah berlangsung sejak zaman Belanda. Namun, Belanda mengambil strategi wajar mengingat statusnya sebagai penjajah. Semua desain ekonomi zaman Belanda pantas apabila sifatnya mengeksploitasi Indonesia. Misalnya, pada 1850-an, Tanam Paksa memberikan kontribusi sekitar 50% dari pendapatan nasional Belanda (Mack, 2001).

Rendahnya nilai produk yang diekspor, yang statusnya masih sebagai bahan mentah atau bahan baku, merupakan nilai tambah lain yang nilainya tinggi karena di Eropa atau negara pengimpornya diolah menjadi produk akhir. Artinya, by design, Indonesia dan negara berkembang diciptakan sebagai pemasok bahan baku saja. Maka tak mengherankan hingga sekarang tidak ada negara di wilayah tropika bekas negara jajahan sudah ada yang bisa menjadi negara maju (Singapura dikeluarkan dari populasi). Pola global yang tercipta hingga sekarang menunjukkan semakin mendekat ke garis khatulistiwa, semakin miskin suatu negara (Gambar 2).

Gambar 2. Tren spasial perbandingan GDP

Setelah negara-negara berkembang merdeka dari suasana penjajahan secara langsung, lahir model baru, by design, untuk tetap menguasai ekonomi bekas negara-negara jajahan masa lalu. Model baru tersebut adalah modal asing dan hutang luar negeri tanpa diikuti oleh bantuan/dukungan peningkatan nilai tambah atau produktivitas ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk bisa dan kuat membayarnya.

Krisis ekonomi yang mendorong krisis multidimensi Indonesia pada 1998 bukan karena Indonesia tidak punya banyak uang, tapi uang berbentuk utang luar negeri tersebut tidak disertai peningkatan nilai produk yang tinggi. Utang yang tidak bisa dibayar tersebut juga merupakan utang perusahaan swasta yang secara apriori atau subjective judgment dipercayai sebagai champion dalam urusan mencetak pendapatan. Namun demikian, fakta menunjukkan hal sebaliknya bisa saja terjadi. Negara harus antisipatif terhadap risiko berkembangnya opportunistic behavior dari dunia usaha yang bisa menyebabkan kerugian negara secara keseluruhan sebagaimana terjadi pada 1998.

Tabel 1. Balance of Payments Indonesia 1971-2000 (US$ juta)

Neraca Modal (Capital Account)

Tahun

Ekspor

Impor

Neraca Keseimbangan Perdaganga Barang

Neraca Keseimbangan Perdagangan jasa

Total

Swasta

 Pemerintah

Total

1971

1307

1226

81

-511

-430

156

285

441

72

1757

1445

312

-784

-472

427

378

805

73

2957

2664

293

-1098

-805

498

556

1054

74

6755

4632

2123

-2097

26

382

596

978

75

6869

5468

1401

-2565

-1164

-1439

1778

339

76

8615

6815

1800

-2751

-951

237

1632

1869

77

10761

7473

3288

-3360

-72

-72

1397

1325

78

11020

8382

2638

-4072

-1434

333

1491

1824

79

15907

9946

5961

-5009

952

-611

1725

1114

1980

22609

13456

9195

-6399

2754

-630

2204

1574

81

23665

16542

7123

-6624

499

148

1963

2111

82

19747

17854

1893

-7351

-5458

1639

4117

5756

83

18689

17726

963

-7405

-6442

1826

4776

6602

84

20754

15047

5707

-7677

-1970

757

2865

3622

85

18527

12705

5822

-7772

-1950

68

1739

1807

86

14396

11938

2458

-6557

-4099

1291

3074

4365

87

17206

12532

4674

-6943

-2269

1548

2104

3652

88

19509

13831

5678

-7230

-1552

407

1965

2372

89

22974

16310

6664

-7974

-1280

314

2776

3090

1990

26807

21455

5352

-8592

-3240

4113

633

4746

91

29635

24834

4801

-9193

-4392

4410

1419

5829

92

33769

26774

7022

-10144

-3122

5359

1112

6471

93

36607

28376

8231

-10529

-2298

5219

743

5962

94

40223

32322

7901

-10861

-2960

3710

307

4008

95

47454

40921

6533

-13293

-6760

10252

336

10588

96

50188

44240

5948

-13749

-7801

11511

-522

10989

97

56297

46223

10074

-15075

-5001

-338

2880

2542

98

50371

31942

18429

-14332

4097

-13846

9971

-3875

99

51243

30599

20644

-14861

5783

-9923

5353

-4570

2000

65408

40367

25041

-17043

7998

-9992

3217

-6776

Dari Gambar 1 dan Tabel 1 di atas kita dengan mudah menemukan pola evolusi 1971-2000 dan 2017-2023 memiliki kemiripan, kecuali gambaran dalam pola capital account. Informasi untuk hal ini belum bisa disajikan mengingat masih terdapat keterbatasan dalam memperoleh datanya. Namun demikian, data defisit net transaksi berjalan barang dan jasa 2017-2023 yang meluncur drastis mencerminkan bahwa apabila terjadi penarikan dana luar negeri kembali ke negaranya seperti pola yang terjadi 1997-1998, perekonomian Indonesia akan menderita. Dengan demikian, kejadian 1998 bisa mungkin terjadi kembali, perlu langkah-langkah antisipatif yang serius dan feasible.

Analisis berikut ini hanya merupakan stimulan berpikir dalam rangka mencari langkah operasional dari Pasal 33 Ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pertanyaannya adalah apa langkah operasional berkaitan dengan bumi dan air dan kekayaan alam yang di dalamnya dikuasai negara apabila dikaitkan dengan utang luar negeri? Pertanyaan ini bisa langsung dijawab dengan hasil analisis yang bisa menunjukkan bahwa kedaulatan negara bisa hilang oleh dua kejadian: 1) apabila negara kalah dalam perang dengan negara lain, dan 2) apabila suatu negara tidak bisa membayar utang luar negerinya.

Hutan Tanaman Jati (HTJ) merupakan sumber daya alam yang memiliki sifat khusus, di antaranya aset yang terus bertumbuh (growing stock) sejalan dengan perkembangan waktu. Keistimewaan kayu jati juga merupakan kayu mewah dengan perkembangan harga bertumbuh positif sekitar 10% per tahun.

Di samping itu, dengan dukungan iklim yang sesuai, pulau Jawa mewarisi peninggalan model pengelolaan HTJ Belanda sebagai model pengelolaan hutan yang memiliki banyak sifat unggul dari sudut pengaturan kelestarian hasil. Dengan menerapkan prinsip kelestarian hasil yang didukung sistem pengamanannya dari lingkungan yang berpotensi merusak, termasuk pengamanan aset tegakan jati secara kepemilikan, HTJ akan menjadi sumber pendapatan masa depan yang menjanjikan.

Secara sederhana, potensi HTJ apabila dijadikan Hutan Tanaman Jati Tabungan Negara (HTJTN), untuk membayar utang luar negeri pada 2045 disajikan melalui perhitungan di bawah ini. Perhitungan ini merupakan bahan pemicu yang memerlukan diskusi lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran lebih utuh dan komprehensif. 

Perkiraan volume pohon jati pada usia 25 tahun. Skenario:

  1. Jarak tanam awal 3x3meter dengan tanaman pengisi 20%: jumlah pohon awal 880 pohon.
  2. Jumlah pohon jati setelah penjarangan = 220 pohon dengan diameter 50 sentimeter dan bebas cabang sekitar 17 meter (tinggi pohon sekitar 31 meter.
  3. Volume per pohon = 1,827 m3
  4. Nilai per pohon (harga akhir 2023) = Rp 20.918.000
  5. Nilai kayu rata-rata per m3 = Rp 11.449.000
  6. Nilai kayu per hektare = Rp 4,602 miliar
  7. Dengan nilai US$ 1 = Rp 15.425 pada 26 Desember 2023, maka nilai kayu per hektare dengan menggunakan nilai sekarang (26 Desember 2023) = US$ 298.346 per hektare
  8. Asumsi nilai kayu meningkat 10% per tahun, maka: Nilai kayu per hektare pada 2045 (22 tahun dari sekarang) menjadi: 8.140 x US$ 298.346 per hektare = US$ 2.428.536 per hektare; Nilai kayu per hektare pada 2048 (25 tahun dari sekarang) menjadi: 10.835 x US$ 298.346 per hektare = US$ 3.232.578.91 per hektare; Tampak kisaran nilai kayu jati per hektar dengan asumsi harga kayu meningkat 10% per tahun berada pada kisaran US$ 2,42 juta per hektare sampai US$ 3,2 juta per hektare
  9. Nilai utang luar negeri sebesar US$ 840 miliar (2045) setara dengan 262.500 hektare sampai 347.107 hektare
  10. Asumsi untuk faktor pengaman luas luas hutan pada butir 9 digandakan dua kali-lipat menjadi (2x262.500 hektare) sampai (2x 347.107 ) hektare —> 525.000 hektare s/d 694.214 hektare.
  11. Luas hutan yang dikuasakan kepada Perum Perhutani sekitar 2 juta hektare, karena itu feasible untuk mengalokasikan sekitar 700 ribu hektare (dibulatkan ke atas) atau lebih luas lagi dijadikan Hutan Tanaman Jati Tabungan Negara.
  12. Selain permasalahan utang luar negeri diantisipasi melalui pemupukan tabungan melalui Hutan Jati Tabungan Negara, masalah lainnya akan teratasi secara simultan: Terbentuknya iklim mikro yang lebih baik; Melahirkan kesempatan kerja dan pendapatan dari green economy seperti penjualan jasa hutan menyerap gas-gas rumah kaca; Mengatasi erosi tanah akibat hujan, angin atau faktor lain; Memperbaiki sistem hidrologis Daerah Aliran Sungai sekaligus melindungi atau memperbaiki infrastruktur penting seperti bendung, waduk, irigasi, jalan, dan tempat permukiman dari bahaya banjir dan bahaya akibat kerusakan lingkungan lainnya; Membangun kembali keindahan alam sebagai sumber kehidupan baru termasuk outdoor recreations.

Pandangan baru terhadap hutan jati di Jawa

Dewasa ini ada kesan hutan di Jawa dimaknai sebagai sumber daya yang tidak memiliki posisi strategis. Hal ini diperlihatkan oleh perkembangan luas hutan yang semakin menciut, semakin jauh dari luas fungsional menurut ilmu pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang menyatakan bahwa batas minimal 30% dari luas suatu DAS harus berupa hutan.

Proporsi luas hutan di Jawa kini tinggal 15%. Dengan luas wilayah pulau Jawa hanya sekitar 7% dari luas daratan Indonesia, tapi memikul penduduk sekitar 60% atau 160 juta jiwa lebih dan akan terus berkembang jumlahnya, daya dukung lingkungan menjadi tantangan utama untuk menjadikan pulau Jawa sebagai habitat yang baik.

Isu ketahanan pangan yang kemudian mengalahkan kawasan hutan untuk dikonversi menjadi areal pertanian merupakan keputusan yang dipengaruhi oleh pemikiran jangka pendek. Kasus pembukaan lahan hutan 1 juta hektare untuk lahan pertanian pada masa Orde Baru yang gagal dan kasus food estate yang juga bermasalah perlu menjadi cermin dalam membuka lahan hutan untuk pertanian, khususnya di pulau Jawa.

Dalam literatur global, Lowdermilk menerbitkan artikel dalam First USDA Bulletin No. 99, U.S. Department of Agriculture, Soil Conservation Service, 1939, dengan judul “Conquest of the Land Through Seven Thousand Years”, tentang kehancuran wilayah, seperti 100 kota mati yang pernah terjadi di Suriah, akibat pertanian yang merusak lingkungan.

Sekitar 700 ribu hektare HTJTN merupakan wujud operasional Pasal 33 UUD ’45 Ayat 3 di mana HTJTN menjadi penyelamat kedaulatan negara apabila utang luar negeri sejumlah yang ada di tahun 2020 tidak bisa dibayar pada 2045. Prinsip pencadangan ini merupakan prinsip “pertahanan berganda” dalam konteks penerapan prinsip kehati-hatian, mengingat betapa pentingnya mempersiapkan diri untuk mampu membayar hutang luar negeri demi menjaga NKRI agar tidak mengalami kehilangan kedaulatan untuk kedua kalinya setelah kejadian tahun 1998.

Penutup

Utang luar negeri merupakan sumber modal utama pembangunan Indonesia sejak zaman Hindia Belanda hingga sekarang. Permasalahannya adalah, dari data Balance of Payments yang tersedia, utang luar negeri tersebut belum tampak bersenyawa dengan produk barang dan jasa yang diekspor Indonesia ke pasar dunia. Akibatnya, isi service account hampir selalu negatif sedangkan surplus dalam commodity account jumlahnya kecil.

Jumlah keseluruhan yang dapat dilihat dalam net current account tampak defisit, dengan jumlah defisit yang semakin besar. Bank Dunia memperkirakan defisit transaksi berjalan akan minus US$ 40 miliar pada 2024.

Risiko tidak mampu membayar utang luar negeri adalah kehilangan kedaulatan negara. Hal ini pernah terjadi bagi Indonesia pada 1998, yaitu akibat perusahaan swasta besar Indonesia tidak dapat membayar hutang luar negerinya. Dengan nilai utang mencapai lebih US$ 400 miliar pada 2020 dan akan menjadi sekitar US$ 840 miliar pada 2045 di satu pihak, plus dihadapkan defisit dalam net current account yang terus membengkak di pihak lain, maka perlu inovasi mencegah gagal bayar uutang tersebut sebagaimana pernah terjadi pada 1998.

Mewujudkan HTJTN merupakan satu opsi operasional berbasis Pasal 33 Ayat 3 UUD ’45. Dengan pemikiran ini hutan jati di Jawa menempati posisi ganda yang strategis mulai dari potensinya mendapatkan devisa untuk membayar utang luar negeri hingga menciptakan peningkatan kualitas lingkungan hidup dan mendukung ketahanan pangan berbasis pertanian ramah lingkungan.

Ikuti percakapan tentang hutan Jawa di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan IPB 1978, Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan (2005-2010). Sekarang Rektor Universitas Institut Koperasi Indonesia Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain