INDONESIA membutuhkan tambahan 1% pertumbuhan dari pertumbuhan ekonomi saat ini sebesar 4%-5% agar bisa keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah atau (middle income trap) lalu melesat menjadi negara maju. Dapatkah sektor kehutanan dengan potensi hutan produksi yang sangat besar, 68,8 juta hektare, mengisi tambahan tersebut?
Visi Indonesia Emas 2045 adalah menjadi negara Nusantara berdaulat, maju, dan berkelanjutan. Berdaulat dimaknai sebagai ketahanan, kesatuan, mandiri, dan aman. Maju berarti berdaya, modern, inovatif dan tangguh, sementara berkelanjutan artinya lestari dan mencapai keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Terdapat lima sasaran utama Visi Indonesia Emas 2045, yaitu: pendapatan per kapita setara negara maju, kemiskinan menuju 0%, dan ketimpangan berkurang, kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional meningkat, daya saing sumber daya manusia meningkat dan intensitas emisi gas rumah kaca menuju net zero emission (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045).
Indonesia memiliki target ambisius dalam mencapai komitmen perlindungan lingkungan hidup yang diwujudkan melalui beberapa inisiatif, seperti pengembangan energi baru dan terbarukan, perlindungan hutan dan lahan gambut, pembangunan rendah karbon, penanganan limbah terpadu, dan peningkatan produktivitas lahan.
Lahan kehutanan di Indonesia mencapai 125,8 juta hektare, seluas 68,8 hektare adalah hutan produksi yang berpeluang ditingkatkan produktivitasnya. Pemerintah Indonesia saat ini sedang mendorong penerapan multiusaha kehutanan di hutan produksi, yang diatur dalam pasal 110A dan B Undang-Undang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaran Kehutanan, serta Peraturan Menteri Lingkugan Hidup dan Kehutanan tentang Pengelolaan Hutan.
Multiusaha kehutanan memungkinkan satu kawasan hutan menghasilkan tiga kategori produk dalam satu izin: kayu, bukan kayu, dan jasa lingkungan. Sehingga multiusaha, secara konsep, bisa meningkatkan nilai ekonomi sebuah kawasan hutan.
Multiusaha kehutanan bisa menjadi proyek strategis nasional untuk mendorong realisasi visi pemerintah dengan cara memaksimalkan potensi hutan Indonesia yang masih belum sepenuhnya optimal
Ada dua isu besar yang sedang dihadapi Indonesia untuk menuju cita-cita Indonesia Emas, yaitu:
Pertama, ancaman “middle income country trap”. Hingga 2022, produk domestik bruto perkapita Indonesia masih berada di angka US$ 4.784, masih jauh dari target minimal US$ 23.000. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya hilirisasi industri yang membuat jumlah ekspor dan investasi sedikit.
Kedua, ketergantungan sangat tinggi pada sawit dan batu bara. Tahun 2021, sektor batu bara menyumbang 4,6% untuk PDB Indonesia, sawit 3,5% sementara sektor kehutanan, dengan penguasaan lahan paling luas, hanya menyumbang 1,2 %.
Peningkatan produktivitas lahan melalui multiusaha berpeluang besar menyumbang terhadap PDB karena meningkatnya awarness dan permintaan global terhadap pasokan komoditas hasil hutan yang berkelanjutan. Berdasarkan survei Forbes, 65% konsumen lebih memilih produk yang diproduksi secara berkelanjutan dan bertanggung jawab secara sosial.
Beberapa kebijakan negara maupun perusahaan juga berpengaruh signifikan dan dapat menjadi peluang besar untuk dimanfaatkan melalui pengelolaan multiusaha kehutanan yang berkelanjutan.
Nestle mentargetkan 100% pengadaan barang mentah berasal dari sumber yang berkelanjutan dan bertanggung jawab pada tahun 2030. Sementara Uni Eropa mulai akan menerapkan EUDR (EU Deforestation-Free Regulation) untuk beberapa komoditas utama yang berpotensi menyebabkan deforestasi.
Perkembangan tersebut memberikan peluang dikembangkannya pola agroforestri dengan prinsip-prinsip regeneratif pada kawasan hutan produksi. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia telah melakukan riset dan melihat beberapa komoditas yang berpotensi diarahkan menjadi “sawit masa depan” atau “next CPO” yang bisa memberikan dampak luas bagi perekonomian Indonesia (Pra-Master plan Multiusaha Kehutanan, Kadin, 2023).
Biji kopi, dengan nilai pasar Rp 435 triliun per tahun, baru menyumbang sebanyak 7,7%, sementara untuk kopi olahan, dari nilai pasar Rp 2.982 triliun, Indonesia baru menyumbang 5,5%.
Kakao sedikit lebih baik. Dari nilai pasar Rp 114,3 triliun, Indonesia memasok sekitar 13,1%, sementara vanilla 19,9% dari nilai pasar Rp 37,2 triliun.
Di samping tanaman tersebut, juga ada potensi untuk singkong, jahe, minyak asiri, kayu, dan jasa lingkungan. Dengan semua komoditi tersebut, Kadin Indonesia memperkirakan akan ada peningkatan PDB dari multiusaha kehutanan sebesar Rp 106 tiliun (0,33% uplift) pada 2029, Rp 231 triliun (0,54% uplift) pada 2034, dan Rp 621 triliun (0,79% uplift) pada 2045.
Sementara penyerapan karbon melalui sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) sebanyak 128 juta ton setara CO2 pada 2045 atau 18% dari total emisi FOLU tahun 2021. Rehabilitasi lahan kritis seluas 1,1 juta hektare (8%) pada 2045 dari total lahan kritis saat ini seluas 14 juta hektare (2021), yang bisa mendorong penyerapan tenaga kerja 1.600.600 orang pada 2045.
Semua peluang itu perlu strategi agar bisa tercapai. Berikut ini strategi utama mendorong multiusaha kehutanan menjadi solusi “middle income trap” Indonesia:
- Membangun akses pasar global melalui identifikasi komoditas unggulan, pasar untuk komoditas tersebut, serta spesifikasinya,
- Hilirisasi produk kehutanan melalui identifikasi kawasan hutan yang sesuai dan siap untuk produksi serta desain pembangunan lokasi,
- Membangun ekosistem pendukung yang lengkap dan berkelanjutan dengan intervensi pemerintah.
Ada lima inovasi utama untuk mewujudkan strategi multiusaha kehutanan menjadi peluang baru ekonomi Indonesia: sistem klaster untuk tiap rantai nilai (value chain), multilayer project management office (PMO) pemerintah dan swasta, pembangunan sentra produksi dan logistik, penyusunan bursa komoditas, dan pengembangan inovasi serta riset dan pengembangan.
Ikuti percakapan tentang multiusaha kehutanan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Mahasiswa doktoral Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB University, Ketua Yayasan YIARI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :