DI tengah ingar-bingar pemilihan presiden, para kandidat berdebat soal food estate atau lumbung pangan. Program ini adalah andalan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan ketahanan pangan. Tapi eksekusinya yang tak memakai perhitungan membuat food estate gagal di mana-mana.
Pertanyaannya, perlukan kita food estate? Jawabannya perlu karena urusan pangan memang urusan kita semua.
Pemerintah Hindia Belanda telah memetakan wilayah Indonesia menjadi zona-zona komoditas pertanian (termasuk perkebunan dan kehutanan) berdasarkan agroklimatnya. Komoditas padi cocok dan sesuai secara agroklimat hampir sebagian besar di Jawa yang tanahnya subur dari tanah vulkanis dari gunung berapi dengan curah hujan yang cukup. Juga di sebagian pulau Sumatera (Aceh, Sumut, Sumatera Barat, Lampung), sebagian pulau Sulawesi, dan Bali.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan guna mencapai swasembada pangan yang meningkat kebutuhannya setiap tahun seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, tidak ada cara lain kecuali terus menggenjot peningkatan produksi pangan. Untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi pangan terutama padi/beras, hanya ada dua cara yang dapat ditempuh pemerintah, yakni melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi sawah.
Intensifikasi dan ekstensifikasi adalah rangkaian kegiatan pertanian yang berada di hulu (on farming) yang sangat menentukan dalam peningkatan produksi pangan. Sementara untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani untuk memotivatasi agar lebih rajin dan giat bercocok tanaman, harus ada perbaikan tata kelola pemasaran yang merupakan bagian dari rangkaian tata kelola pertanian pada bagian hilirnya (off farming).
Intensifikasi sawah yang dimaksud adalah meningkatkan produksi sawah baku yang ada seoptimal mungkin dengan teknologi, pemupukan, dan pengairan yang cukup.
Sementara itu, kegiatan ekstensifikasi sawah dimaksudkan untuk menambah luas sawah baku yang ada maupun budidaya padi lahan kering melalui ekstensifikasi yang memang dimungkinkan melalui pencetakan sawah baru, food estate, maupun program lainnya.
Sayangnya, intensifikasi sawah sudah mencapai puncak kejenuhan. Dalam diskusi membahas dampak El Nino pada produksi beras oleh Perhimpunan Agronomi Indonesia pada Juli 2023 di Bogor, Jawa Barat, terungkap surplus beras Indonesia terus menurun.
Data yang disampaikan Direktur Serealia Kementerian Pertanian M. Ismail Wahab memperlihatkan, pada 2018 ada surplus beras 4,37 juta ton, lalu turun pada 2022 hanya 1,34 juta ton. Data juga menunjukkan rata-rata produktivitas padi stagnan hanya di kisaran 5 ton per hektare.
Produktivitas yang stagnan berhadapan dengan kenaikan jumlah penduduk, konsumsi beras yang masih tinggi, dan konversi lahan sawah produktif untuk perutukan non pangan.
Sementara itu, kegiatan ekstensifikasi sawah dimaksudkan untuk menambah luas sawah baku yang ada maupun budidaya padi lahan kering melalui ekstensifikasi yang memang dimungkinkan melalui pencetakan sawah baru, food estate, maupun program lainnya.
Food estate sebagai lumbung pangan telah dibangun di Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Papua Selatan ditargetkan untuk menambah produksi beras dari luas baku sawah yang telah dilakukan intensifikasi terutama di P. Jawa.
Meskipun hasilnya dari food estate per hektare pada saat ini belum setinggi dari hasil sawah baku intensifikasi yang dilakukan di Jawa, pada gilirannya nanti apabila tingkat kesuburannya telah stabil, maka hasil produktivitas dari program food estate setidaknya mampu mendekat hasil dari sawah intensisifikasi setiap hektarenya.
Untuk menunjukkan betapa penting program food estate dalam mendukung dan melengkapi hasil program sawah intensifikasi dapat dilihat dari keseriusan pemerintah dalam Rancangan APBN 2024. Pemerintah menargetkan ketahanan pangan di bidang pertanian di antaranya adalah ketersediaan beras nasional menjadi 46,84 juta ton. Pemerintah juga menargetkan lumbung pangan seluas 61.400 hektare di Kalimantan Tengah. Selain itu produksi padi di Kalimantan tengah, Sumatera Selatan, Papua Selatan juga ditargetkan sebanyak 5,06 juta ton.
Jika inginmeningkatkan pendapatan petani dengan program contract farming, seperti gagasan calon presiden Anies Baswedan, tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah sendiri yang bertindak sebagai “off taker” karena anggaran terbatas. Off taker ini juga harus melibatkan pihak swasta yang mau terjun di bisnis hasil pertanian tanaman pangan.
Jadi rumor negatif food estate telah terbantahkan, karena hanya itulah salah satunya jalan untuk menggenjot produksi pangan melalui jalan ekstensifikasi terlepas dari siapa yang mengerjakannya. Seharusnya debat kandite presiden fokus pada bagaimana mencapai ketahanan pangan di tengah laju pertumbuhan penduduk dan krisis iklim yang mengancam segala lini.
Ikuti percakapan tentang food estate di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :