Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 11 Januari 2024

Benarkah Food Estate Solusi Ketahanan Pangan?

Benarkah membuka hutan solusi ketahanan pangan. Ada penyebab lain yang krusial.

Sebuah traktor sedang membajak area food estate perkebunan singkong di Gunung Mas, Kalimatan Tengah (Foto: Dok. Save Our Borneo)

NAIKNYA jumlah penduduk suatu negara mengakibatkan rata-rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga petani menurun. Tren ini seolah menjadi realitas. Tapi jika ditelaah lebih lanjut kesimpulan itu benar apabila sektor industri dan jasa tidak berkembang. Artinya, ada penurunan penguasaan lahan tiap rumah tangga seiring jumlah penduduk jika dibarengi dengan kegagalan industrialisasi. Mari kita periksa datanya.

Data ini menggambarkan sebanyak 75% luas rata-rata lahan usaha tani di Indonesia pada 2018 di bawah 1 hektare. Jumlah petani yang menggarap lahan kurang dari 1 hektare tersebut mencapai 20.755.762 rumah tangga. Sebanyak 25% rumah tangga petani selebihnya menguasai lahan sama atau lebih dari 1 hektare, dengan jumlah rumah tangga petani sekitar 6.926.355 rumah tangga. Pada 1973, rata-rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga petani masih sekitar 1 hektare.

Konstruksi Kayu

Luas rata-rata penguasaan rumah tangga terhadap lahan hampir sama dengan luas rata-rata penguasaan lahan petani di Korea Selatan pada awal 1970-an. Ketika industrialisasi dan jasa di Korea Selatang berkembang cepat, luas lahan per petani tidak menurun, justru meningkat.

Luas lahan per petani di Korea Selatan meningkat dari luas rata-rata 1 hektare pada 1970 menjadi 1,4 hektare pada 2005. Pada 2017, luas lahan per petani di Korea Selatan kembali naik menjadi 1.6 hektare. Pola yang sama juga di Jepang dan Amerika Serikat.

Perkembangan luas lahan per petani di Jepang juga berkembang ke skala usaha tani yang lebih luas. Bahkan di kawasan Hokkaido peningkatan luas lahan petani mencapai 400% dalam tempo 40 tahun (1965-2005). Perkembangan luas lahan usahatani per petani sebagaimana yang terjadi di Korea Selatan dan Jepang adalah akibat dari pesatnya pertumbuhan dan perkembangan sektor industri atau manufaktur di kedua negara tersebut. 

Secara umum dapat dikatakan setiap penurunan nilai PDB pertanian 1% dalam nilai PDB nasional di Korea Selatan dan Jepang diikuti oleh lebih dari 2% penurunan tenaga kerja pertanian di kedua negara tersebut. Artinya, rasio antara ketersediaan lahan pertanian dan tenaga kerja meningkat akibat mengecilnya pangsa angkatan kerja pertanian di negara tersebut. 

Meski begitu tidak berarti pertaniannya melemah, justru meningkat. Model perubahan struktur ekonomi di Jepang dan Korea Selatan terjadi di semua negara maju.

Dari perkembangan pertanian di Amerika Serikat selama 162 tahun bisa kita tarik pelajaran perkembangan berikut:

  • Jumlah petani di Amerika Serikat meningkat antara 1850-1910 dari sekitar 1,5 juta menjadi hampir mencapai 7 juta petani, kemudian melandai dan meningkat lagi sedikit sampai 1935. Setelah 1935 jumlah petani di Amerika Serikat turun sampai 1974, lalu melandai dan menurun lagi sampai sekarang. Jumlah petani di Amerika Serikat sekarang 2% atau kurang dari populasi penduduk Amerika Serikat.
  • Luas lahan per petani meningkat dengan rata-rata sekitar 162 hektare.
  • Sejak 1945, luas total lahan pertanian di Amerika Serikat relatif stabil

Tren yang terjadi hingga sekarang di Indonesia adalah membuka ribuan hektare hutan baru untuk mengembangkan pertanian dengan berbagai alasan antara lain untuk pengembangan food estate. Hutan-hutan di Jawa yang jumlahnya sudah jauh di bawah batas aman suatu Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu sekitar 30%, juga menjadi incaran kebijakan untuk mengonversinya.

Apabila industrialisasi berkembang baik sebagaimana yang telah terjadi di Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya, luas lahan per petani akan meningkat, walaupun jumlah penduduknya naik juga.

Hasil perhitungan kasar menunjukkan bahwa model Korea Selatan atau Jepang memberikan gambaran setiap terjadi penurunan 1% nilai produk domerstik bruto (PDB) pertanian dalam PDB nasional (hasil transformasi ekonomi) akan diikuti oleh penurunan tenaga kerja pertanian sekitar 2%. 

Sebaliknya yang terjadi di Indonesia, setiap penurunan PDB pertanian dalam PDB nasional 1% hanya diikuti oleh penurunan tenaga kerja pertanian sekitar 0,5%. Ini yang menyebabkan terjadinya guremisasi dan sekaligus pula sebagai manifestasi lapar tanah.

Apa yang bisa kita simpulkan dari uraian di atas?

Pertama, kemajuan perekonomian suatu negara tidak dapat berlanjut apabila hanya mengandalkan pada pemanfaatan sumber daya alam seperti halnya sumberdaya lahan.  Sumberdaya lahan yang sifatnya konstan secara total akan segera habis dengan berlangsungnya perkembangan populasi penduduk yang cepat. Pengetahuan berdasarkan pengalaman negara maju sebagaimana telah diuraikan membuktikan guremisasi bukan sifat alamiah tetapi kegagalan berkembangnya proses industrialisasi;

Kedua, sumber daya hutan pada masa sekarang bukan sumber daya yang dengan segera layak dibuka atau dikonversi menjadi lahan-lahan non-hutan seperti perkebunan tebu atau lahan pertanian lainnya mengingat perluasan lahan per tanian per petani sebagaimana yang terjadi di negara maju bukan hasil dari membuka/mengonversi lahan hutan untuk pertanian melainkan hasil dari penurunan jumlah petani/pekerja pertanian yang beralih bekerja di sektor industri dan jasa.  Proses transformasi ini bersifat menghemat lahan dengan kompensasi peningkatan penerapan teknologi pertanian mulai dari hulu hingga hilirnya.

Ketiga, sebagai negara kepulauan, di mana lahan daratan relatif langka, dan sebagai negara yang berada di kawasan tropika yang dicirikan oleh curah hujan yang tinggi, sifat ekologis pulau menuntut tingginya kawasan hulu DAS menjadi kawasan-kawasan konservasi. Dengan hadirnya sinar matahari setiap hari sepanjang tahun, wilayah tropis memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi. Dengan demikian, pembangunan ekonomi juga perlu dilandasi oleh pembangunan yang berlandaskan keanekaragaman hayati. Tantangannya bagaimana menjadikan keanekaragaman hayati sebagai sumber daya bukan sebagai kendala;

Keempat, sejarah perkembangan setiap daerah di Indonesia telah melahirkan keanekaragaman budaya. Dengan hidupnya Bhineka Tunggal Ika, keanekaragaman budaya tersebut menjadi potensi pembangunan. Hal ini merupakan tantangan pembangunan nasional ke depan.

Kelima, tekanan terhadap lingkungan hidup, khususnya terhadap sumber daya hutan perlu dipahami sebagai tantangan khusus dalam mencari jalan keluar penciptaan lapangan pekerjaan, pendapatan atau ketahanan pangan.

Jadi, jangan sampai kita terperangkap oleh cara berpikir. Untuk ketahanan pangan bukan dengan membuka hutan karena menurunnya lahan pertanian akibat dari gagalnya industrialisasi.

Ikuti percakapan tentang ketahahan pangan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan IPB 1978, Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan (2005-2010). Sekarang Rektor Universitas Institut Koperasi Indonesia Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain