INDONESIA tengah memasuki fase paceklik beras dan gula. Fase itu dibayangi anomali beras dan gula dunia yang mencerminkan produksi berlimpah, tetapi harganya justru naik. Padahal, Indonesia tengah membutuhkan kedua komoditas itu sebagai cadangan pangan di tengah penurunan produksi pada tahun ini. Fase paceklik beras dan gula di Indonesia diperkirakan terjadi berbarengan pada November 2023 dan Mei 2024.
Musim tanam padi pertama di sejumlah daerah produsen beras nasional baru mulai pada November dan Desember 2023 akibat dampak El Niño. Kondisi ini otomatis menyebabkan panen raya hasil musim tanam pertama mundur dari dari Maret-April 2024 menjadi April-Mei 2024.
Masalah pangan merupakan masalah yang kompleks, dari mulai hulu (on farm) yaitu pertanaman, hingga hilir (off farm) yaitu perdagangan di tingkat konsumen. Masalah pertanaman mulai dari penyediaan benih atau bibit, penyediaan air, penyediaan lahan, hingga soal penanganan hama serta penyedian penyuluh pertanian lapangan dan buruh tani (tenaga kerja). Sementara di hilir, persoalan perdagangan sejak dulu kerap bermasalah akibat kurang off taker dan para pemburu rente serta masalah dengan impor beras.
Dari berbagai masalah itu, akar utamanya adalah perubahan iklim dan penyediaan lahan. Perubahan iklim mengubah berbagai aspek dalam pertanian tanaman padi dan tebu. Otomatis penyediaan bibit atau benih, pasokan air dan penanganan hama juga telah berubah.
Sementara masalah lahan pertanian yang produktif makin menyusut karena desakan permukiman dan industri. Nilkai tukar petani yang tidak naik secara signifikan dan keterdesakan akan kebutuhan hidup mengakibatkan para petani memilih menjual lahan mereka.
Penghasilan pertanian padi dan tebu sudah tidak bisa lagi menopang pengeluran petani.
Penyebab perubahan dan krisis iklim adalah pemanasan global. Pemanasan global dipicu oleh jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer. Setidaknya ada delapan dampak langsung akibat pemanasan global, yakni terjadinya hujan ekstrem berintensitas tinggi yang menyebabkan bencana banjir, penyakit akibat anomali cuaca, dan kekeringan di sejumlah wilayah yang berimbas pada kegagalan panen dan kelaparan.
Krisis iklim di Indonesia terasa dengan berubahnya pola cuaca. Tidak terdeteksi lagi batasan antara musim hujan dan kemarau. Dampak paling besar adalah penurunan produksi bahan pangan dan krisis air bersih. Kekeringan lahan pertanian akibat fenomena El Niño ekstrem tahun ini bisa mencapai 560.000-570.000 hektare.
Produktivitas hasil pertanian diperkirakan turun 15-20%. Meski turun 15-20%, produksi beras beras pada 2023 untuk konsumsi pangan penduduk Indonesia sekitar 30,90 juta ton, turun 645,09 ribu ton atau 2,05% dibanding produksi beras 2022 yang sebesar 321,54 juta ton.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan kerugian ekonomi dalam kurun 2020-2024 menyentuh Rp 544 triliun jika tidak ada intervensi kebijakan. Dari jumlah tersebut, risiko kerugian ini berasal dari pesisir dan laut (Rp 408 triliun), diikuti pertanian (Rp 78 triliun), kesehatan (Rp 31 triliun) dan air (Rp 28 triliun).
Pertanian menjadi salah satu sektor yang paling terdampak perubahan iklim. Intervensi pemerintah diperlukan guna menekan kerugian petani, mulai dari kesenjangan hingga meminimalkan konversi lahan.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan, tidak ada cara lain kecuali menggenjot produksi pangan. Untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi pangan terutama padi/beras, hanya ada dua cara, yakni kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi sawah.
Intensifikasi dan ekstensifikasi adalah rangkaian kegiatan pertanian yang berada di hulu (on farming) yang menentukan peningkatan produksi pangan. Sementara untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani untuk memotivatasi agar lebih rajin dan giat bercocok tanaman, harus ada perbaikan tata kelola pemasaran yang merupakan bagian dari rangkaian tata kelola pertanian pada bagian hilirnya (off farming).
Meskipun lahan pertanian yang dapat diolah seluas 55 juta hektare, luas lahan baku sawah hanya 7,46 juta hektare pada 2019. Dwi Andreas Santosa, guru besar Fakultas Pertanian IPB menyebutkan, meski ada program perluasan sawah dan food estate, luas lahan baku sawah semakin menyusut.
Pada 2013 luas lahan baku sawah 8,13 juta hektare, empat tahun kemudian menjadi 7,75 juta hektare. Luas itu terus menyusut menjadi 7,11 juta hektare pada 2018 dan terakhir 7,46 juta hektare pada 2019. Untuk mempertahankan swasembada beras, pemerintah mesti mempertahankan luas baku sawah 7,46 juta hektare. Kementerian Pertanian mencatat, alih fungsi lahan pertanian mencapai kisaran 90 ribu hingga 100 ribu hektare per tahun. Konversi lahan pertanian itu menjadi salah satu ancaman terhadap sektor pertanian dalam meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Luas baku sawah Indonesia, menurut Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), tahun 2019 seluas 7.463.987 hektare. Dari luas baku sawah (2019), Jawa mendominasi (47%), disusul Sumatera (24%), Sulawesi (13%), Kalimantan (10%), Nusa Tenggara-Bali (6%), Maluku dan Papua (1%).
Berdasarkan kualitasnya, ada sekitar 2,9 juta hektare lahan beririgasi; 3,04 juta hektare lahan tadah hujan, dan 1,523 juta hektare lahan sawah rawa pasang surut/lebak. Lahan yang beririgasi, sebagian besar berada di Jawa, memiliki kualitas lebih baik dibandingkan jenis sawah lainnya (tadah hujan dan pasang surut). Intensitas tanam dapat dilakukan paling tidak dua kali dalam setahun pada lahan beririgasi, sementara pada sawah tadah hujan maupun pasang surut umumnya ditanami sekali setahun.
Agaknya intensifikasi sawah sejak Orde Baru nampaknya sudah jenuh. Dalam diskusi membahas dampak El Niño pada produksi beras oleh Perhimpunan Agronomi Indonesia pada Juli 2023 di Bogor, Jawa Barat, terungkap surplus beras Indonesia terus menurun. Data Kementerian Pertanian memperlihatkan pada 2018 ada surplus beras 4,37 juta ton, lalu pada 2022 surplus hanya 1,34 juta ton. Data juga menunjukkan rata-rata produktivitas padi stagnan hanya di kisaran 5 ton per hektare. Produktivitas yang stagnan berhadapan dengan kenaikan jumlah penduduk, konsumsi beras yang masih tinggi, dan konversi lahan sawah produktif untuk perutukan nonpangan.
Maka Indonesia perlu inovasi baru dalam budi daya pertanian tanaman untuk menjawab tantangan perubahan iklim yang masih sulit diprediksi, misalnya dengan memanfaatkan benih atau bibit tahan kekeringan. Masa paceklik yang sangat mungkin kembali terulang setiap tahun akibat perubahan iklim.
Ikuti percakapan tentang ketahanan pangan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :