SATU konsep dalam kelembagaan pengelolaan sumber daya alam adalah kinerja—kelestarian, terkendalinya dampak lingkungan—terwujud oleh perilaku subyek. Perilaku itu ditentukan oleh struktur, berupa peraturan-perundangan, norma, etika sosial, sampai kebiasaan.
Dalam referensi ada pendekatan SBP (structure, behavior, performance). Kinerja berupa ketidaklestarian dalam pengelolaan sumber daya alam akibat perilaku semua pihak yang terlibat. Perilaku menyimpang dari isi peraturan-perundangan, pembelotan norma sosial atau kebiasaan, terjadi karena cengkeraman struktur itu.
Karena itu isi peraturan dan kapasitas menjalankannya tidak bisa dipisahkan. Keduanya menentukan hasil. Peraturan memang tidak bisa mempengaruhi atau mengarahkan perilaku masyarakat. Sebab penentunya cukup luas dan tidak hanya oleh isi peraturan-perundangan.
Sebuah peraturan disebut bagus jika bisa mengendalikan perilaku. Artinya, tingkat kerumitan dan banyaknya hal yang diatur—jika pun memang diperlukan—harus diimbangi oleh kapasitas kelembagaan agar mampu mendorong pengusaha atau menguatkan kapasitas masyarakat agar bisa menjalankannya. Untuk itu, pada saat memikirkan isi peraturan, para pelaksananya sekaligus harus memikirkan cara dan kemampuan mengimplementasikannya.
Jika puluhan juta hektare hutan tidak lestari kini, berarti ada kinerja yang bermasalah di masa lalu. Kinerja bermasalah bisa terjadi akibat perilaku yang tidak mematuhi struktur. Dengan kata lain, perubahan struktur di lembaga yang mengelola hutan tidak diikuti perubahan perilaku birokrasinya, sehingga secara utuh kinerja kelestarian tidak terwujud.
Penyebabnya, antara lain, akibat biaya transaksi tinggi. Sejak 1998, dalam studi-studi yang saya lakukan, biaya transaksi tinggi yang pernah dihitung sebesar Rp 680 juta hingga Rp 22 miliar per perusahaan per tahun. Oleh perusahaan, biaya transaksi itu dikompensasikan dengan cara menebang pohon lebih banyak daripada yang seharusnya.
Prinsip serupa juga berlaku pada jenis sumber daya lain, seperti perikanan tangkap, hasil-hasil pertanian, atau berbagai jenis bahan tambang walaupun produksinya tidak berkelanjutan, meski dampak lingkungan dan sosialnya perlu dikendalikan. Pemanfaatan laut berlebih juga terjadi akibat biaya transaksi tinggi, menurut studi KPK pada 2018.
Ada beberapa perusahaan yang norma pengendalian produksinya bisa berjalan dan dampak lingkungannya bisa terkendali. Kelompok kecil ini rupanya karena mereka bisa menyiasati jebakan struktural.
Berbagai fakta problem kelestarian sumber daya alam di Indonesia, penyebab utamanya adalah tata kelola. Tata kelola ini menyangkut soal-soal pemerintahan dan politik serta korupsi, hilangnya pembelajaran di daerah melalui sentralisasi, maupun ukuran kinerja lembaga negara yang cenderung berupa kinerja administrasi. Akibatnya profesionalisme dan inovasi tidak berkembang. Karena yang dipecahkan adalah masalah administrasi itu.
Hampir semua bentuk pengelolaan sumber daya alam mempunyai persoalan seperti itu. Karena ada persoalan tata kelola, kerusakan hutan alam produksi maupun hutan tanaman di pulau Jawa belum mempunyai landasan untuk memperbaiki kinerjanya secara lebih pasti dan permanen.
Persoalan tata kelola itu—dengan indeks tata kelola Indonesia hanya 34 dari maksimum 100. Pertanyaannya, bila regulasi pemanfaatan sumber daya alam cenderung tidak dipatuhi, apa dan bagaimana sanksinya? Dari kasus-kasus yang ada, kita tidak bisa hanya mengandalkan regulasi atau bentuk positivistik pendekatan hukum. Inovasi kebijakan, termasuk pemberantasan korupsi melalui pendekatan sosial, bisa menjadi jalan untuk mencegahnya.
Studi klasik Edward C. Banfield pada 1958 tentang konsep “keluargaisme tanpa moral (amoral familism)” bisa menjadi rujukan. Konsep ini menggambarkan pentingnya kekerabatan dalam membentuk ritme interaksi sosial, yaitu pengaruh normatif yang menjadikan kerja sama keluarga atau kelompok inti keluarga bisa bertentangan dengan kepentingan publik.
Hasil studi yang dibukukan dalam The Moral Basis of a Backward Society itu menampilkan masyarakat yang mementingkan diri sendiri dan berpusat pada keluarga demi nepotisme dan keluarga dekat. Mereka tidak memiliki apa yang biasa disebut sebagai “modal sosial”. Yaitu kebiasaan, norma, sikap, dan jaringan untuk memotivasi masyarakat agar bekerja demi kebaikan bersama.
Banfield menyaksikan apa yang kemudian menjadi terkenal sebagai “Mafia Italia Selatan” dengan sistem klan egois yang mempromosikan kesejahteraan kelompok mereka, dengan mengorbankan kepentingan publik. Kelompok masyarakat seperti itu tidak mampu bertindak bersama demi kebaikan, bahkan untuk tujuan apa pun yang melampaui kepentingan keluarga inti.
Kajian klasik Banfield itu masih relevan untuk menelaah fenomena saat ini, bukan hanya sekadar perebutan, sudah berupa pertarungan untuk memperoleh manfaat sumber daya alam.
Bersamaan dengan praktik korupsi yang terus semakin melebar saat ini, di waktu yang sama juga terbentuk korupsi melalui jaringan informal dan praktik budaya dan telah menjadi elemen kunci masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Seperti temuan Yulianti (2021) di Riau tentang penguasaan sumber daya alam melalui jaringan sosial sampai tingkat desa. Dalam kasus seperti ini korupsi menjadi proses sosial sehari-hari dan pengaruhnya menyusup ke dalam organisasi di sektor publik.
Publikasi Nils Kobis “Recent approaches to the study of social norms and corruption” (2020) menyebut bahwa penelitian empiris terkini mengenai norma sosial banyak dipengaruhi oleh berbagai penelitian sebelumnya yang menunjukkan bagaimana pengaruh sosial mendorong korupsi.
Karena itu perlu telaah kebijakan pengelolaan sumber daya alam dengan menggunakan kerangka norma sosial sebagai lensa utama, termasuk untuk menganalisis praktik korupsi di dalamnya. Dari penelitian mengenai ragam korupsi yang tertanam secara sosial nantinya diharapkan terdapat kontribusi empiris baru terhadap pertanyaan kunci: Mengapa orang terlibat korupsi yang mereka sendiri menganggapnya salah?
Sebagaimana disebut dalam artikel saya sebelumnya mengenai dunia pertama dan dunia kedua. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam dunia kedua itu menjadi semakin penting diungkap. Dunia pertama yang semakin lama semakin normatif dan hanya mengulang masalah teknis, sosial dan ekonomi, yang sudah sama kita tahu.
Ikuti percakapan tentang tata kelola di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :