Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 19 Januari 2024

Pranajiwa: Obat Kuat Kaya Manfaat

Jumlah pranajiwa di alam makin sedikit. Perlu konservasi.

Obat kuat Pranajiwa

SALAH satu tanaman obat potensial yang makin langka adalah pranajiwa. Ia salah satu tumbuhan hutan yang masuk dalam kategori 200 tumbuhan langka Indonesia (Mogea et al. 2001).

Di Bali, pranajiwa dikenal dengan nama purnajiwa, di Jawa dikenal sebagai pronojiwo. Meski demikian masih ada yang menyatakan bahwa purnajiwa adalah Kopsia arborea Blume. Padahal kedua jenis ini adalah tumbuhan yang berbeda. 

Konstruksi Kayu

Nama ilmiah pranajiwa adalah Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. Termasuk dalam suku Fabaceae, pranajiwa adalah tanaman perdu, tegak, tinggi mencapai 2 meter. Batang percabangan agak jarang. Daun majemuk, tersusun spiral, berjumlah 3-5 helai, bentuk lonjong atau bulat telur, agak berdaging. Pembungaan bentuk tandan, tegak, berbulu halus, panjang 4-12 cm. Bunga kecil ukuran 1-2,5 sentimeter, warna putih kekuningan, bentuk seperti kupu-kupu.

Buahnya kecil, mengkilap, bentuk lonjong, panjang 1-2 sentimeter ketika masak berwarna hitam kebiruan, tiap buah mengandung satu biji. Biji berbentuk lonjong.

Umumnya pranajiwa tumbuh mengelompok di hutan sekunder dan lereng gunung dengan ketinggian tempat antara 1.000-2.000 meter dari permukaan laut. (Backer and Brink, 1963). Tanaman ini tersebar dari India bagian timur, Myanmar, Indocina, Cina bagian selatan, Thailand, semenanjung Malaysia bagian utara, Sumatera, Jawa dan Bali (Valkenburgh, 2003)

Di Jawa, biji pranaijwa digunakan sebagai obat tradisional untuk sakit dada. Biji Pranajiwa juga dianggap sebagai penangkal racun yang bermanfaat untuk racun yang sudah ditelan karena memiliki potensi emetik dan berfungsi sebagai tonik.

Biji yang ditumbuk dicampur dengan air lemon digunakan secara eksternal untuk mengobati gigitan ular. Di Thailand dan Vietnam rebusan daun pranajiwa digunakan untuk  meringankan persalinan saat melahirkan (Valkenburgh, 2003). Sementara itu Heyne (1987) mengatakan bahwa pranajiwa dapat digunakan sebagai obat tuberculosis (TBC), aprodisiak, penyakit dada dan muntah darah. 

Di Bali masyarakat meminum ramuan biji pranajiwa untuk menyegarkan tubuh dan dibuat parem untuk menghangatkan badan (Darma et al. 2011). Salah satu manfaat biji pranajiwa yang paling terkenal adalah untuk membantu meningkatkan stamina pria (aprosidiak). Karena itu tumbuhan ini kerap digunakan oleh ahli pengobatan tradisional Bali. 

Akar dan batang mengandung flavonoid, isoflavone, pterokarpus, kaumaronokromon dan flavonon, daunnya mengandung flavonoid glycoside sedangkan bijinya mengandung cytosine (1,5%), matrine dan matrine-N-oxide (Valkenburgh, 2003). Pranajiwa diketahui memiliki potensi sebagai antioksidan (Tirta et al., 2010), antibakteri (Prihantini et al. 2018), antidiabetes (Prihantini et al. 2019).

Sementara itu hasil penelitian Silalahi (2016) menyimpulkan pemberian ekstrak biji pranajiwa secara oral dapat meningkatkan kadar hormon testosteron pada tikus Wistar jantan tua. Biji pranajiwa mengandung fitotestosteron, senyawa tanaman dan memiliki efek fisiologis yang serupa dengan testosteron yang dihasilkan pada hewan.

Tumbuhan ini belum banyak dibudidayakan namun masyarakat kerap mengambil biji pranajiwa langsung dari hutan. Pengambilan yang terus menerus dari alam tanpa adanya usaha untuk membudidayakannya menyebabkan populasinya di alam terus menurun sehingga pada akhirnya akan mengalami kelangkaan.

Oleh karena itu, informasi mengenai fenologi dan cara perbanyakan pranajiwa diperlukan untuk menjaga kelestariannya di alam. Penelitian Tirta et al (2011) mengamati perkembangan bunga dari mulai keluar tunas sampai dengan mekar berkisar antara 60-75 hari, lama bunga mekar 10-12 hari.

Setelah bunga mekar langsung keluar bakal buah. Buah matang dan siap dipanen setelah berumur 130-150 hari. Cara memperbanyak pranajiwa bisa dilakukan dengan menggunakan biji (generatif) dan menggunakan bagian dari tumbuhan (vegetatif).

Biji dipilih yang sudah matang berwarna hitam keunguan disemai pada media pasir atau humus. Sementara hasil penelitian Ardaka et al. (2011) memperlihatkan perbanyakan secara vegetatif  yang terbaik adalah dengan menggunakan stek pucuk dengan penambahan atonik.

Ikuti percakapan tentang tanaman obat di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Peneliti Ahli Muda di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan Kebun Raya dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain