Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 20 Januari 2024

Beda TORA dan Perhutanan Sosial Sebagai Reforma Agraria

Target TORA dan perhutanan sosial belum tercapai. Apa dampaknya?

Lanskap di Sulawesi Tenggara

CAPAIAN reforma agraria masih timpang, kata judul berita Kompas di halaman utama edisi 15 Januari 2024. Menurut Kompas, program reforma agraria masih bertumpu pada legalisasi aset tanah sehingga belum benar-benar mengurai ketimpangan untuk mencapai keadilan agraria. 

Reforma berskema legalisasi aset dan redistribusi tanah eks hak guna usaha (HGU), tanah telantar, dan tanah negara jauh lebih dominan daripada redistribusi tanah di kawasan hutan.

Konstruksi Kayu

Reforma agraria adalah alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan lahan, baik tanah di hutan ataupun di desa-desa. Skema reformasi agraria melalui TORA atau tanah objek reforma agraria dan perhutanan sosial jika berada di kawasan hutan.

Beda TORA dan perhutanan sosial terletak pada hak pemanfaatannya. Jika TORA bisa digunakan sebagai hak milik atas tanah, lahan perhutanan sosial hanya hak akses/izin/kemitraan pengelolaan hutan.

Untuk lahan TORA, hak milik yang sertifikatnya dibuat untuk tidak bisa dijual dan tidak bisa dipecah melalui sistem waris. Sedangkan penggunaan lahan perhutanan sosial tidak boleh merusak ekosistem hutan dan penebangan kayu hanya dibolehkan di hutan produksi.

Distribusi TORA ada di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Sementara perhutanan sosial pelaksananya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Jadi membahas reforma agraria tidak terbatas pada legalisasi aset dengan target 4,5 juta hektare dan redistribusi 4,5 juta hektare. Juga pengelolaan kawasan hutan melalui perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare.

Legalisasi aset dalam TORA mencakup 3,9 juta hektare tanah masyarakat dan 0,6 juta hektare tanah transmigrasi. Adapun redistribusi tanah terdiri dari 4,1 juta hektare kawasan hutan serta 0,4 juta hektare eks HGU, tanah telantar, dan tanah negara lainnya. 

Kementerian Agraria mencatat hingga akhir 2023, realisasi legalisasi aset mencapai 87,69% atau 110,5 juta bidang tanah dari total target 126 juta bidang. Sertifikasi aset ini mencakup tanah warga dan transmigran yang belum bersertifikat.

Adapun redistribusi tanah di kawasan hutan baru terealisasi 379.621,85 hektare atau 9,26%. Hal ini berbeda dengan redistribusi tanah bekas HGU, tanah telantar, dan tanah negara lainnya yang terealisasi 1,43 juta hektare atau 358,23% dari target 0,4 juta hektare.

Penyediaan kawasan hutan untuk TORA melalui dua jalur, yakni inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan dan jalur noninventarisasi. Dari jalur inventarisasi, jelas lebih mudah proses pelepasannya karena sifatnya pemutihan. Kategori inventarisasi menyangkut  lahan transmigrasi, pemukiman, kebun lahan kering, fasilitas umum dan sosial, sawah, tambak rakyat dan sebagainya.

Sementara jalur noninventarisasi meliputi alokasi TORA dari 20 persen lahan perkebunan, hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) tak produktif dan program pemerintah untuk pencadangan sawah baru. 

Penyediaan sumber TORA dari kawasan hutan seluas 2.749.663 hektare hingga Desember 2021. Sementara dalam refleksi akhir tahun 2023, KLHK menyebut kawasan hutan yang telah didistribusikan untuk TORA seluas 2,9 juta ha. Sisanya 1,2 juta ha akan diselesaikan pada 2024.

Masalah penyediaan kawasan hutan untuk TORA adalah legitimasi terhadap kawasan hutan yang memerlukan pengukuhan masyarakat di dalamnya. Di samping itu, lokasinya menyebar dan membutuhkan sumber daya manusia besar. 

Sementara perhutanan sosial seluas 6,4 juta hektare, lebih dari separuh target. Perhutanan sosial memberikan akses kepada 1.288.004 keluarga melalui 9.642 surat keputusan (SK) KLHK. Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang telah terbentuk sebanyak 10.288, yang terdiri dari KUPS biru  4.117 unit , KUPS perak 4.222 unit, KUPS emas 913 unit, KUPS platinum 51 unit.

Kelas-kelas KUPS itu dibedakan berdasarkan kemandiriannya dalam memberikan pendapatan keluarga dan kelompok. Menurut data Go KUPS 2023, KUPS “blue” dan “silver” sebanyak 81,05%. Data ini mengindikasikan perhutanan sosial belum mandiri dan mengentaskan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan secara signifikan.

Ikuti percakapan tentang reformasi agraria di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain