DARI awal Indonesia merdeka pada1945, pengelolaan hutan alam bertumpu pada regulasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan. Dalam UU tersebut pengelolaan hutan diartikan sebagai pengurusan hutan dalam arti yang luas, untuk mencapai manfaat hutan sebaik serta sebesar mungkin secara serbaguna dan terus-menerus, baik langsung maupun tidak langsung.
Kegiatan pengurusan hutan termasuk di dalamnya antara lain pengusahaan hutan. Pengusahaan hutan bertujuan memperoleh dan menaikkan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat. Dalam pengusahaan hutan diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian hutan.
Lalu ada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH). Sejak saat itu, eksploitasi hutan dimulai untuk kepentingan pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat.
Akibatnya hutan alam dieksploitasi habis-habisan untuk diekspor dalam bentuk bahan mentah log (gelondongan). Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk HPH baik asing maupun domestik terus bertambah.
Ekses yang timbul dari izin HPH yang tidak terkendali antara lain tidak cermatnya lokasi kawasan yang ditunjuk. Banyak kawasan hutan yang mestinya berfungsi lindung/termasuk hutan gambut masuk dalam wilayah HPH. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) tidak dipatuhi di lapangan karena pengawasan aparat kehutanan setempat lemah. Singkatnya, kaidah kelestarian produksi hutan alam tidak berjalan dengan baik.
Meski HPH dan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) dalam UU 41/1999 berubah menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA) dan izin usaha pemungutan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHH-HA), dan sistem penebangan diperbaharui dengan metode RIL (Reducing Impact Logging) dan sistem silvikulturnya ditambah dan disempurnakan dengan silvikultur intensif, praktik di lapangan kedua sistem tersebut tidak jauh beda.
Pengawasan kehutanan bermasalah karena banyak sebab. Tiga di antaranya adalah urusan pengawasan hutan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan kewenangannya tidak dilimpahkan provinsi, apalagi kabupaten.
Jumlah jagawana (polisi kehutanan) di seluruh Indonesia sekitar 7.000 orang, tidak sebanding dengan luas kawasan hutan 125,2 juta hektare. Artinya, 1 jagawana menjaga 18.000 hektare kawasan hutan. Idealnya 1 jagawana hanya menjaga 500-1.000 hektare. Sehingga jumlah ideal polisi hutan seharusnya 125.000 dan pemerintah pusat terlalu jauh kewenangannya mengawasi hutan yang ada di tingkat tapak.
Meskipun jargon pengelolaan hutan sering berganti dari timber estate sustainability management menjadi community based forest management dan terakhir sustainable landscape management, kebijakan pengelolaan hutan banyak yang bersifat lepas, parsial dan kadang menimbulkan anomali yang sering menimbulkan sengkarut dalam pelaksanaan di tingkat tapak. Misalnya kebijakan moratorium pembukaan hutan alam dan gambut.
Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2011diperpanjang selama empat kali, lalu ditetapkan sebagai moratorium permanen pada era Presiden Joko Widodo. Namun, UU Cipta Kerja dan PP Nomor 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan masih dibuka peluang IUPHHK-HA dalam kawasan hutan produksi pada hutan alam primer.
Sementara, program membangun hutan oleh pemerintah dan korporasi yang telah dilakukan puluhan tahun belum tampak hasilnya secara signifikan. Puluhan tahun, Indonesia membangun hutan dari sejak adanya Inpres Reboisasi dan Penghijauan 1976 dan berubah menjadi program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) hingga sekarang dengan biaya triliunan rupiah, namun hasilnya tidak tampak sebagai ekosistem hutan yang utuh.
Apa yang keliru dengan program ini? Selama ini pola dan mekanisme RHL yang dilaksanakan pemerintah sejak era Orde Baru hingga hari ini, pada prinsipnya tidak berubah. Dalam membangun hutan melalui kegiatan penanaman tanaman hutan (revegetasi) masih menggunakan pola dan mekanisme pemeliharaan tahun pertama (tanaman umur 2 tahun) dan pemeliharaan tahun kedua (tanaman umur 3 tahun). Selebihnya, mulai tanaman umur 4 tahun dan seterusnya untuk menjadi pohon dewasa yang berumur minimal 15 tahun, pemeliharaan dan proses tumbuh kembangnya tanaman diserahkan sepenuhnya ke dalam mekanisme alam tanpa adanya sentuhan manusia lagi.
Dari data terlihat bahwa luas data rehabilitasi hutan tahun 2015, 2016, dan 2017 sampai akhir 2022 cenderung tidak berubah. Seharusnya, datanya mestinya tersaji setiap tahun untuk mengukur keberhasilan rehabilitasi hutan tahun sebelumnya.
Pemanfaatan hutan alam tropika basah yang masih utuh di Indonesia, sebagai tempat untuk menyerap karbon untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara global telah dilakukan Indonesia dengan membuat peta jalan kontribusi yang ditetapkan secara nasional. Demikian halnya dengan pemanfaatan nilai ekonomi karbon, Indonesia telah memanfaatkan perdagangan karbon melalui bursa karbon yang telah diresmikan Presiden pada bulan September 2023 lalu.
Usul tentang keterlibatan masyarakat untuk mengelola kawasan hutan, telah dibuka seluas-luasnya melalui UU Cipta Kerja bidang kehutanan dan PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan.
Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan termasuk masyarakat hukum adat diberikan akses seluas-luasnya melalui kegiatan perhutanan sosial. Kurang lebih 600 unit HPH pada tahun 2000, hingga 2020, HPH yang mampu bertahan tinggal 257 unit korporasi dengan luas 18,75 juta hektare. Sementara hutan tanaman industri (HTI) yang sekarang berubah menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman/IUPHHK-HT) tersisa 292 unit korporasi dengan luas 11,19 juta hektare.
Ikuti percakapan tentang tata kelola di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :