Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 25 Januari 2024

Meninjau Ulang HGU Perkebunan Besar

Hak guna usaha (HGU) perkebunan besar tak memberikan nilai tambah. Mengapa?

HGU perkebunan kelapa sawit

KOMPLEKSITAS perkembangan dunia hari ini terdorong oleh kemajuan teknologi atau ilmu pengetahuan. Lalu muncul institusionalitas, baik dalam bentuk nilai—baik-buruk, salah-benar—atau dalam bentuk lembaga atau organisasi.

Di antara beragam institusi tersebut ada hak kepemilikan yang kita terjemahkan dari property rights. Property rights secara umum dikelompokkan ke dalam public property rights, private property rights atau common property rights, dan jenis hak lainnya.

Konstruksi Kayu

UUD 1945 Pasal 33 menyatakan (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 34 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara. 

Pasal 33 dan Pasal 34 tersebut merupakan kunci mewujudkan cita-cita kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tanah atau lahan mengandung makna Pasal 33 secara keseluruhan. Oleh karena itu politik-ekonomi pemanfaatan sumber daya lahan mesti mengejawantahkan amanah Pasal 33 tersebut. Pemanfaatan ini bisa diartikan sebagai alokasi atau distribusi lahan yang dikuasai negara ke dalam yurisdiksi hak-hak tadi. Tujuan negara dalam menjalankan Pasal 33 itu adalah “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Sumber daya lahan merupakan sumber daya yang sifatnya terbatas. Ciri terbatas terlihat dari sifatnya yang khas, yaitu konstan, dalam pengertian bahwa supply lahan adalah tetap, tidak bergantung pada harga, teknologi atau faktor peubah lainnya. Keunikan sifatnya yang khas itu melahirkan konsep, yang dalam ilmu ekonomi, disebut sewa lahan (land rent).

Land rent merupakan indikator kelangkaan lahan yang nilainya bisa didekati oleh tingkat pembayaran (return) suatu kegiatan ekonomi atas lahan, sebagaimana upah adalah pembayaran atas tenaga kerja, atau bunga (interest) sebagai pembayaran atas modal. Nilai sewa-menyewa lahan dapat dijadikan proksi besaran land rent tersebut. 

Apa yang menjadi masalah mendasar dalam pelembagaan Hak Guna Usaha (HGU) seperti judul artikel ini? 

Saya ingin menyampaikan bahwa sistem hak kepemilikan privat model HGU merupakan ciptaan pemerintah kolonial yang berlaku sejak 1870. Selain ketinggalan zaman, konsep itu juga akan menjadi hambatan bagi pengelola negara dalam mewujudkan amanah Pasal 33 tersebut.

Apa buktinya? 

Fakta menunjukkan kemajuan ekonomi suatu negara tergantung pada keberhasilan negara tersebut mentransformasikan struktur perekonomian dari pertanian ke industri. Pemerintah kolonial Belanda menciptakan HGU untuk memancing investasi pengusaha Eropa atau negara lain untuk berinvestasi di Hindia Belanda. Tapi, rancang bangun industrinya di Eropa. Hindia Belanda hanya dijadikan produsen bahan baku murah. Sedangkan nilai tambah berkembang di Eropa dan negara maju lainnya.

Sampai sekarang rancang bangun tersebut masih berlaku, seperti terlihat dari data yang menunjukkan luas perkebunan kelapa sawit kini 16 juta hektare. Sekitar 10 juta hektare milik perusahaan besar. Meski luas perkebunan kelapa sawit lebih besar dari luas Korea Selatan, devisa yang dihasilkannya lebih rendah dibanding devisa Korea Selatan. Bahkan devisa minyak sawit Indonesia tahun 2022 sebanyak US$ 29,66 miliar di bawah nilai remitansi tenaga kerja Filipina pada 2021 sebesar US$ 36,69 miliar. 

Artinya, rancang bangun institusi lahan perkebunan besar melalui HGU tidak mendorong atau menjamin lahirnya industri hilir kelapa sawit sebagai sumber nilai tambah ekonomi regional atau nasional. Data menunjukkan walaupun benar devisa didapat dari hasil ekspor komoditas kelapa sawit, industri kelapa sawit tidak banyak berkembang sebagaimana tampak dalam nilai Product Complexity Index (PCI) yang masih minus 2,4. Indeks Kompleksitas Produk yang rendah menunjukkan kemampuan sebuah negara menghasilkan produk kompleks yang sederhana, seperti bahan mentah atau produk pertanian sederhana.

Hal itu menunjukkan sistem kepemilikan privat HGU tidak mendorong proses industrialisasi di Indonesia. HGU lebih mendukung berkembangnya industrialisasi di negara pengolah produk akhir.

Apabila distribusi lahan melalui HGU untuk perusahaan besar yang berdampingan dengan lahan petani yang makin menyempit berlanjut, kesenjangan sosial semakin gawat, keterisolasian masyarakat makin meningkat karena terkurung area perkebunan besar. Bisa juga berkembang kecemburuan sosial yang akan membangkitkan konflik sosial.

Jika kita simak lebih dalam lagi, esensi hak privat dalam HGU tidak berbeda dengan hak milik, kecuali dalam hal batasan periode kepemilikannya selama 35 tahun. Itu pun bisa diperpanjang. Apalagi, sertifikat HGU bisa dijadikan agunan meminjam modal ke bank atau pihak lain.

Jadi, pemegang sertifikat HGU yang luas itu sama saja dengan pemegang bank tanah. Biaya perpindahan status hak atas tanah dari tanah milik negara (public property land) menjadi milik atau aset perusahaan itu tak diperoleh dengan membeli berdasarkan harga tanah tertentu plus biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), tapi hanya berdasarkan BPHTB. Nilai BPHTB yang dibayarkan sebesar 5% x nilai jual objek pajak (NJOP) lahan HGU.

Demikianlah negara menafsirkan dan mengamalkan Pasal 33 UUD 1945 itu. Kita bisa menghitung, negara kehilangan potensi pendapatan dari, misalnya, 10 juta hektare perkebunan kelapa sawit. Dana ini tentunya akan sangat bermanfaat jika dialokasikan untuk pembangunan perdesaan sebagai bagian dari strategi membangun dari pinggiran. 

Biaya yang lebih besar lagi dari pemberlakuan model HGU pada hakikatnya adalah biaya akibat tidak menjadikan ilmu ekonomi sebagai landasan dalam merumuskan dan melaksanakan pembangunan berbasis sumber daya lahan. Ketiadaan nilai land rent dalam institusionalisasi HGU sama dengan menolak kenyataan bahwa lahan itu merupakan barang langka.  

Kekuasaan yang dijalankan tanpa dasar ilmu pengetahuan, tanpa dibimbing prinsip keadilan dan kemanusiaan, hanya akan menjauhkan kita dari cita-cita kemerdekaan: Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Ikuti percakapan tentang kelapa sawit di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan IPB 1978, Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan (2005-2010). Sekarang Rektor Universitas Institut Koperasi Indonesia Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain