Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 28 Januari 2024

eDNA Purba untuk Melacak Satwa dan Tumbuhan Purba

DNA lingkungan (eDNA) purba bisa menjadi objek studi melacak tumbuhan dan satwa purba. Belum berkembang.

Gajah purba

BEBERAPA abad terakhir, DNA lingkungan (eDNA) telah berfungsi sebagai alat yang ampuh untuk mendeteksi, mengukur, dan memelihara keanekaragaman hayati, serta untuk mendapatkan wawasan tentang pola keanekaragaman hayati di masa lalu. Namun, baru belakangan ini potensi eDNA direalisasikan di dunia botani.

Meskipun DNA lingkungan telah digunakan secara luas dan dalam berbagai aplikasi, sebagian besar penelitian berfokus pada metazoa. Namun kini eDNA botani menjadi primadona yang terdepan dalam studi eDNA.

eDNA adalah teknik molekuler mutakhir melalui pendekatan teknologi metabarcoding menggunakan next generation sequencing (NGS) dengan menggunakan sampel materi genetik (DNA) yang telah dilepaskan ke lingkungan oleh organisme inang.

Pengumpulan sampel eDNA diambil langsung dari lingkungan sekitar seperti laut, sungai, dan udara. Artefak, kaki hewan, feses, madu dan resin juga merupakan sumber yang memungkinkan untuk mendeteksi DNA tumbuhan atau disebut eDNA botani.

eDNA botani didefinisikan sebagai DNA yang dilepaskan ke lingkungan oleh tumbuhan dan dikumpulkan melalui pengambilan sampel massal yang tidak ditargetkan. Jejak DNA tumbuhan bisa ditemukan di berbagai tempat, termasuk sampel udara, air, dan sedimen, langsung pada penyerbuk dan hewan pengunjung tumbuhan lainnya, dan bahkan di kotoran.

Sampel ini mencakup serbuk sari, fragmen daun dan bunga, serta jaringan tumbuhan lain (misalnya akar) yang menghasilkan DNA yang tersedia secara bebas. Sebelumnya, telah ada penelitian ekstensif mengenai deteksi genetik dan identifikasi serbuk sari, namun pendekatan eDNA kini memungkinkan pelacakan spesies tumbuhan melalui serbuk sari dan bahan tumbuhan terkait lainnya (benih, daun, bunga, DNA itu sendiri).

Madu, kotoran hewan pada tumbuhan, isi usus, dan sampel kotoran dan kotoran hanyalah beberapa dari banyak sumber eDNA botani yang berasal dari organisme potensial. Banyak jenis eDNA botani yang berbeda telah digunakan untuk mempelajari interaksi tumbuhan-hewan.

Studi mutualisme, penyerbukan, pemakan buah, parasitisme, penyebaran biji dan herbivora. Penyerbuk dan kotoran adalah dua komponen yang paling banyak diteliti. Salah satu studi paling awal tentang interaksi penyerbuk dilakukan oleh Wilson et al. (2010), yang mengamati serbuk sari dari Lebah Hawaii untuk menentukan spesies bunga mana yang paling sering dikunjungi.

Belum ada tinjauan mendalam yang mengeksplorasi keadaan eDNA saat ini dalam sistem botani, isu-isu metodologis yang unik untuk eDNA botani, dan bidang penelitian di masa depan, meskipun beberapa ilmuwan berhasil memperkenalkan konsep, metodologi, dan perbandingan dengan survei konvensional. Meskipun banyak aplikasi yang dapat ditemukan untuk eDNA botani, sejauh ini teknik ini hanya digunakan secara terbatas.

Banyak sekali penelitian eDNA di perairan, hanya ada sedikit penelitian tentang eDNA spesies tumbuhan dibandingkan dengan studi tentang metazoa dalam sistem perairan. Ilmuan yang berhasil melakukan penelitian eDNA botani untuk mendeteksi tumbuhan invasif dari sampel air adalah Scriver dkk dari Universitas Trent, Kanada pada tahun 2015. Keberhasilan itu juga menginduksi bermunculannya penelitian- penelitian lain yang terbatas untuk mendeteksi dan identifikasi tumbuhan dari sampel air.

Efektivitas metode eDNA untuk mendeteksi tumbuhan invasif di lingkungan perairan menjadi fokus khusus. Sebagai contoh, urutan primer untuk tumbuhan invasif dari Brasil Egeria densa diproduksi oleh Fujiwara dkk (2016).

Sejak saat itu, penanda ini telah digunakan untuk melakukan survei badan air alami di Jepang. Studi lain menemukan korelasi antara observasi tumbuhan dan deteksi eDNA dilakukan oleh Gantz (2018) di Amerika Serikat, di mana mereka menggunakan beberapa pengujian untuk mendeteksi populasi tumbuhan invasif Hydrilla verticillata yang bersifat eksperimental dan liar.

Kemampuan mengkarakterisasi eDNA botani dari sampel permukaan perairan, tanah purba, dan modern, udara, dan biotik berpotensi mengubah secara radikal cara para ilmuwan mengawasi spesies invasif, spesies langka, terancam, atau hampir punah, komunitas tumbuhan, dan interaksi tumbuhan-hewan di masa depan.

Penelitian eDNA tumbuhan purba telah tertinggal dari penelitian akuatik. Tetapi penelitian terobosan oleh Willerslev et al. (2003) menemukan bahwa inti permafrost diketahui mulai dari usia 10.000 hingga berusia 400.000 tahun dan memperkenalkan cara baru untuk mendapatkan akses ke rekaman genetik dari lingkungan sebelumnya. Berdasarkan temuan ini, para ilmuwan telah mengekstraksi eDNA botani purba dari berbagai sumber, termasuk es basal, sedimen dan permafrost serta inti danau.

Ada juga penelitian yang memanfaatkan DNA yang telah diawetkan untuk jangka waktu yang sangat lama (hingga 2 juta tahun dalam sedimen dan hingga 800.000 tahun dalam es) sehingga disebut eDNA purba.

eDNA purba adalah sumber eDNA botani terbaik, sehingga memungkinkan ilmuan meneliti komunitas tumbuhan masa lalu, pergeseran komposisi dari waktu ke waktu, dan potensi dampak perubahan iklim.

Studi eDNA purba terus memanfaatkan teknologi mutakhir untuk mempelajari bagaimana data genetik ini dapat digunakan untuk lebih memahami masa lalu dan meramalkan masa depan. Penggunaan eDNA purba dengan cara ini telah terbukti efektif untuk mendeteksi spesies dan, dalam keadaan tertentu, memperkirakan kelimpahan tumbuhan.

Penelitian eDNA ini juga dapat digunakan untuk menentukan kebijakan perubahan iklim, memantau penyebaran spesies invasif, dan memandu upaya konservasi saat penggunaan eDNA purba dari tumbuhan meluas. Karena tumbuhan telah ada sejak Paleozoikum, tumbuhan berfungsi sebagai indikator yang berguna untuk mengetahui perubahan iklim global dan historis.

Mempelajari eDNA purba juga bisa menjelaskan bagaimana tumbuhan prasejarah beradaptasi terhadap perubahan iklim, memungkinkan ekstrapolasi ke komunitas modern dan, pada akhirnya, memberikan informasi bagi upaya konservasi spesies asli.

Beberapa ilmuwan juga meneliti timbunan sampah tikus dengan usia berkisar antara 200 hingga 49.600 tahun untuk mempelajari lebih lanjut tentang evolusi penyakit tumbuhan dan memprediksi bagaimana penyakit tersebut dapat berubah di masa depan. Aplikasi deteksi eDNA purba juga dilakukan untuk memodelkan koevolusi manusia dan komunitas tumbuhan, dan menemukan bahwa evolusi ini sering kali menghasilkan adaptasi yang cepat baik bagi manusia maupun tumbuhan pada waktu tertentu.

Meskipun begitu, eDNA botani tetap dinilai sebagai pendekatan baru dan kuat untuk menilai berbagai karakteristik (keanekaragaman hayati, jaringan, interaksi) dan menjawab pertanyaan penelitian spesifik dalam komunitas tumbuhan, dan dapat dikumpulkan dari berbagai lingkungan yang berbeda. Keadaan lingkungan dan interaksi tumbuhan-hewan dapat dipahami dengan lebih baik melalui pendekatan eDNA, telah terbukti berguna dalam mendeteksi spesies tumbuhan. Saat ini, eDNA botani telah berkembang sebagai alat yang praktis dan berharga bagi ahli botani dan ekologi tumbuhan.

Ikuti percakapan tentang eDNA lingkungan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Periset Ahli Muda di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain