SETIDAKNYA ada enam kasus korupsi politik pada 2007-2017 yang melibatkan 31 tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Korupsi tersebut terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam.
Kasus-kasus itu melibatkan tiga gubernur, yaitu gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah, yang dihukum 4 tahun penjara, dua Gubernur Riau, Rusli Zainal 14 tahun penjara dan Annas Maamun yang dihukum 7 tahun penjara.
Selain itu ada bupati, misalnya Bupati Buol Amran Abdulah Batalipu yang dihukum 7,5 tahun penjara dan Bupati Bogor Rachmat Yasin yang dihukum 5,5 tahun penjara. Korupsi sumber daya alam itu juga dilakukan oleh Al Amien Nasution, anggota DPR yang dihukum 8 tahun penjara.
Para penyelenggara negara itu tentu tidak korupsi sendirian. Setiap korupsi selalu ada peran pengusaha termasuk pengurus asosiasi serta kepala dinas. Selain itu, korupsi sumber daya alam tidak bisa dilepaskan dari kepentingan pembiayaan politik.
Studi KPK tentang benturan kepentingan dalam pembiayaan pemilihan kepala daerah menunjukkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2015 dan Pilkada 2020 ada pasangan calon yang sumbangan pribadinya melebihi harta kekayaan yang mereka laporkan. Kondisi ini menunjukkan modal pribadi pasangan calon tidak cukup menutup mahalnya biaya pemilu. Dengan kondisi itu, aliran gelap dana luput dari pengawasan, sehingga rawan penyusupan kepentingan.
Studi KPK tersebut menganalisis biaya pilkada berdasarkan persepsi pasangan calon. Hasilnya ada peningkatan jumlah biaya. Biaya pilkada itu mencapai Rp 15-30 miliar untuk setiap calon. Biaya pilkada tertinggi terjadi di wilayah yang strategis dan sarat nilai ekonomi daerah, seperti Jawa dan Kalimantan.
Penghimpunan dana itu melahirkan benturan kepentingan. Pada pilkada 2015 dan 2020 benturan kepentingan terjadi karena, menurut survei itu, sumbangan mendorong timbal balik. Kemudahan perizinan, keamanan bisnis, dan akses terhadap tender proyek pemerintah menjadi harapan bagi penyumbang dana pilkada. Benturan kepentingan terkait perizinan dan penyalahgunaan kewenangan menjadi modus dalam kasus-kasus korupsi seperti itu.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat 170 izin tambang baru terbit sepanjang 2017-2018. Jawa Tengah dan Jawa Barat menjadi dua provinsi paling banyak mengeluarkan izin tambang baru. Di Jawa Tengah, ada 120 izin tambang baru sementara di Jawa Barat ada 34 izin yang terbit pada 31 Januari 2018—dua pekan sebelum penetapan calon kepala daerah. Angka-angka itu mengungkap kecenderungan peningkatan jumlah perizinan pertambangan di tahun menjelang, saat berlangsung, dan selepas pilkada.
Calon kepala daerah, disinyalir Jatam, memanfaatkan penerbitan izin itu untuk mendapatkan biaya kampanye. Pebisnis tambang biasanya menyumbang untuk ditukar dengan kemudahan izin sumber daya alam, investasi usaha baru, kelonggaran kebijakan, bahkan pembiaran pelanggaran hukum. Praktik itu kerap disebut sebagai ijon politik.
Dengan begitu, pengontrol perizinan meloloskan pelanggaran, karena ingin mendapat manfaat dari proses transaksinya. Manfaat itu dapat berupa dukungan dana besar untuk memastikan pemenangan. Dorongan untuk mengeluarkan izin juga besar, sehingga tidak mengindahkan aturan dan kewenangan penerbitannya.
Terkait berbagai korupsi itu, yang paling berbahaya adalah korupsi politik, karena dampaknya selalu menyangkut hajat hidup orang banyak. Mantan Hakim Agung dan Dewan Pengawas KPK, Artidjo Alkostar, pernah mengatakan korupsi politik sebagai korupsi yang dilakukan oleh kepala negara, ketua atau anggota parlemen, atau pejabat tinggi pemerintahan. Korupsi itu terjadi ketika pembuat keputusan politik menggunakan kekuasaan politik yang mereka pegang untuk mempertahankan kekuasaan, status, atau kekayaan mereka.
Pelaku korupsi biasanya memanipulasi peran institusi politik dan prosedur untuk mempengaruhi pemerintahan dan sistem politik. Undang-undang dan regulasi disalahgunakan, tidak sesuai prosedural, diabaikan, atau bahkan sejak semula dirancang sesuai kepentingan mereka. Karena itu, bahaya korupsi politik lebih dahsyat daripada korupsi biasa, karena berdampak terenggutnya hak-hak strategis rakyat.
Seperti pernah dipublikasi oleh Pusat Edukasi Antikorupsi, KPK (2022), ada beberapa bentuk korupsi politik:
Pertama, penyuapan untuk mendapat atau memperpanjang waktu berkuasa. Penyuapan dalam politik tidak hanya untuk memperkaya diri, juga untuk berkuasa atau mempertahankan pengaruh dalam birokrasi. Kekuasaan yang lahir dari perilaku korup bisa mempengaruhi bahkan mengatur isi undang-undang, peraturan, dan kebijakan agar berpihak pada kepentingannya.
Suap politik, misalnya, terjadi ketika seorang politikus menyuap lembaga penyelenggara pemilu untuk memenangkan dirinya. Kongkalikong antara politisi dan lembaga penyelenggara pemilu adalah bentuk korupsi dalam sektor politik.
Kedua, perdangan pengaruh. Perdagangan pengaruh terjadi saat pejabat publik menawarkan diri atau menerima permintaan pihak lain untuk menggunakan pengaruh politik dan jabatannya, agar dapat melakukan intervensi keputusan tertentu. Pelarangan perdagangan pengaruh ini telah disahkan sebagai salah satu bentuk korupsi dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) pada 2003 dan diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
Dalam penyelidikannya, korupsi politik sulit ditelusuri karena beda tipis dengan proses lobi yang memang halal dalam politik. Namun ada kata kunci untuk membedakan perdagangan pengaruh dengan proses lobi, yaitu transaksi yang menghasilkan keuntungan.
Jika sudah ada transaksi dengan keuntungan yang spesifik, ia adalah korupsi. Contohnya, seorang pengusaha memberi sejumlah besar uang kepada tokoh partai. Pengusaha ini mengetahui bahwa tokoh tersebut bisa mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Ketiga, jual-beli suara atau money politic. Salah satu korupsi politik yang sering terjadi adalah jual-beli suara saat pemilihan umum. Cara ini dilakukan oleh politisi atau partai politik untuk memenangi pemilu. Salah satu praktik jual-beli suara yang umum adalah “serangan fajar”. Istilah ini mengacu pada praktik uang oleh kader partai kepada pemilih di hari sebelum pemungutan suara.
Modus juga-beli suara lainnya yang pernah diungkap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah memanfaatkan sisa surat suara tak terpakai di tempat pemungutan suara / untuk dicoblos oleh oknum Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan diberikan kepada kubu yang memesan.
Keempat, nepotisme politik/patronase. Nepotisme politik berupa pemberian perlakuan istimewa kepada keluarga atau kerabat dalam kekuasaan politik, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Kondisi ini biasanya terjadi di partai politik, ketika para petingginya diisi keluarga pemimpin partai.
Nepotisme tidak memperhitungkan jenjang karier politik, prestasi, atau kemampuan sebagai penentu posisi. Praktik ini juga dilakukan untuk melanggengkan dinasti politik di partai.
Kelima, pembiayaan kampanye. Masih menjadi perdebatan apakah praktik seperti ini dianggap sebagai pelanggaran pidana atau dukungan politik semata. Istilah “tidak ada makan siang gratis” bisa menjadi gejalanya.
Pendanaan kampanye oleh pengusaha kepada calon pemimpin bukan tanpa sebab. Walau mungkin tak ada transaksi secara tertulis, ada utang budi yang mesti dibayar calon pemimpin itu kepada pendonor. Di antara bentuk “pelunasan utang” bisa berupa pengaturan kebijakan yang menguntungkan pengusaha atau manipulasi pemenangan tender pengadaan barang dan jasa. Hal itu pada akhirnya memunculkan konflik kepentingan yang menjadi salah satu penyebab korupsi.
Kelindan antara pemilu dan korupsi politik sungguh memprihatinkan karena menyangkut etika. Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, Earl Warren (1953-1969) menyatakan ‘law floats in a sea of ethics, hukum mengapung di atas samudera etika. Ini akan menjadi tantangan utama dalam pemerintahan baru hasil pemilihan presiden dan wakil presiden maupun pimpinan daerah nanti.
Ikuti percakapan tentang korupsi politik di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :