AKHIR-akhir ini ramai pembahasan hilirisasi. Istilah ini sebagai kata yang menggambarkan berkembangnya nilai tambah dari suatu produk primer berupa bahan mentah menjadi produk sekunder berupa bahan setengah jadi, dan selanjutnya menjadi bahan jadi yang jumlahnya lebih banyak atau bervariasi dengan nilai masing-masing produk relatif tinggi sehingga secara total menjadi jauh lebih tinggi daripada nilai produk primernya.
Nilai di sini bukan hanya nilai berupa nilai tukar dalam uang seperti dicerminkan oleh harga produk, juga nilai instrumental menghasilkan produk lain bersama produk komplemennya dalam menghasilkan produk yang sifatnya lebih kompleks, dan nilai lingkungan (nilai intrinsik) demi berlangsungnya kehidupan yang berkelanjutan.
Dengan mengambil makna nilai seperti itu, maka hilirisasi menjadi kurang lengkap atau tidak menggambarkan pemikiran ideal apabila hanya dilihat sebagai proses satu arah ke arah hilir saja. Ke arah hulu pun perlu dilihat sebagai arah yang akan meningkatkan nilai tambah apabila proses pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi semakin efisien, lebih menjaga kelestarian sumber daya alam dan meminimalkan proses entropi, misalnya.
Mungkin, istilah pembangunan berkelanjutan tetap diperlukan, tidak disederhanakan menjadi hilirisasi. Kalau prosesnya diharapkan sebagai proses industrialisasi, istilahnya menjadi industrialisasi berkelanjutan.
Istilah industrialisasi merupakan istilah yang sebenarnya diciptakan untuk menggambarkan istilah negara maju. Jadi, negara maju sama dengan negara industri. Dengan perkataan lain istilah negara maju pada dasarnya menggambarkan suatu keadaan di mana sebagian besar kehidupan masyarakatnya bergantung pada kehidupan industrinya, bukan sumber daya alamnya.
Walaupun demikian, istilah industri ini juga mengandung makna suatu kehidupan ekonomi masyarakat bukan berupa pabrik-pabrik pengolahan, tetapi berupa proses hadirnya produksi massal yang menghasilkan produk yang bersifat homogen.
Menurut pengertian ini pertanian padi seluas 7 juta hektare pun merupakan suatu industri, demikian pun luas kebun sawit petani yang mencapai lebih dari 6 juta hektare pun sebagai suatu industri. Hanya saja, industrinya dinamakan industri primer.
Jadi, sekarang tampak bahwa kata industri menggambarkan dua hal yang bersifat umum, pertama produksi suatu produk secara massal dan relatif homogen dan tingkatan proses produksi mulai dari yang bersifat primer di mana outputnya berupa bahan baku atau bahan mentah untuk produk tahapan selanjutnya dengan tingkat penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin kompleks sebagaimana digambarkan oleh Product Complexity Index (PCI) untuk suatu produk, misalnya PCI kelapa sawit sama dengan minus 2,4 dan Economic Complexity Index (ECI) Indonesia pada 2021, sebagai gambaran keseluruhan ekonomi dipandang dari pasar global, berada pada posisi ECI 0.042.
Karena itu, industrialisasi bukan berarti membangun pabrik di mana-mana. Industrialisasi lebih bermakna sebagai transformasi budaya. Dalam pengertian kita membangun pabrik semata, kita telah banyak melakukannya.
Tetapi mengapa pabrik yang kita bangun akhirnya tutup atau hanya beroperasi di bawah kapasitas, atau kita tidak mampu mengembangkan produk yang makin baik dari waktu ke waktu, hanya dapat diterangkan berdasarkan sudut pandang bahwa kita tidak memiliki kepuasan kreasi yang tinggi.
Akibatnya kita tidak banyak melakukan inovasi. Akibat selanjutnya dari hal ini adalah kita tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi di sekitar kita. Budaya kita secara mendasar belum banyak berubah.
Kita ambil industri gula sebagai ilustrasi. Dari sudut pandang pasar, sangat jelas Indonesia membutuhkan gula yang makin meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk kita. Dipandang dari sudut potensi lahan, kita memiliki banyak lahan yang cocok dikembangkan untuk membangun perkebunan tebu dan industri gula.
Dari kaca mata sejarah, Indonesia juga kaya akan pengalaman termasuk pernah menjadi pengekspor gula terbesar kedua dunia setelah Kuba. Tapi mengapa kita sekarang menjadi salah satu negara pengimpor gula terbesar dunia?
Tentu kita dapat mengemukakan bahwa industri gula dunia penuh dengan unsur politik. Negara maju menyubsidi gulanya. Tapi pengalaman Thailand dalam menghasilkan gula yang mampu bersaing di pasar global sehingga Thailand menjadi negara pengekspor gula terbesar kedua dunia, dapat mematahkan pandangan tersebut.
Selain masalah kuantitas, industri gula kita juga tertinggal dalam hal kualitas. Demikian pun dengan pengembangan produk non-gula berbasis tebu yang tidak banyak berkembang di Indonesia.
Industrialisasi menyangkut persoalan yang sangat mendasar, yaitu persoalan membangun suatu budaya baru, budaya industri, yaitu the way of thinking, feeling, believing and behaving dari kita semua. Masyarakat yang berkebudayaan industri dicirikan oleh hal-hal berikut:
(1) pengetahuan merupakan landasan utama dalam pengambilan keputusan, memperkuat intuisi, kebiasaan, atau tradisi;
(2) kemajuan teknologi merupakan instrumen utama dalam pemanfaatan sumber daya;
(3) mekanisme pasar merupakan media utama dalam transaksi barang dan jasa;
(4) efisiensi dan produktivitas sebagai dasar utama dalam alokasi sumber daya dan karenanya membuat hemat dalam penggunaannya;
(5) mutu dan keunggulan merupakan orientasi, wacana, sekaligus tujuan;
(6) profesionalisme merupakan karakter yang menonjol; dan
(7) perekayasaan merupakan inti penciptaan nilai tambah sehingga setiap produk yang dihasilkan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan lebih dahulu dalam mutu, jumlah, berat, volume, bentuk, warna, rasa, khasiat, dan sifat-sifat lainnya, dengan ketepatan waktu. Pemikiran ini sempat dilahirkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada pertengahan 1990-an.
Kesemuanya itu dasarnya adalah kepuasan kreasi. Tidak adanya kepuasan kreasi tidak bakal berkembang proses perbaikan dari apa yang kita kerjakan. Di pihak lain, masyarakat dunia terus mengembangkan daya kreasinya, yang terus menerus menghasilkan produk-produk baru yang makin baik, yang terus makin membanjiri kita.
Kepuasan kreasi dasarnya bukanlah rasio atau kalkulasi untung-rugi. Memang rasio diperlukan tetapi rasio sebatas menerangi bagaimana kita mengerjakannya secara sistematis. Di balik rasio bekerja unsur yang lebih mendalam dan mendasar, yaitu spirit. Spirit berkreasi inilah yang sekarang ini belum tumbuh subur, namun sebaliknya dengan spirit konsumtif dan spirit memaknai kekuasaan yang tidak kompatibel dengan keperluan tumbuh suburnya kepuasan kreatif.
Bagaimana mengembangkan spirit budaya kreatif ini? Seperti halnya revolusi industri yang terjadi di Barat, lama sebelumnya telah berkembang Renaissance. Demikian juga di Jepang, Restorasi Meiji sering dipandang sebagai dasar kemajuan Jepang. Saya pikir, kita juga perlu mencari pola atau model Renaissance atau Restorasi Meiji, yang pas untuk Indonesia.
Ikuti percakapan tentang industrialisasi berkelanjutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan IPB 1978, Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan (2005-2010). Sekarang Rektor Universitas Institut Koperasi Indonesia Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat
Topik :