EL NIÑO, peristiwa iklim yang terjadi dua sampai tujuh tahun sekali, memberikan dampak signifikan bagi negara agraris dan tropis, seperti Indonesia. El Niño membuat gelombang panas intens yang menyebabkan kekeringan dan naiknya suhu secara ekstrem.
Di beberapa negara El Niño membuat kenaikan suhu mencapai rekor baru. Suhu Chile melebihi 35oC di Agustus tahun lalu, padahal saat itu sedang musim dingin. Bolivia mencapai suhu 45oC dan Brazil melebihi 38oC. Tahun lalu, suhu permukaan laut juga mencatat all-time high di angka 20,96oC, tertinggi sejak 2016.
El Niño tak hanya membuat suhu lebih tinggi, juga menurunkan cadangan karbon di hutan tropis. Berdasarkan studi di jurnal Nature Climate Change, hutan tropis di Amerika Selatan mengalami penurunan kemampuan menyerap karbon selama El Niño. Bahkan, alih-alih jadi penyerap karbon, hutan tropis di Amerika Selatan lebih banyak melepas karbon.
Dalam studi itu, peneliti menelaah setiap pohon di hutan Amazon, Atlantik, dan hutan kering di bagian tropis Amerika Selatan selama 30 tahun terakhir. Selama periode normal, hutan tropis di Amerika Selatan memiliki serapan karbon di atas tanah sebesar 0,38 ton per hektare per tahun. Saat El Niño, jumlah serapannya turun drastis sebesar 105% atau mendekati nol.
Kenapa bisa begitu? Selama El Nino, hutan menjadi lebih rentan terhadap kehilangan karbon akibat kematian, lambatnya pertumbuhan, dan regenerasi. Selama El Niño, tingkat kematian pohon-pohon berbagai ukuran meningkat. Pohon-pohon yang lebih kecil mati lebih cepat. Pohon dengan kerapatan kayu yang rendah dan dari jenis fast growing umumnya lebih rentan terhadap kekeringan dan kematian. Sementara pohon besar, bersusah payah menghadapi defisit air.
Kendati begitu, tidak semua hutan tropis merespon seperti hutan tropis di Amerika Selatan. Hutan tropis Amerika Selatan lebih rentan terhadap peristiwa iklim. Sedangkan hutan tropis di Afrika relatif lebih tahan terhadap El Niño. Serapan karbon hutan Afrika turun sebesar 36%. Belum ada studi spesifik yang mengukur serapan karbon di hutan tropis Asia Tenggara selama El Nino. Tapi jika melihat studi lain, secara historis hutan tropis di Asia Tenggara memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim ekstrem.
El Niño selalu erat dengan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan ada 994.313 hektare hutan, area seluas 15 kali Jakarta, terbakar pada Januari hingga Oktober 2023. Luas tersebut menunjukkan peningkatan 5 kali lipat dibanding 2022, sekaligus menjadi yang paling tinggi sejak 2019. Pada tahun tersebut ada 1,65 juta hektare hutan yang terbakar.
Kebakaran umumnya terjadi di Kalimantan Selatan dengan 187.574 hektare, Kalimantan Tengah dengan 114.576 hektare, dan Sumatera Selatan dengan 109.460 hektare. Sebagian kebakaran itu juga terjadi di rawa gambut yang kaya karbon. Berdasarkan laporan Pantau Gambut, di bulan Agustus 2023 terjadinya kebakaran di 271 kawasan hidrologis gambut di 89 kabupaten dan kota, dan 19 provinsi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :