Kabar Baru| 27 Februari 2024
Dana Bagi Hasil Kehutanan Kecil, Dari Mana Insentif Melindungi Hutan?
DANA bagi hasil sektor kehutanan untuk pemerintah daerah relatif kecil. DBH kehutanan berasal dari provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi. Kedua jenis penerima negara bukan pajak (PNBP) ini dipungut atas hasil hutan usaha kehutanan.
Dalam setahun, Provinsi Riau menerima Rp 103 miliar. Padahal Riau memiliki kawasan hutan yang diberikan konsesinya kepada perusahaan seluas 1,5 juta hektare. PSDH maupun dana reboisasi berasal dari penjualan volume kayu yang dimanfaatkan oleh sebuah perusahaan.
Bagian PSDH untuk pemerintah daerah sebesar 80% sementara dana reboisasi untuk pemerintah provinsi sebesar 40%. Bagi provinsi, PSDH maupun dana reboisasi dibagi lagi bagi kabupaten/kota yang berada di wilayahnya.
Rendahnya bagian PNBP sektor kehutanan untuk daerah terjadi karena masa bonanza kayu telah lewat. Nilai kayu kini rendah akibat tren industri kayu yang turun. Di hak pengusahaan hutan (HPH) nilai produksi mengelola hutan tak sebanding dengan nilai jualnya. Sementara di hutan tanaman industri (HTI) pulp dan kertas juga bukan lagi industri utama.
Dampak dari rendahnya PSDH dan dana reboisasi bagi daerah membuat insentif bagi pemerintah daerah melindungi hutan juga menjadi rendah. Padahal, dalam konsep baru, pemerintah daerah juga wajib mengelola hutan: melindungi dan memanfaatkan kawasan hutan di wilayahnya.
Sebelum terbit Undang-Undang Cipta Kerja, kewenangan pemerintah daerah mengelola hutan didelegasikan melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). KPH adalah unit pelaksana teknis daerah (UPTD) bidang kehutanan. Anggaran operasional KPH berasal dari anggaran daerah.
KPH punya kewenangan menjalin kerja sama dengan perusahaan dalam memanfaatkan hutan. Dengan kerja sama ini, KPH memiliki hak bagi hasil atas usaha perusahaan kehutanan. Melalui mekanisme berbagi manfaat (benefit-sharing mechanism) KPH mendapatkan porsi hasil usaha kehutanan di wilayahnya.
Setelah UU Cipta Kerja, kewenangan KPH “berbisnis” hutan dicabut. KPH terlarang berbisnis karena fungsinya hanya menjadi fasilitator perusahaan atau pihak ketiga dalam memanfaatkan hutan. Akibatnya, hak bagi hasil manfaat juga menjadi hilang.
Dasar pencabutan kewenangan berbisnis di kawasan hutan berangkat dari pemikiran bahwa negara terlarang berbisnis sumber daya alam. Basisnya adalah skema keuangan negara yang mengatur daerah mendapatkan bagi hasil pemanfaatan sumber daya alam dari pemerintah pusat, melalui PSDH dan dana reboisasi.
Kehilangan hak mendapatkan bagi hasil secara langsung dari pemanfaatan hasil hutan, membuat pemerintah daerah tak lagi memiliki insentif memelihara hutan. Pemeliharaan hutan belum mendatangkan benefit politik bagi kepala daerah karena nilai intangible (nilai tak terlihat) dalam pemeliharaan hutan.
Di era perdagangan karbon, pemerintah daerah punya sumber baru pemasukan mengelola hutan dari mekanisme pembayaran berbasis kinerja (result based payment). Skema RBP datang dari kerja sama pengelolaan hutan lestari yang dihitung berdasarkan penghindaran emisi gas rumah kaca yang dihitung berdasarkan unit karbon dalam ton setara karbon dioksida.
Dalam skema perdagangan karbon, pemerintah daerah menjadi pihak yang diizinkan berdagang karbon melalui serapan emisi gas rumah kaca. RBP merupakan penghargaan atas usaha memelihara hutan dari pihak lain yang diwajibkan menurunkan emisi sebagai mitigasi perubahan iklim.
Pemerintah Norwegia telah membayar Rp 56 miliar kepada pemerintah Indonesia dalam skema penurunan deforestasi dan degradasi hutan (REDD+). Nilai unit karbon dalam kerja sama itu senilai US$ 5 per ton setara CO2. Dengan begitu, KPH bisa mengklaim penyerapan emisi gas rumah kaca di wilayahnya sebagai insentif.
Ikuti percakapan tentang dana bagi hasil kehutanan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :