SEJAK ditemukan Alexander Parkes di tahun 1862, lalu disempurnakan Leo Bakeland pada 1907, plastik telah mengubah peradaban. Namun, meski praktis, plastik mengakibatkan masalah lingkungan. Plastik berasal dari minyak bumi yang menjadi biang keladi krisis iklim sekarang.
Setiap tahun kita memproduksi 350 juta ton sampah plastik. Sebanyak 11 juta ton sampah plastik terbuang ke laut. Sampah plastik di laut itu kerap membuat biota laut menderita. Ada da sekitar 200 spesies hewan yang menjadi korban keganasan plastik. Manusia juga korban dari sampah plastik karena bumi menderita akibat krisis iklim.
Menghapus plastik bukan hal mudah. Kita sudah kadung dipermudah oleh plastik. Jadi, kita butuh substitusi yang bisa menggantikannya. Subtitusi yang lebih ramah lingkungan dan substitusi itu adalah bioplastik.
Bioplastik dianggap sebagai solusi yang lebih ramah lingkungan. Alih-alih dibuat dari minyak bumi yang tak ramah lingkungan, bioplastik dibuat dari bahan alami, seperti tumbuhan dan ganggang. Dua bioplastik paling umum digunakan adalah Polihidroksi alkanoat (PHA). Umumnya PHA terbuat dari gula yang didapat dari ganggang. Satu lagi adalah Asam Polilaktat atau PLA yang terbuat dari gula dalam tanaman, seperti pada tebu dan jagung.
Karena terbuat dari bahan alami, secara teori bioplastik dapat terurai lebih cepat. Kenyataannya, tidak semua bioplastik terbuat dari bahan alami. Beberapa bioplastik memadukan antara bahan alami dan minyak bumi. Sehingga, sebagian dari bioplastik tidak bisa terurai oleh mikroorganisme.
Bahkan, bioplastik yang sepenuhnya terbuat dari bahan alami dan berlabel “compostable” tidak mudah terurai secara alami. Mereka memang bisa dibuat menjadi kompos, tapi dibutuhkan fasilitas pengomposan bersuhu tinggi untuk menguraikannya secara cepat. Fasilitas pengomposan masih sedikit, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia.
Namun, jika hanya sekedar dibuang di tempat pembuangan sampah, setidaknya butuh 100 tahun bioplastik terurai. Selama 100 tahun itu, bioplastik akan mengeluarkan metana, gas rumah kaca yang 23 kali lebih berbahaya dibanding karbon dioksida. Dan sama halnya seperti plastik konvensional, bioplastik yang terbuang ke laut akan sulit terurai dan berpotensi mengancam nyawa biota laut.
Tak hanya itu, berdasarkan sebuah studi siklus hidup bioplastik, beberapa jenis bioplastik menghasilkan polutan lebih besar dibanding plastik konvensional. Hal itu dihasilkan dari penggunaan pupuk kimia dan pestisida untuk tanaman penghasil bioplastik. Ditambah, dengan peningkatan permintaan bioplastik, diperkirakan kita butuh tambahan 3,4 juta hektare lahan untuk menanam tanaman sebagai baha baku bioplastik. Artinya, lebih banyak lagi pupuk kimia dan pestisida yang digunakan.
Beberapa bioplastik juga memiliki nilai toksisitas tinggi. Salah satunya B-PET, plastik hibrida dari minyak dan bahan organik, yang memiliki potensi toksik tinggi terhadap ekosistem dan mengandung zat karsinogen. Bioplastik memiliki emisi karbon yang lebih rendah dibanding plastik konvensional.
Dalam studi di Amerika Serikat, pergantian plastik konvensional menjadi bioplastik, memangkas 25% emisi gas rumah kaca di negara tersebut. Bahkan, jika bioplastik diproduksi dengan energi terbarukan dapat memangkas hingga 50% emisi gas rumah kaca.
Pada akhirnya, bioplastik yang dianggap ramah lingkungan tetap punya kelemahan. Label bio pada bioplastik tak selalu membuatnya lebih ramah lingkungan. Karena seringkali, alih-alih sebagai petunjuk, label bioplastik justru berperan sebagai alat marketing yang mengecoh konsumen.
Namun, bukan berarti bioplastik buruk. Kehadirannya tetap menjadi bagian dari solusi yang baik. Apalagi, teknologi bioplastik terus berkembang dan berinovasi. Pada akhirnya, jika ingin menyelesaikan permasalahan plastik, semua dimulai dari perubahan gaya hidup. Dimana kita harus mengurangi konsumsi plastik kita dan memikirkan penggunaan plastik secara lebih bijaksana.
Ikuti percakapan tentang bioplastik di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :