DI awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, dengan Nawacita sebagai basis kebijakan, ada semangat menghadirkan peran negara melalui perbaikan tata kelola pemerintahan. Semangat baru ini coba ditunjukkan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Lemahnya peran negara dalam penyelenggaraan kebijakan publik memang jadi problem sejak Reformasi 1998. Ada istilah generik yang populer: “ketidakhadiran negara” dalam problem-problem di masyarakat.
Salah satu yang mengemuka adalah “privatisasi” peran intervensi negara dalam pengelolaan sumber daya alam. Peran negara diambil oleh dan untuk kepentingan perorangan atau kelompok penyelenggara negara atas nama daerah maupun sektor.
Maka kehadiran negara di sana bukan secara fisik yang diwakili oleh aparaturnya, melainkan nilai dan normanya yang berubah. Misalnya, kebijakan tata ruang dan lingkungan hidup terbebas dari kepentingan sektor secara langsung agar daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup terpelihara.
Faktanya, hubungan antara norma dalam undang-undang menciptakan konflik penggunaan hutan dan lahan. Dalam 30 tahun terakhir, di luar Jawa perkembangan industri ekstraktif seperti pertambangan atau perkebunan kelapa sawit telah mengurangi fungsi kawasan hutan atau menghilangkan lahan-lahan pertanian produktif secara signifikan.
Secara nasional, kawasan konservasi yang telah menjadi area pertambangan seluas 1,3 juta hektare. Demikian pula hutan lindung yang menjadi pertambangan seluas 4,9 juta hektare. Kehilangan itu mengancam pertanian tanaman pangan tak hanya berkurangnya lahan tanaman pangan, juga menyusutnya pasokan sumber daya air.
Di Jawa, sawah dan berbagai lahan pertanian produktif dikonversi menjadi perkotaan dan perumahan atau industri ekstraktif seperti pabrik semen. Akibatnya, fungsi lahan pertanian hilang akibat tidak adanya pasokan air.
Tidak berjalannya pengendalian ruang tersebut disebabkan oleh tidak berjalannya pembangunan ekonomi berbasis ekoregion melalui Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang diadopsi Rencana Pembangunan Jangka Panjang maupun Menengah oleh pemerintah pusat maupun daerah. Kajian lingkungan hidup strategis, di bawah panduan Undang-Undang PPLH, secara politik dihambat oleh semua sektor pembangunan berbasis ekonomi.
Setidaknya ada dua sebab fungsi negara oleh pemerintah menjadi rendah karena kalah oleh privatisasi:
Pertama, kapasitas penyelenggaraan pemerintahan yang terbatas (materiil, moril) terbeli oleh triliunan rupiah rente ekonomi maupun kewajiban unit usaha pembayar pajak. Sejak laporan pelaksanaan Nota Kesepahaman Bersama-KPK 2013 hingga evaluasinya pada 2020, ada sejumlah perusahaan tambang yang tidak clear and clean dan tidak membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai puluhan triliun rupiah
Di Riau, misalnya, sejak penetapan tata ruang dibatalkan pemerintah pada 2018, pemutihan atas pelanggaran penggunaan ruang terjadi secara besar-besaran oleh pemerintah daerah. Saat itu, yang telah dikonfirmasi oleh Komisi A DPRD Provinsi Riau, sejak awal Agustus 2016, target pajak daerah dari perkebunan Rp 24 triliun per tahun hanya Rp 9 triliun saja.
Pada saat itu, pemberi izin dan perusahaan turut andil membiarkan situasi tersebut dengan cara tidak bersedia memberikan data perusahaan kepada petugas pajak. Artinya, ada Rp 15 trilyun per tahun potensi kehilangan pajak di Riau saja. Dana tersebut dipakai untuk membeli pengaruh dalam pengambilan keputusan oleh negara.
Korupsi dan kejahatan ekonomi yang berkaitan dengan itu—seperti pencucian uang, penyuapan, keuangan gelap, penghindaran pajak dan penipuan—sangat mempengaruhi pembangunan dan perekonomian. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan perlu investasi tahunan senilai US$ 5- 7 triliun untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Namun, US$ 3,6 triliun hilang akibat korupsi.
Kedua, akibat state capture corruption, yaitu upaya sekelompok orang, di dalam dan di luar pemerintahan, mempengaruhi isi peraturan dan/atau pengambilan keputusan, sehingga menguntungkan mereka dan di waktu yang sama merugikan kepentingan umum. Mereka menjalankan misi buruk melalui regulasi atau keputusan yang sah.
Dalam pengelolaan sumber daya alam keadaan itu mengakibatkan alokasi pemanfaatan sumber daya cenderung untuk kelompok usaha tertentu, tapi pajak yang mereka bayarkan lebih rendah dari yang seharusnya, izin usaha diperluas atau diperpanjang walaupun tidak sesuai dengan ketentuan, maupun kelonggaran syarat kinerja usaha terutama terhadap dampak sosial dan lingkungan. Dalam waktu yang sama, perusahaan mesti membayar biaya tinggi untuk keputusan-keputusan transaksional.
Sejauh perusahaan punya rente ekonomi, dalam arti usaha untung dengan membayar pajak rendah, biaya-biaya transaksional tersebut tidak menjadi kendala. Namun, apabila iklim usaha buruk, seperti yang dialami pemegang konsesi hutan alam produksi, unit-unit usaha itu cenderung bangkrut. Meski begitu, bangkrut dan rusaknya hutan alam itu tidak serta-merta merugikan pengusaha, karena seluruh kekayaan alam yang dimanfaatkan itu milik negara.
Kedua hal di atas mengakibatkan tindakan-tindakan menyimpang itu dianggap legal karena sesuai peraturan-perundangan. Sehingga, meski legal, ia tidak memiliki legitimasi secara sosial.
Posisi pemerintah serta aparat keamanan, dengan begitu, tak menjadi instrumen negara yang dapat melakukan intervensi pasar pemanfaatan sumber daya alam, melainkan menjadi bagian dari mekanisme pasar. Siapa yang kuat menjadi menang. Seperti di sebuah pasar, siapa yang punya uang ia yang bisa membeli barang, tidak peduli orang lain bisa memperoleh barang itu atau tidak.
Itulah yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kehadiran negara bersaing dengan kebutuhan masyarakat banyak, karena negara berfungsi sebagai private. Kondisi ini menyebabkan kepentingan publik, seperti lingkungan hidup, maupun hal-hal yang menjadi kepentingan golongan masyarakat yang lemah secara politik, seperti petani, terabaikan.
Maka, mudah dimengerti, misalnya, mengapa Undang-undang Nomor 41/2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak bisa terlaksana dengan baik. Permintaan lahan untuk pangan, ketika peran negara digantikan oleh free riders, tidak ada yang akan bisa memenuhinya. Sebab, permintaan itu tidak disertai kesanggupan bersaing dengan membayar biaya transaksi, sebagaimana permintaan lahan yang sama untuk nonpertanian.
Persoalan-persoalan di atas hanya dapat diselesaikan apabila negara fokus menyelesaikan soal hak/status dan fungsi hutan/lahan. Kepastian property rights dan keadilan alokasinya, baik secara ekonomi maupun institusi, akan menghidupkan insentif pemanfaatan sumber daya bagi rakyat kecil maupun pengusaha besar. Juga meminimumkan perilaku free riders dan situasi transaksional. Kejelasan lokasi, penguasaan, maupun fungsi sumber daya alam memperkecil peluang manipulasi.
Bagaimana melakukannya? Membuka jaringan privatisasi peran negara itu melalui keterbukaan informasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Juga penegasan presiden yang terpilih dalam Pemilu 2024 dalam perbaikan tata kelola melalui pemberantasan korupsi. Namun, penegasan itu menjadi kosong jika tidak diikuti oleh KPK yang kredibel.
Kita tak memerlukan kehadiran negara secara fisik, namun melalui nilai dan norma sebagai modal sosial yang mengikat dan menjadi dasar tata kelola pemerintahan yang baik.
Ikuti percakapan tentang tata kelola di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :