KEPITING dotillid merupakan kelompok kepiting dari famili Dotillidae yang menghuni pantai dan muara sungai. Ukuran tubuh kepiting ini sangat kecil, antara 5–10 milimeter, dan memiliki warna menyerupai substrat tempat hidupnya, yaitu pasir atau lumpur. Ciri-ciri ini menyebabkan kepiting dotillid sulit dikenali meskipun jumlahnya di alam cukup melimpah.
Beberapa marga (genus) yang termasuk kepiting dotillid adalah Dotilla, Ilyoplax, Scopimera dan Tmethypocoelis. Jumlah jenis terbanyak adalah marga Ilyoplax, yaitu 29 jenis. Sedangkan jumlah jenis yang paling sedikit adalah Tmethypocoelis, hanya tujuh jenis di dunia.
Tmethypocoelis dikenalkan pertama kali tahun 1897 oleh Koelbel dan diketahui dikoleksi dari Hong Kong. Kepiting kecil ini disebut “Kepiting Buddha (buddhist crab)” karena kedua capitnya saling bertemu dan bergerak naik turun secara bersamaan dan konsisten, mirip tangan biksu yang sedang berdoa.
Julukan kepiting Buddha sangat membantu kita, mengingat nama ilmiahnya yang cukup sulit dilafalkan, yaitu Tmethypocoelis. Ukuran tubuh kepiting Buddha tidak lebih dari 7 milimeter, tubuhnya berwarna abu-abu atau coklat tua, dan capitnya berwarna putih. Hal unik lainnya dari kepiting Buddha adalah setiap jenis memiliki pola gerakan capit yang berbeda.
Sebagai contoh, Tmethypocoelis ceratophora dan Tmethypocoelis choreutes yang mempunyai pola gerak capit yang berbeda. Perbedaan perilaku capit ini pernah diteliti oleh Davie dan Kosuge pada 1995 dan menjadi salah satu rujukan penting dalam membedakan jenis-jenis kepiting.
Jika kita mengunjungi muara sungai, kita dapat dengan mudah menemukan dan mengamati fiddler crab. Ciri-ciri yang menonjol dari fiddler crab adalah warna yang mencolok dan salah satu capitnya yang berukuran besar yang dapat melebihi ukuran tubuhnya. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk Tmethypocoelis. Hasil survey di Sulawesi menunjukkan bahwa tidak semua muara sungai dihuni oleh Tmethypocoelis.
Kepiting Buddha ini hanya hidup di muara sungai yang arus airnya tidak terlalu kuat, tidak tercemar, tidak keruh, bersubstratkan lumpur berpasir, dan jauh dari pemukiman. Sebaliknya akan sulit menemukan kepiting ini jika lokasi pengamatan dilakukan di tempat-tempat yang ramai dikunjungi oleh masyarakat atau telah menjadi tempat wisata seperti misalnya kawasan wisata hutan mangrove.
Perlu kesabaran dan ketelitian jika ingin mengamati kepiting Buddha di habitatnya. Ketika melakukan pengamatan di muara sungai, sebaiknya duduk dengan tenang seperti sedang melakukan semedi dengan fokus melihat ke arah lubang-lubang kecil di permukaan substrat. Jika beruntung, dalam waktu kurang dari 5 menit akan terlihat Tmethypocoelis keluar dari liangnya.
Keluarnya kepiting ini hampir bersamaan dengan jenis lainnya, sehingga akan sedikit sulit membedakannya dengan jenis lain yang berukuran sama. Yang membedakan jenis kepiting Buddha dengan jenis lain di habitatnya adalah gerakan capitnya yang konsisten dan lincah ke atas dan ke bawah. Akan tetapi gerakan capit ini hanya dilakukan oleh kepiting jantan. Fungsinya untuk komunikasi, persaingan antar jantan, dan untuk menarik perhatian kepiting betina.
Sebagaimana kepiting pada umumnya, fungsi utama capit adalah untuk makan. Di habitatnya, kepiting ini tampak mengambil substrat pasir atau lumpur menggunakan kedua capitnya secara bergantian, kemudian memasukkan pasir atau lumpur tersebut ke dalam mulutnya. Perlu diperhatikan bahwa kepiting ini pada dasarnya tidak memakan pasir atau lumpur, hanya mengambil materi organik yang terkandung di dalam substrat tersebut.
Setelah menyaring materi organik di dalam mulutnya, pasir atau lumpur akan dikeluarkan kembali dari mulut, kemudian diterima oleh capit, dan diletakkan kembali ke permukaan substrat dengan menggunakan capit. Kepiting dengan perilaku makan seperti ini disebut pemakan deposit (deposit feeder crab).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perilaku lincah capit kepiting ini, berbanding terbalik dengan perilakunya dalam hal berpindah tempat. Kepiting Budha tidak akan berpindah jauh dari liangnya untuk mencari makan atau melakukan perkawinan. Hal tersebut dilakukan untuk menghindar dari ancaman predator, seperti burung pantai.
Liang yang menjadi tempat hidup kepiting Buddha biasanya dekat dengan tepian air muara sungai dan masih mendapat pengaruh pasang surut air laut. Ketika air laut surut, liang akan terlihat dan kepiting akan keluar dari liangnya. Namun ketika air laut pasang, kepiting akan kembali ke liangnya, dan tidak ada satu pun kepiting Buddha akan terlihat berkeliaran karena seluruh liang akan tertutup air. Umumnya kepiting ini akan memilih membuat liang di bawah naungan batang tanaman merambat, di bawah atau tepian batuan dan kerikil. Sehingga saat air surut sekalipun, liang yang menjadi rumahnya tetap nampak tersembunyi.
Pengamatan bentuk tubuh kepiting dengan menggunakan mikroskop, menunjukkan bahwa perbedaan jenis satu dengan lainnya hanya terlihat pada bentuk capit jantan dewasa dan alat kelamin jantan. Sementara pada betina, bentuk capit dan alat kelaminnya terlihat serupa antara jenis satu dengan yang lainnya.
Selain itu, pada individu betina, ukuran capitnya jauh lebih kecil dibandingkan ukuran capit jantan dewasa. Oleh karena itu, di habitat aslinya, yang tampak menggerakkan capitnya adalah kepiting jantan.
Di Indonesia, telah ditemukan tiga jenis baru, Tmethypocoelis liki (dari Pulau Liki, Papua), Tmethypocoelis celebensis (dari pesisir timur Sulawesi), dan Tmethypocoelis simplex (dari pesisir barat Sulawesi). Tmethypocoelis liki merupakan hasil koleksi dari Ekspedisi Nusa Manggala pada 2018 dan dipublikasikan di jurnal Raffles Bulletin of Zoology Singapura pada 2022.
Dua jenis lainnya yaitu Tmethypocoelis celebensis dan Tmethypocoelis simplex dipublikasikan di jurnal ilmiah Zookeys pada 2023. Koleksi ketiga jenis ini kini tersimpan sebagai koleksi ilmiah di bawah Direktorat Pengelolaan Koleksi Ilmiah Badan Riset dan Inovasi Nasonal (BRIN).
Hingga kini, belum ada catatan ketiga jenis tersebut ditemukan di lokasi lain di Indonesia atau negara lain. Sama halnya dengan Tmethypocoelis ceratophora yang hanya ditemukan di Taiwan, Tmethypocoelis choreutes di Kepulauan Ryuku, Jepang, Tmethypocoelis koelbeli di Australia bagian utara (Northern Territory), dan Tmethypocoelis odontodactylus di Papua Nugini. Jadi, dapat kita katakan bahwa jenis-jenis tersebut adalah spesies endemik di pulau asal penemuannya. Untuk pembuktian yang lebih akurat, perlu dilakukan eksplorasi di pulau-pulau atau lokasi terdekat dengan lokasi penemuan sebelumnya.
Seperti halnya kepiting laut pada umumnya, larva kepiting ini hidup sebagai plankton yang hidup mengambang di permukaan air laut. Sebaran larva ini sangat ditentukan oleh arah arus air laut. Di Indonesia, arah arus air laut memiliki pola yang konsisten dimana arus laut di Selat Makasar tidak akan mencapai Papua dan sebaliknya. Ditambah lagi larva kepiting memiliki rentang kemampuan bertahan hidup (survival rate) yang sangat terbatas. Oleh karena itu, jenis yang ada di Papua tidak akan mencapai Sulawesi dan sebaliknya.
Di Indonesia sedikit sekali peneliti krustasea yang fokus meneliti kelompok kepiting ini. Salah satu peneliti asing yang cukup lama fokus meneliti kepiting Buddha adalah Peter Davie dari Museum Queensland, Australia. Namun, Peter Davie sendiri sampai saat ini belum berhasil menyelesaikan risetnya tentang kepiting Buddha dari Indonesia. “Lebih dari 20 tahun saya mencoba menyelesaikan meneliti Tmethypocoelis dari Indonesia, namun pada akhirnya saya terlalu sibuk untuk melanjutkan penelitian ini,” kata Peter Davie.
Saat ini, salah satu peneliti krustasea dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE), BRIN berkolaborasi dengan Peter Davie untuk melanjutkan penelitian tentang kepiting Buddha. Dari kolaborasi ini diharapkan akan dapat diterbitkan setidaknya empat jenis baru kepiting Buddha yang dikoleksi dari Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa dan Kepulauan Maluku.
Metode yang digunakan adalah pengamatan morfologi (bentuk tubuh), anatomi dan molekular (genetik). Tidak menutup kemungkinan juga bahwa akan ditemukan jenis baru lainnya dari pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, ekspedisi ke pulau-pulau kecil di Indonesia menjadi peluang penting bagi peneliti untuk mengungkap lebih banyak lagi jenis-jenis baru dari kelompok kepiting Budha ini.
Hal yang menarik adalah, pada 1918, Tesch mengidentifikasi Tmethypocoelis yang dikoleksi dari Pulau Lombok tepatnya di Pujut. Tahun 2018, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi BRIN menemukan juga kepiting ini di lokasi yang berdekatan dengan Pujut, yaitu di Mandalika tepatnya di tepian area yang kini menjadi Sirkuit Internasional Pertamina Mandalika. Hingga saat ini, belum ada monitoring populasi kepiting ini di sekitar kawasan Mandalika setelah dibangunnya Sirkuit tersebut.
Hal lain yang penting dalam penelitian kepiting Buddha ini adalah usaha kita untuk selalu menjaga habitat kepiting Budha di muara-muara sungai agar tetap bersih dan tidak tercemar. Hal ini karena Tmethypocoelis tidak dapat bertahan hidup di lingkungan yang tercemar.
Selain itu, perubahan lahan menjadi pemukiman atau infrastruktur lainnya dapat menyebabkan hilangnya habitat kepiting dan fauna muara lainnya. Jika muara sungai tercemar atau habitat menyusut, dikhawatirkan ada jenis-jenis yang belum terungkap keberadaannya tapi telah hilang akibat pesatnya aktivitas antropogenik.
Ikuti percakapan tentang kepiting Buddha di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :