Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 04 Maret 2024

Ekologi Politik Pelestarian Kehati

Kebijakan pelestarian keragaman hayati perlu dihubungkan dengan kondisi tata kelola sumber daya alam. Mengapa?

Keragaman hayati

SIFAT keragaman hayati (kehati) berangkat dari fakta adanya aneka kehidupan dan secara kolektif mengacu pada variasi di semua tingkat organisasi biologis, seperti gen, spesies, dan ekosistem. Secara kumulatif, ekosistem menyediakan berbagai dukungan produksi, dari kesuburan tanah, penyerbuk tanaman, predator, pengurai limbah, serta jasa-jasa ekosistem lingkungan, seperti pemurnian udara dan air, stabilisasi dan moderasi iklim, pengurangan banjir, kekeringan, dan bencana lingkungan lainnya.

Perspektif keragaman hayati tak hanya datang dari pandangan ilmiah, juga dari warisan spiritual banyak budaya dan adat-istiadat yang tidak selalu disertai motif logismencari keuntungan. Partha Dasgupta, ekonom asal Inggris, memperkirakan dalam Dasgupta Review bahwa nilai modal per kapita selama 22 tahun meningkat dua kali lipat dan peran sumber daya manusia per kapita meningkat sekitar 13%. Namun nilai stok modal alam per kapita turun hampir 40%. Fakta itu menunjukkan pembangunan ekonomi selama ini tidak menghargai keragaman sumber daya alam hayati.

Konstruksi Kayu

Sebaliknya, pembangunan ekonomi mengakumulasikan modal buatan. Umat manusia secara agregat telah makmur secara ekonomi, namun cara kita memperlakukan alam untuk mencapai kemakmuran telah membawa kerusakan dan kerugian. Untuk Indonesia, kerugian itu diderita oleh masyarakat miskin dan tertinggal, sehingga ketidakadilan makin melebar. Pada 2022 secara nasional, terdapat sekitar 25 juta orang miskin.

Buku “Memulihkan Keragaman Hayati: Ekologi Politik Sumber Daya Alam Indonesia” yang akan diterbitkan Yayasan Kehati dan LP3ES mengulas soal itu. Secara ringkas, isinya sebagai berikut:

Pertama, dalam konteks global, planet bumi saat ini tengah menghadapi ancaman dan krisis ekologi paling mematikan (triple planetary crisis) yang disebabkan tiga hal, yaitu hilangnya keragaman hayati, polusi dan kerusakan lingkungan, serta perubahan iklim. Situasi tersebut berpengaruh terhadap enam hal, yaitu ekonomi, sosial, urbanisasi, teknologi, pengembangan infrastruktur, serta energi dan lingkungan hidup.

Kenyataan itu menjadi tantangan besar bagi semua elemen di tingkat global, termasuk lembaga grant konservasi lingkungan hidup seperti Yayasan Kehati, terutama dalam mengembangkan inovasi pendanaan berkelanjutan sekaligus inovasi memperkuat konservasi di tingkat nasional dan lokal.

Hal itu terutama karena dua alasan, yaitu semakin meningkatnya kebutuhan pendanaan dan makin besarnya tantangan konservasi. Untuk itu perlu upaya peningkatan pendataan keragaman hayati, peninjauan kembali prinsip dan peraturan perlindungan dan pelestarian kehati, serta peningkatan keterlibatan masyarakat sipil.

Kedua, pengetahuan masyarakat mengenai keragaman hayati. Tak banyak orang tahu, apalagi mengenal, manfaat maupun cara melindungi keragaman hayati. Fungsi dan nilai keragaman hayati dipandang sebagai konsep yang abstrak, kurang penting, tidak urgen, karena manfaatnya sering kali berupa “potensi” yang hanya bisa terlihat dan dirasakan kelak. 

Kendati pembangunan ekonomi membuat kondisi ekonomi membaik, masyarakat tidak terlalu memahami lingkungan rusak dan sumber hayati menghilang. Masyarakat umumnya baru sadar keberadaan dan fungsi penting keragaman sumber daya alam hayati setelah mereka menyaksikan langsung dampak negatif bencana lingkungan, yang terjadi setelah pembangunan ekonomi dan kondisi infrastruktur fisik meningkat.

Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan tidak dengan sendirinya membuat masyarakat peduli lingkungan atau secara spesifik sadar akan pentingnya keragaman alam. Dominasi pandangan dan pendekatan materialistis semakin mengukuhkan rendahnya kepedulian itu. 

Secara agregat nasional, Indonesia terlambat dan tertinggal dalam membangun kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang sumber daya alam dan lingkungan. Padahal, ilmu dan pengetahuan telah menjadi dasar pijakan perencanaan pembangunan.

Sebaliknya, masyarakat adat, penduduk asli, komunitas lokal dan/atau penghuni terdekat area pembangunan tahu, kenal, paham, dan sangat peduli bahwa di lokasi dan area yang mustahil dihuni manusia itu tersimpan berbagai kekayaan alam hayati yang tinggi nilainya dan besar manfaatnya bagi kehidupan. Mereka umumnya memiliki “sense of belonging” dan menganggap keragaman hayati sebagai bagian dari budaya hidup sehari-hari. 

Fakta itu bertentangan dan dari waktu ke waktu digerus oleh dominasi pemikiran positivistik, yang umumnya menganggap apa yang dijalankan masyarakat adat tidak efisien. Akibatnya, pengembangan kebijakan dan instrumen hukum tidak lagi sejalan dengan fakta sosial dan budaya masyarakat yang justru sedang melindungi keragaman hayati. 

Realitas itu memberi pelajaran bahwa lembaga-lembaga pengelola program dan kegiatan konservasi akan jauh lebih baik dan tepat sasaran bila bekerja sama dengan berbagai jenis organisasi lokal. Dengan mempelajari hasil pendampingan masyarakat yang dilakukan sekitar 30 tahun oleh Yayasan Kehati, yang menyediakan dan mengelola dana hibah untuk konservasi, menunjukkan bahwa sistem pembangunan secara nasional tidak kompatibel untuk mewujudkan pelestarian kehati.

Oleh karena itu “model pendekatan dari bawah” dengan mendampingi, meningkatkan pengetahuan maupun kapasitas mitra kerja lebih tepat sasaran. Berbagai bentuk organisasi lembaga swadaya masyarakat, lembaga riset, pusat pendidikan dan latihan, sekolah, akademi dan perguruan tinggi, juga pondok pesantren, menjadi relevan sebagai pendamping sekaligus menguatkan kapasitas dan kepeduliannya terhadap konservasi kehati secara berama-sama. 

Dengan masalah yang begitu kompleks, skema penggalangan dan tata kelola sumber daya finansial berkelanjutan untuk konservasi seharusnya tanpa batas atau dalam kurun waktu sekurang-kurangnya 40-100 tahun. Untuk tujuan itu, selain pemerintah, sumber dana perlu ditopang oleh peran serta sektor swasta, badan usaha milik negara, donor bilateral, lembaga multilateral, lembaga-lembaga filantropi, serta berbagai sumbangsih dana kelompok-kelompok masyarakat.

Pengelolaan keragaman hayati menuju masa depan tidak terlepas dari pengaruh ekologi politik. Efisiensi dan pertumbuhan ekonomi yang dianggap bermanfaat, tidak selalu demikian bagi masyarakat yang ter(di)tinggal. Kenyataannya, pada saat pertumbuhan ekonomi dicanangkan, hak-hak masyarakat dan kearifannya dalam mengelola sumber daya alam cenderung diabaikan.

Sementara itu tren peningkatan konflik kepentingan dan korupsi dalam tubuh pemerintah dan korporasi menjadi semakin biasa. Dalam situasi seperti ini, berdasarkan hasil evaluasi Kelompok Kerja Kementerian Kordinator Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia, politik representasi masyarakat berubah menjadi—atau lebih sebagai—representasi kelompok. Fakta administrasi yang dapat menutupi fakta lapangan senantiasa dipertahankan. Akibatnya, sistem administrasi tidak membangkitkan dorongan dan semangat melakukan kegiatan untuk memperbaiki kenyataan. 

Sistem administrasi itu menutup perspektif jangka panjang, termasuk apa yang menjadi visi pemerintah. Pengembangan komoditas monokultur selalu mudah diterima karena dampak buruk kerusakan sumber daya hayati, sebagaimana peran jasa lingkungan pada umumnya, tidak terjadi seketika. Karena itu, penyusunan peraturan perundangan pun bisa dengan mudah menyebut peran keragaman hayati tidak nyata dan tidak pasti.

Dari tinjauan politik ada dua hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, bekerjanya “politik pengetahuan”, yaitu bagaimana masalah dan tujuan dibingkai, didefinisikan, dan ditetapkan. Dalam hal ini, kerusakan sumber daya hayati tidak dianggap sebagai masalah.

Kedua, bekerjanya “politik kepentingan”, yaitu bagaimana posisi ditegaskan, kepentingan komersial-politik dikerahkan, dan aliansi untuk atau melawan perubahan dibentuk.

Ketiga, dalam kondisi publik yang dilemahkan, politik bertransformasi menjadi “rezim akumulasi” dengan berfokus pada pertanyaan siapa mendapat kekayaan dari sumber daya alam dan bagaimana kekayaan itu berpengaruh dalam pengambilan keputusan.

Maka, dalam pandangan ekologi politik, kelangkaan bukan fitur tetap terkait sedikitnya jumlah komoditas dibanding permintaan. Kelangkaan bagi seseorang, melimpah bagi orang lain, karena kelangkaan diproduksi oleh akses yang tidak setara dan menjadi persoalan konstitutif dari hubungan sosial, politik, dan ekonomi.

Karena itu, upaya pengelolaan sumber daya alam dan kehati bukan pada keberlanjutan untuk fungsi lingkungannya, tetapi untuk akumulasi laba, baik oleh perusahaan swasta ataupun elite individu.

David Harvey, dalam A Brief History of Neoliberalism, menyebut hal seperti itu sebagai “akumulasi dengan perampasan” atau penguasaan aset publik untuk kepentingan pribadi agar mendapat keuntungan, yang pada gilirannya mendorong akumulasi dan mempertajam ketimpangan sosial.

Dalam konteks itu, telaah kebijakan pelestarian keragaman hayati perlu dihubungkan dengan kondisi tata kelola sumber daya alam. Untuk itu, secara khusus, pengalaman Yayasan Kehati, yang menjadi bagian dari pelaksanaan pengelolaan itu, bisa menjadi rujukan dan proses pembelajaran.

Ikuti percakapan tentang keragaman hayati di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain