KARENA diwajibkan, hampir semua negara berjanji menurunkan emisi karbon mereka dan mencapai net zero emission pada 2050. Berbagai solusi dan konsep baru terus bermunculan untuk mencapai target penurunan emisi dan mencegah krisis iklim. Salah satunya adalah solusi mitigasi iklim berbasis alam, nature based solution.
Sebuah laporan UNDP menyebutkan, melindungi dan memulihkan ekosistem alami, seperti hutan, padang rumput, lahan basah, lahan pertanian, dan lautan, dapat mengurangi emisi hingga 10 gigaton CO2 per tahun. Salah satu solusi mitigasi berbasis alam yang mendapat perhatian adalah Nature Climate Solution (NCS) atau Solusi Iklim Alamiah.
Solusi iklim alamiah atau NCS adalah serangkaian upaya mitigasi berbasis sumber daya alam, seperti perlindungan hutan dan lahan basah, perbaikan pengelolaan hutan, serta restorasi ekosistem hutan, gambut dan mangrove. Tak hanya soal melindungi, NCS juga memperhatikan ketersediaan pangan, kayu, dan serat dengan tidak membahayakan keanekaragaman hayati.
Dalam enam tahun terakhir, popularitas NCS naik tiga kali lipat. Dari yang sebelumnya di bawah 2% menjadi lebih dari 6%. Banyak perusahaan yang ikut terlibat mengadopsi konsep NCS. Alhasil, pendanaan ke proyek NCS meningkat dua kali lipat.
Tapi, di balik peningkatan popularitas NCS, banyak juga yang masih bingung. NCS bukan satu-satunya solusi mitigasi berbasis alam. Ada juga Nature based Solution (NbS) dan Nature based Climate Solution (NbCS). Apa bedanya?
Dibanding NCS, NbS memiliki cakupan lebih luas. Tak hanya terbatas pada mitigasi iklim, juga fokus mengatasi tantangan sosial. Sedangkan NbCS hampir sama dengan NCS, tapi NbCS melibatkan aktivitas rekayasa dalam mitigasi iklim, seperti budi daya mikroalga dan sejenisnya. Sedangkan NCS benar-benar fokus pada aksi mitigasi iklim yang mengandalkan ekosistem alami.
Secara detail, ada lima prinsip dalam NCS, yaitu nature based, sustainable, climate-additional, measurable, dan equitable. Nature based artinya manusia harus aktif menjaga ekosistem alami. Artinya, kita tidak boleh mengubah sebuah ekosistem dari kondisi alaminya. Walau program reforestasi baik, jika dilakukan dengan menanam jenis non-lokal, bisa mengubah struktur dan komposisi ekosistem alami.
Kedua, NCS harus sustainable. Perlindungan dan pemulihan ekosistem alami arus bisa menjamin keberlanjutan keanekaragaman hayati, ketersediaan pangan, serat, dan kayu. Contohnya, wanatani yang dapat menjaga fungsi ekosistem alami, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan pangan.
Ketiga, climate additional yang berarti intervensi manusia diperlukan untuk menghasilkan mitigasi iklim tambahan. Membangun hutan di ekosistem yang hancur tidak terhitung sebagai NCS. Namun, jika ekosistem yang hancur tersebut terancam oleh kegiatan manusia dan berpotensi tidak akan beregenerasi, maka menumbuhkan hutan di ekosistem yang hancur tersebut terhitung sebagai NCS.
Keempat, measurable, artinya semua kegiatan NCS harus bisa diukur secara sains dan detail, sehingga tak menimbulkan perhitungan ganda dan false claim. Terakhir, NCS juga harus equitable. Menghormati hak asasi manusia dan hak masyarakat adat yang hidup di sekitar ekosistem alami.
Jika prinsip tersebut berjalan baik, NCS berpotensi bisa menurunkan hingga 1/3 emisi global di tahun 2030. Di Indonesia, berdasarkan hasil kajian YKAN, NCS bisa menurunkan emisi sebesar 1,4 gigaton setara CO2 per tahun.
Walau sudah ada kerangka dan prinsip yang jelas, perusahaan yang telah melakukan program berbasis alam, seperti penanaman pohon, dirancang dengan buruk dan hasilnya tidak diverifikasi secara ilmiah. Namun, hasilnya digunakan untuk klaim penurunan emisi atau penyeimbang karbon. Sehingga pada akhirnya solusi berbasis alam dianggap sebagai greenwashing.
Ditambah investasi untuk mengeskalasi NCS tidaklah murah. Setidaknya dibutuhkan lebih dari US$ 400 miliar per tahun untuk mendorong NCS. Dana tersebut 9 kali lebih banyak dibanding nominal yang kita keluarkan saat ini.
Ikuti percakapan tentang nature climate solution di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :