HARI itu, James Kempton, Gison Morib, dan para peneliti yang tergabung dalam Ekspedisi Cyclops baru saja mendapat temuan yang sulit mereka percaya. Satu dari 80 kamera jebak yang mereka pasang, menangkap sosok seekor ekidna moncong panjang, mamalia yang telah hilang selama 60 tahun lebih dan diyakini para peneliti telah punah. Butuh tiga tahun bagi mereka menunggu dan mencari untuk bisa menemukan spesies mungil ini.
Bagi peneliti, mendeklarasikan kepunahan suatu spesies adalah pengumuman berat. Alih-alih langsung mendeklarasikan kepunahan, biasanya peneliti memilih memasang status “hilang” pada spesies yang sudah bertahun-tahun tak terlihat. Sebab, untuk menemukan kembali spesies yang hilang bukan perkara mudah.
Baru-baru ini sekelompok peneliti mencoba mengumpulkan daftar spesies hilang dari kelompok tetrapoda, kelompok yang terdiri dari mamalia, burung, amfibi, dan reptil. Mereka berhasil mengumpulkan 1.200 daftar spesies hilang sejak 1800. Dari jumlah itu, hanya 424 spesies (33%) yang berhasil ditemukan kembali. Sisanya, 856 spesies (67%) masih belum ditemukan lagi.
Jumlah tersebut terus bertambah. Bertambahnya ekspedisi, semakin canggihnya teknologi, seperti pendeteksi suara dan analisis DNA, tak membuat laju penemuan spesies lebih banyak dibanding laju kehilangannya. Ditambah, beberapa spesies memang sulit ditemukan, karena ukuran, persebaran habitat yang sangat terbatas, dan minimnya informasi dari studi sebelumnya.
Dalam studi yang dipublikasikan Global Change Biology, beberapa spesies yang ditemukan kembali memiliki karakteristik berikut: mamalia atau burung, ukurannya cukup besar, karismatik, punya cakupan habitat yang luas, dan seringkali hidup di dekat manusia. Spesies dengan karakteristik seperti itu biasanya memiliki daya tarik lebih besar, yang membuat banyak peneliti berbondong-bondong menemukannya.
Sebagai contoh harimau jawa dan harimau tasmania. Kedua spesies besar dan karismati. Meski telah dinyatakan punah, banyak peneliti yang masih berusaha menemukan keberadaannya. Ditambah banyak laporan-laporan penduduk sekitar yang melihat sosok kedua spesies tersebut. Sayangnya, pencarian selama puluhan tahun tak mampu menyingkap penampakannya.
Sedangkan, spesies dengan karakteristik reptil atau amfibi, ukuran yang kecil, dan tidak karismatik lebih sulit untuk ditemukan. Spesies seperti itu tidak banyak mengundang rasa penasaran dan keinginan peneliti untuk menemukannya. Sebagai contoh, bunglon daun fito atau Brookesia lambertoni yang hidup di Madagaskar. Terakhir kali ia ditemukan pada 1970-an. Sejak itu, tak ada yang mencoba mencari tahu keberadaannya.
Terlepas dari itu, penemuan kembali spesies hilang dapat menjadi pisau bermata dua. Satu sisi, ia menjadi berita baik dan harapan bagi dunia konservasi. Satu sisi, ia dapat menjadi informasi bagi para pemburu karena nilai jualnya yang tinggi. Maka dari itu, biasanya beberapa informasi, khususnya terkait detail habitat, tidak dipublikasikan. Hal ini untuk menjaga kelestarian dan keamanan dari spesies tersebut.
Saat suatu spesies kembali ditemukan, diperlukan upaya untuk mengamankan habitat mereka. Seperti di Brasil, pemerintah membuat area perlindungan seluas 89.000 hektare untuk melindungi habitat merpati tanah bermata biru (Columbina cyanopis). Kicauan burung tersebut kembali terdengar di 2015 setelah 75 tahun tak pernah terdengar.
Penemuan kembali spesies hilang memiliki makna bagi ekologi dan budaya setempat. Bagi komunitas Yongsu Sapari yang hidup di Pegunungan Cyclops, ekidna adalah alat perdamaian bagi mereka yang berselisih. Sementara bagi penduduk asli Hawaii, ʻalalā atau burung gagak hawaii, yang sudah punah di alam, dianggap sebagai ʻaumakua (dewa) yang membawa jiwa-jiwa tersesat ke peristirahatan terakhir mereka.
Ikuti percakapan tentang keragaman hayati di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :