DI masa krisis iklim, sukun (Artocarpus altilis) menawarkan paket lengkap sebagai mitigasi kenaikan suhu bumi. Buahnya padat sarat nutrisi dan serat yang bisa menggantikan makanan pokok. Karena itu sukun bisa menjadi sumber pendapatan petani.
Tak hanya itu, sukun juga penyerap emisi yang baik. Beberapa ahli tumbuhan dan iklim setuju pohon sukun bisa menjadi pohon yang bisa menjadi andalan mitigasi krisis iklim.
Sukun merupakan buah asli dari Asia Tenggara, tepatnya di wilayah Papua dan Indo-Melayu. Orang Eropa menemukan sukun di tahun 1500-an. Buahnya yang produktif, bertepung, bertekstur, dan beraroma seperti roti panggang membuat orang Eropa suka dengan buah tersebut.
Di Indonesia, sukun tumbuh secara alami di Indonesia Timur, tepatnya di Maluku dan Papua. Namun, pada tahun 1820, sukun mulai dibawa ke Jawa dan Sumatera. Mereka tumbuh baik dan akhirnya tersebar di seluruh Nusantara dan kepulauan tropis lainnya seperti Fiji, Hawai, dan Tahiti. Kendati tersebar di banyak wilayah, sukun sendiri masih kalah pamor dengan tanaman pokok lain, seperti padi, gandum, dan jagung.
Sukun memiliki kandungan yang tak kalah dengan tanaman pokok lain. Dalam webinar HortiEs Talk oleh BRIN, sukun merupakan buah potensial dengan kandungan karbohidrat tinggi yang dapat menggantikan beras. Selain karbo, sukun juga kaya akan kandungan nutrisi lain seperti vitamin, mineral, dan serat.
Ia juga memiliki senyawa saponin yang berperan sebagai antimikroba, antijamur, antikanker, antiinflamasi, antioksidan, hiperkolesterolemia, dan hepatoprotektif. Singkatnya, ia memiliki peran penting untuk menjaga kesehatan kita, khususnya dalam menjaga kesehatan jantung, menurunkan gula darah, dan memenuhi kebutuhan diet bebas gluten.
Sukun juga jauh lebih tangguh menghadapi krisis iklim dibanding tanaman pokok lainnya. Dalam sebuah permodelan yang dipublikasikan di PLoS Climate pada 2022, dalam skenario emisi tinggi, sukun diprediksi panen dengan kuantitas dan kualitas yang stabil.
Dalam pemodelan tersebut, luas tanaman sukun di daerah tropis dan subtropis diproyeksikan turun 4,5% pada skenario emisi tinggi di tahun 2080. Namun produktivitasnya akan cenderung stabil. Permodelan tersebut juga menunjukkan peluang memperluas budi daya sukun di daerah Afrika, yang tingkat ketahanan pangannya cukup rendah.
Selama ini sukun dianggap sebagai tanaman yang memiliki serapan karbon rendah. Hal itu karena ia memiliki kayu yang lunak dan kerapatan tumbuh yang rendah. Namun dalam studi yang dipublikasikan jurnal Sustainability, sukun memiliki kemampuan menyerap karbon yang lebih rendah dibanding pohon sejenisnya. Namun jika dibandingkan dengan tanaman pokok lain, sukun punya serapan karbon yang lebih tinggi.
Studi tersebut menunjukkan bahwa sukun di perkebunan bisa menyerap 69,1 ton karbon per hektare di biomassa di atas tanah selama 20 tahun. Walau ia berkayu lunak dan berongga, sukun memiliki pertumbuhan yang cepat, rata-rata 1,2 meter per tahun, membuatnya bisa menyerap lebih banyak karbon sepanjang pertumbuhannya.
Angka tersebut belum memperhitungkan karbon yang terkandung di bawah tanah dan yang terkandung di buahnya. Ditambah, perhitungan itu didapat dari sukun yang hidup di perkebunan subtropis. Kemungkinan besar nilainya lebih tinggi untuk sukun yang hidup di daerah tropis dan ditanam dalam sistem agroforestri. Setidaknya, studi tersebut memberikan gambaran sukun adalah tanaman potensial dalam mitigasi krisis iklim.
Satu lagi kelebihan sukun ia dapat dipadukan dengan tanaman lain dalam sistem agroforestri. Ia dapat dipadukan bersama mangga, alpukat, pisang, kopi, singkong, atau tanaman rimpang. Sukun dalam sistem agroforestri juga akan mengundang lebih banyak keanekaragaman hayati yang membuat petak pertanian jadi lebih sehat.
Keunggulan sukun tersebut yang membuatnya jadi tanaman potensial untuk mengatasi krisis iklim dan krisis pangan. Di Indonesia, sebagian besar sukun masih hanya dimanfaatkan sebagai camilan. Sedangkan di beberapa negara seperti Samoa dan Fiji, mereka sudah menjadikan sukun sebagai makanan pokok.
Ikuti percakapan tentang krisis iklim di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :