HILANGNYA kepedulian terhadap berbagai kesalahan di ruang publik yang berdampak bagi kepentingan umum tampaknya sedang jadi tren akhir-akhir ini. Semakin menguatnya dogma atau ikatan struktural bawahan harus patuh pada pimpinan tanpa koreksi, membuat nilai sosial melemah, termasuk etika yang menjadi dasar pengambilan sebuah keputusan dalam kebijakan publik.
Akibat pertama situasi kehilangan moral ini membuat siapa saja menjadi tak yakin bahkan tak percaya kepada peraturan atau otoritas. Maka peraturan yang berisi kebenaran menjadi tergantung selera pelaksana yang tidak lagi terikat norma-norma sosial. Kebenaran pun menjadi subyektif.
Fakta seperti itu terjadi birokrasi pusat dan daerah. Birokrasi membicarakan apa yang layak dibicarakan, bukan apa yang seharusnya dibicarakan. Informasi yang menggambarkan fakta cenderung tidak dibicarakan, bahkan dirahasiakan. Informasi yang layak dibicarakan hanya informasi yang dibenarkan secara administratif. Walaupun informasi seperti itu tidak sesuai kenyataan.
Dalam percakapan formal dan informal di sebuah kantor di Jawa Timur pekan lalu, “fakta semu” acap digunakan sebagai pertimbangan menentukan masalah dan solusinya. Ketika saya sampaikan adanya “dunia pertama” sebagai dunia administrasi dan “dunia kedua” sebagai kenyataan (penjelasan lengkap tentang dua dunia itu lihat artikel di Forest Digest), kita perlu menghindari “fakta semu” dunia pertama itu menggunakan dunia kedua sebagai dasar pengambilan keputusan.
Namun, itu tidak mudah. Cara menerapkannya sangat tergantung pada pimpinan di sebuah unit kerja atau lembaga. Para pimpinan bisa menyiasati acuan kerja formal, karena acuan kerja formal hanya peduli dengan urusan administrasi. Dengan situasi dunia pertama seperti itu, berbagai tindakan menyimpang menjadi wajar dan kita menjadi paham mengapa indeks tata kelola Indonesia hanya 34 dari 100.
Dalam pengelolaan hutan, misalnya, fakta lapangan diubah menjadi fakta administrasi. Kini ada ribuan konflik lahan dan puluhan juta hektare hutan produksi dieksploitasi dan pengusaha atau pengelolanya terhindar dari kesalahan itu. Lalu semua orang merasa tak terjadi apa-apa. Dengan kenyataan seperti itu, di dunia administrasi, perusakan hutan produksi tidak menyebabkan hukuman, sehingga pelajaran atas kerusakan hutan itu juga tidak ada.
Untuk itu, tolok ukur pembangunan, khususnya pemanfaatan sumber daya alam, harus diarahkan pada dua tujuan: mewujudkan keadilan sosial dan terkendalinya kerusakan sebagai penopang ekonomi dan lingkungan hidup. Kedua tujuan itu harus secara nyata—bukan secara administrasi—menjadi tolok pembangunan.
Saat ini, sektor yang secara langsung menopang ekosistem, seperti hutan, tambang, pesisir dan kelautan, sudah rusak hebat dan memicu bencana. Selain itu juga ketimpangan penguasaan sumber daya alam. Lahan pertanian subur semakin menipis. Ironisnya, secara administratif kegentingan ini tidak muncul ke permukaan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2022 mencatat 3.544 bencana dengan jumlah semakin meningkat. Sebelumnya, pada 2009 ada 1.246 bencana, sedangkan 2018 sebanyak 2.575 bencana. Dari semua bencana pada 2022, 3.489 kejadian di antaranya berupa banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan.
Semua bencana itu mengakibatkan 6.144.534 orang menderita dan mengungsi, 8.733 orang luka-luka, 858 orang meninggal dunia, dan 37 orang hilang. Selain itu 95.403 rumah dan 1.983 fasilitas umum rusak.
Konsorsium Pembaruan Agraria, selama 2015-2023, juga mencatat terdapat terjadi 2.939 konflik tanah yang meliputi 6,3 juta hektare lahan dengan 1.759 juta keluarga yang menjadi korban. Dari 851 lokasi yang menjadi prioritas reforma agraria, redistribusi tanah dan penyelesaian konflik baru mencapai 21 lokasi prioritas dengan total 5.400 hektare untuk 7.690 keluarga. Lokasi-lokasi lainnya masih larut dalam konflik berkepanjangan.
Studi Komisi Pemberantasan Korupsi tentang benturan kepentingan dalam pembiayaan pemilihan kepala daerah menunjukkan pada 2015-2020 modal calon kepala daerah tidak cukup menutup mahalnya biaya pemilihan. Studi ini juga mengidentifikasi naiknya biaya pada 2015 hingga 2020 yang berkisar antara Rp 15-30 miliar.
Di sini muncul potensi benturan kepentingan antara donatur pemilihan kepala daerah yang mengharapkan adanya timbal balik dengan kepala daerah yang disokongnya. Kemudahan perizinan, keamanan bisnis, dan akses kepada tender pemerintah merupakan tiga hal utama yang diharapkan para pemodal pemilihan kepala daerah.
Dari fakta itu terlihat kepentingan politik tidak ditujukan untuk mengendalikan kerusakan lingkungan akibat pengurasan sumber daya alam. Maka konflik lahan menjadi konsekuensi dari pendekatan pembangunan ekstraktif yang melahirkan ketidakadilan.
Dalam pembangunan yang tak adil, kekuasaan dan kewenangan hanya untuk kepentingan sekelompok orang yang hidup di daerah bebas bencana. Pemihakan terhadap kelompok kaya itu terjadi akibat alokasi dan penguasaan komoditas dipilih jenis yang menghasilkan keuntungan finansial tinggi.
Komoditi komersial itu selalu dianggap atau diasumsikan berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan aspek sosial dan budaya. Jika kita lihat Papua, pembangunan ekonomi memakai cara yang membunuh modal sosial dan kebudayaan masyarakat di sana. Pengusiran masyarakat Pulau Rempang atas nama proyek strategis nasional jadi contoh kian meluasnya pembangunan ekstraktif yang tak adil itu.
Politik-ekonomi pembangunan semestinya berpijak pada kondisi nyata krisis ekosistem dan ketidakadilan sosial yang sudah dan sedang terjadi. Bisakah pemerintahan mendatang mewujudkannya?
Ikuti percakapan tentang pembangunan berkelanjutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :