BANJIR bandang dan longsor menjadi bencana yang akhir-akhir ini terjadi di tanah air. Banjir di Humbang Hasundutan di tepi Danau Toba, Sumatera Utara, yang belum lama terjadi adalah dua dari tiga jenis bencana hidrometeorologi. Peringatan bencana hidrometeorologi sudah diumumkan pemerintah sejak Indonesia memasuki awal musim hujan bulan Oktober tahun lalu.
Bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor menjadi bencana rutin tahunan bagi daerah-daerah yang menjadi langganannya. Bahkan semakin hari daerah bencana hidrometeorologi semakin meluas dan masif. Selama ini, penyebab bencana hidrometeorologi adalah cuaca ekstrem yang menjadi fenomena global akibat perubahan iklim.
Danau Toba merupakan salah satu danau yang terindah dan terbesar yang berada di Indonesia. Pemerintah mengucurkan Rp 2,4 triliun pada 2020 untuk membangun lingkar Samosir, jembatan Tano Ponggol, revitalisasi, embung, instalasi pengolahan air, sanitasi, dan penataan kawasan tepi danau Toba untuk menjadikan kawasan ini tujuan baru pariwisata.
Pembangunan infrastruktur yang masif itu belum diimbangi oleh kecepatan perbaikan dan pencegahan kerusakan lingkungan yang menyeluruh di daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba. Akibat penebangan hutan secara ilegal di hulu sungai, atau pembakaran ladang saat kemarau, membuat daerah di bawahnya memiliki potensi tertimpa banjir bandang dan tanah longsor. Secara administratif, Danau Toba dikelilingi enam daerah kabupaten, yakni Samosir, Toba, Tapanuli Utara, Kabupaten Simalungun, Humbang Hasudutan, dan Dairi.
Luas lahan kritis di Danau Toba mencapai 28.911 hektare atau 10,98% dari total 263.041,68 hektare. Luas itu hampir setengah luas DKI Jakarta. Lahan kritis itu berupa lahan terbuka, lahan tak produktif dan semak belukar. Kondisi lahan didominasi lahan kritis 62,88% (165.402,61 hektare). Hanya 20,22% (53.186,17 hektare) lahan dengan tidak kritis.
Laju reboisasi atau penanaman kembali pohon di Danau Toba, sementara itu, lambat dibandingkan dengan kerusakan lahannya. Tahun 2018, luas penanaman pohon hanya 212 hektare, lalu jadi 2.597 hektare pada 2019, dan 3.109 hektare pada 2020 dan 2021. Itu pun dari seluruh reboisasi atau penanaman pohon belum dapat dijamin berhasil hidup dan tumbuh menjadi pohon dewasa apabila tanpa dijaga dan dipelihara minimal 15 tahun.
Untuk mengatasi bencana banjir bandang dan tanah longsor, tidak ada kata lain selain mencegahnya dengan memulihkan hutan di hulu sungai. Untuk mencegah banjir bandang harus tetap mempertahankan tutupan hutan yang masih ada dan kondisi baik dengan mencegah alih fungsi lahan hutan.
Sementara untuk daerah hulu yang telah rusak kawasan hutan dan tutupan hutannya harus segera memulihkannya kembali dengan menanam vegetasi kayu-kayuan dengan jenis yang cepat tumbuh (fast growing species) dan berdaun lebar yang mampu untuk menyerap air hujan yang lebih banyak ke dalam tanah.
Untuk mencegah tanah longsor, terutama untuk lahan-lahan di luar kawasan hutan, peningkatan dan sosialisasi kesadaran masyarakat perlu digalakkan agar daerah-daerah yang rawan longsor di tebing-tebing sungai, tebing lahan yang kemiringannya di atas 40% yang masih ada vegetasinya (kayu maupun semak belukar dan rumput-rumputan) tidak perlu diganggu gugat keberadaannya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pernah menyarankan agar masyarakat secara masif menanam vetiver di lereng-lereng untuk mencegah tanah longsor. Akar rumput India ini bisa mengikat tanah hingga kedalaman empat meter. Daunnya bisa menjadi pakan ternak. Vetiver juga tahan api jika terjadi kebakaran.
Contoh keberhasilan penanam vetiver ada di Situ Cisanti, di hulu sungai Citarum, Jawa Barat. Vetiver yang ditanam di sekeliling danau membuat racun pelbagai sampai yang ada di sini menjadi terserap sehingga airnya kembali bening. Badan sungai curam yang biasanya longsor juga tertahan karena tanahnya terikat oleh akar vetiver.
Ikuti percakapan tentang tanaman pencegah banjir dan longsor di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :