Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 21 Maret 2024

Problem Nilai dalam Kehidupan

Ilmu menimbang benar dan salah. Beda cara melihatnya.

Nilai-nilai kehidupan

KALANGAN positivisme tidak bisa menerima jika nilai menjadi bagian dari realitas. Menurut penganut paham ini, nilai hanya hadir di dalam alam pemikiran atau perasaan manusia (knowing minds). Paling jauh, kalangan positivisme bisa menerima nilai sebagai suatu kondisi yang dinyatakan dengan mengasumsikan hal yang dimaksud baik atau buruk, benar atau salah. Misalnya, keputusan dalam pilihan ekonomi yang benar adalah mengikuti kaidah memaksimumkan kepuasan bagi konsumen atau kaidah memaksimumkan keuntungan bagi produsen.

Hubungan antara nilai dalam pengertian goodness/badness dari sesuatu, kondisi, atau situasi dengan nilai dalam pengertian rightness/wrongness dari kaidah pengambilan keputusan, dapat dilihat pada Table ini: 

Konstruksi Kayu

Perihal

Baik (goodness)

Buruk (badness)

Benar (rightness)

Keputusan benar, hasilnya baik

Keputusan benar, hasilnya buruk

Salah (wrongness)

Keputusan salah, hasilnya baik

Keputusan salah, hasilnya buruk

Jadi, dalam tataran nilai, dengan menyederhanakan pengertian nilai ke dalam dua dimensi yaitu nilai dalam pengambilan keputusan dan nilai dalam pengertian kondisi sesuatu, kondisi, atau situasi, kita bisa menghasilkan empat kasus sebagaimana dapat dilihat pada tabel di atas. 

Sebagai ilustrasi, dalam pengambilan keputusan dengan memanfaatkan statistika kita belajar dengan kasus Type I error, yaitu ketika pengambil keputusan menolak hipotesis nol (Ho) yang sebenarnya hal tersebut benar dalam realitas; sedangkan Type II error terjadi apabila pengambil keputusan tidak bisa menolak hipotesis nol (Ho) padahal Ho tersebut dalam realitas populasi sebenarnya salah.

Model pengambilan keputusan sebagaimana digambarkan pada tabel di atas, bagi kalangan positivisme, mungkin tidak menarik karena pandangan yang dianut mereka adalah nilai itu bukan bagian dari realitas. Namun demikian, bagi kalangan normativisme dan pragmatisme, nilai diyakini sebagai bagian dari realitas dan karena itu nilai menjadi subyek studi ilmu pengetahuan.

Bagi kalangan penganut normativisme, langsung tampak dari nama aliran ini, bahwa salah/benar dan baik/buruk adalah bagian dari realitas. Sebagai ilustrasi, dalam ilmu ekonomi kesejahteraan digunakan istilah utilitas (utility) sebagai istilah untuk menangkap makna kepuasan konsumen. 

Kalangan normativisme yang menerima nilai sebagai bagian dari realitas bisa menerima bahwa nilai utilitas Rp 100 bagi kaum miskin jauh lebih tinggi dari nilai yang sama bagi orang kaya. Bukan hanya itu. Kalau diterapkan skala kardinal atau rasio terhadap utilitas, ukuran pangsa pengeluaran pangan 10% dibandingkan dengan pangsa pengeluaran pangan 50%, menunjukkan tingkat kesejahteraan rata-rata rumah tangga dengan pangsa pengeluaran pangan 10% adalah 5 kali lebih sejahtera daripada rata-rata rumah tangga dengan pangsa pengeluaran pangan 50%. 

Diterimanya nilai sebagai bagian dari realitas oleh kalangan normativisme menempatkan masalah nilai dalam konteks yang lebih luas seperti moral, etika, integritas, solidaritas, nasionalisme, kejujuran, patriotisme, dan konsep-konsep yang senada bukan hanya menjadi bagian subyek studi tetapi juga menjadi pegangan hidup dalam menjalankan kehidupan. Semakin maju suatu bangsa, semakin mendalam pengetahuan dan perilaku bangsa tersebut dalam memegang teguh nilai-nilai di atas.

Paham yang menerima nilai sebagai bagian dari realitas, tetapi posisinya selalu dilihat berhubungan secara bolak-balik dengan pengetahuan bukan nilai (pengetahuan positif) adalah faham pragmatisme. Bagi seorang pragmatis keputusannya benar apabila keputusannya tersebut didukung oleh dua bank data, yaitu pengetahuan normatif dan pengetahuan positif sekaligus. 

Sebagai ilustrasi, keputusan terus makan nasi adalah benar (rightness) apabila makan nasi tersebut menyehatkan (goodness) dengan mengolah beras sampai pada beras pecah kulit saja, sehingga nasinya masih mengandung banyak rice bran (pengetahuan positif). 

Kekayaan akan paham positivisme, normativisme atau pragmatisme, atau eclectivisme sebagai faham yang bersifat holistik, sangat dipengaruhi oleh kekayaan kita akan pengetahuan disiplin yang dilahirkan dari hasil riset dan pengembangan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Pengetahuan disiplin adalah pengetahuan yang dihasilkan dari riset pada disiplin-disiplin ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, kimia, biologi, dan sterusnya.  Penerapan beragam disiplin ilmu pengetahuan terhadap pelbagai bidang studi akan memperkaya kita dalam pengetahuan tentang suatu subyek (subject matter knowledge), misalnya, pangan, pertanian, industri, lingkungan hidup dan seterusnya. 

Perlu diperhatikan bahwa kekayaan dalam pengetahuan tentang subject matter ini belum cukup untuk dikatakan bahwa pengetahuan mengenai problem solving sudah dicapai. Problem solving memerlukan pendekatan multi atau lintas disiplin ilmu pengetahuan, perumusan permasalahan yang dimiliki oleh pengambil keputusan, dan eksekusi serta pertanggungjawaban dari pengambil keputusan tersebut.

Proses pengambilan keputusan dalam problem solving research (Sumber: G. Jonson, 1986. Research methodology for economists : philosophy and practice, New York)

Tampak dari Gambar 1 bahwa problem solving research memiliki perbedaan yang nyata dengan disciplinary atau subject matter research sejak mulai pilihan landasan filosofi penelitian, perumusan permasalahan, kebutuhan pengetahuan dan sifat interdependensinya; status, posisi, dan karakter pemilik permasalahan, uji objektivitas yaitu workability; durability dari hasil riset; hingga pertanggungjawaban moral dari keputusan yang dibuat. 

Dengan memahami karakter problem solving research sebagaimana diuraikan mudah-mudahan dapat memperjelas  ragam dimensi penanganan yang diperlukan apabila kita akan memecahkan atau menjawab suatu permasalahan yang dimiliki oleh seorang pengambil keputusan atau permasalahan yang dihadapi oleh sekelompok pengambil keputusan yang memiliki permasalahan yang sama. Dalam konteks ini kita perlu berpegang pada falsafah eclectivisme yang mampu mensintesiskan aliran positivisme, normativisme, dan pragmatisme.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan IPB 1978, Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan (2005-2010). Sekarang Rektor Universitas Institut Koperasi Indonesia Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain