Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 30 Maret 2024

Teritip dari Laut Dalam Maluku

Teritip menjadi kekayaan alam Indonesia di laut dalam Maluku. Jarang ahli Indonesia yang meneliti.

Teritip laut dalam Maluku

TERITIP adalah kelompok hewan laut yang termasuk ke dalam udang-udangan (krustasea). Jadi, meskipun bentuknya bercangkang seperti kerang-kerangan, teritip lebih dekat kekerabatannya dengan udang, kepiting, dan lobster.

Teritip bisa hidup di hampir semua lautan di dunia, dari dasar laut sampai pesisir, dari laut tropis sampai laut di kutub. Teritip juga termasuk ke dalam kelompok biota kuno, muncul 510 juta tahun lalu. Mereka berhasil mempertahankan jumlah spesies dan kelimpahannya hingga saat ini. Tidak mengherankan jika banyak ilmuwan dunia tertarik mempelajari teritip. Salah satunya Charles Darwin, ilmuwan Inggris yang kesohor itu.

Selama delapan tahun dari 1846 sampai 1854, Darwin mempelajari dan meneliti teritip secara intensif. Dari penelitiannya tersebut, Darwin menulis empat buku monograf tentang teritip yang sampai sekarang jadi buku rujukan mempelajari teritip hidup maupun fosil.

Di Indonesia, penelitian tentang teritip masih jarang. Karena itu, jumlah jenis teritip di Indonesia tidak diketahui secara pasti dan belum tersedia daftar nama yang lengkap di semua taksa. Salah satu penelitian teritip Indonesia yang pernah dilakukan adalah studi teritip laut-dalam yang saya laukan pada 2020.

Untuk mempelajari teritip, saya pergi ke Muséum National d’Histoire Naturelle di Paris. Di sana saya mempelajari sampel-sampel koleksi teritip Indonesia.

Dari sekian banyak koleksi teritip Indonesia di museum nasional Paris, saya tertarik meneliti koleksi teritip ekspedisi Karubar. Ekspedisi Karubar adalah ekspedisi ilmiah yang dilakukan pada 1991 oleh peneliti gabungan dari Indonesia dan Prancis. Nama ekspedisi ini diambil dari singkatan nama-nama pulau lokasi penelitiannya, yaitu Kepulauan Kei, Aru, Tanimbar. Pulau-pulau tersebut pada zaman dulu menarik perhatian banyak ilmuwan, setelah Profesor Th. Mortensen, peneliti terkemuka Denmark, meneliti Kepulauan Kei pada 1914-1916.

Mortensen menyatakan kepulauan ini merupakan tempat yang ideal untuk laboratorium laut jika ingin mempelajari fauna laut dalam. Mortensen menemukan crinoid bertangkai, elasipoda, dan makhluk abisal lainnya yang biasanya hidup di laut yang sangat dalam. Di Kepulauan Kei organisme-organisme laut tersebut bisa ditemukan di kedalaman 200-400 meter saja.

Di museum Paris, saya mendata dan mempelajari spesimen teritip Karubar sebanyak 459. Dari keseluruhan spesimen tersebut, sebanyak 89 spesimen teritip saya pinjam untuk dipelajari lebih lanjut di Museum für Naturkunde (MfN), Berlin, Jerman. Di museum Berlin, saya menganalisis spesimen-spesimen teritip tersebut untuk mengetahui lebih detail data tentang morfologi dan molekulernya.

Teritip diidentifikasi secara morfologi dengan merujuk pada literatur-literatur kuno, termasuk monograf Darwin pada 1852 dan 1854. Karena kondisi sampel teritip yang sudah tersimpan cukup lama di museum menyebabkan DNA sampel telah banyak yang terdegradasi dan rusak sehingga data molekuler gagal didapatkan dari sampel-sampel teritip tersebut.

Pada penelitian ini, karakter morfologi yang dipakai untuk mengidentifikasi jenis teritip adalah ciri-ciri yang ada di cangkang, mulut, serta bagian kaki. Bagian cangkang (parietes serta operkulum) diamati menggunakan stereomikroskop Leica M125. Sementara bagian mulut dan kaki diamati menggunakan mikroskop cahaya. Selanjutnya, foto-foto karakter morfologi tersebut diambil dengan menggunakan stereomikroskop yang terintegrasi dengan kamera digital (Leica Microsystems M205C dan Leica Z16 APo-A).

Ekspedisi Karubar mengidentifikasi 40 jenis teritip yang termasuk ke dalam delapan famili. Pada penelitian ini, saya mencatat semua informasi mengenai spesies-spesies tersebut, termasuk deskripsi jenis, informasi terbaru tentang penyebaran jenis teritip, serta foto-foto teritip untuk membantu visualisasi identifikasi spesies teritip. Dari 40 jenis teritip Karubar, 30 teritip merupakan catatan baru (new record) untuk teritip di Kepulauan Kei dan Pulau Tanimbar di Indonesia.

Sebelum ekspedisi Karubar pada 1991, telah ada ekspedisi ilmiah lainnya dan mengambil lokasi di Kepulauan Kei dan Pulau Aru, yaitu ekspedisi Siboga pada 1899 oleh ilmuwan Belanda. Ekspedisi Siboga berhasil mengoleksi dan mengidentifikasi teritip Kepulauan Kei dan Aru oleh Hoek sebanyak 24 jenis dan sampai sekarang disimpan di museum Leiden. Selain ekspedisi Siboga, ada ekspedisi Denmark ke Kepulauan Kei pada 1922 yang mengumpulkan 67 jenis teritip dan disimpan di Museum Zoologi Universitas Kopenhagen. Namun, hanya empat jenis teritip yang secara eksplisit tertulis dikoleksi di Kepulauan Kei.

Jenis-jenis teritip lainnya tercatat dikoleksi di tempat-tempat lain di sepanjang rute ekspedisi ini, seperti Teluk Lampung, Krakatau, Laut Jawa, Selat Sunda, Selat Makassar Selat Makassar, Selat Tual, Banda Neira, Ambon, dan Teluk Saparua.

Penelitian-penelitian tentang teritip di Kepulauan Kei, Pulau Aru dan Tanimbar memperkaya pengetahuan kita tentang fauna teritip di Indonesia, khususnya di Kepulauan Maluku.

Selain itu, penelitian-penelitian tersebut membuktikan pentingnya koleksi spesimen yang disimpan di museum sebagai sumber ilmu pengetahuan keanekaragaman hayati. Di lain sisi, hasil penelitian ini juga memperkuat pernyataan ilmuwan Belanda bernama Hoeksema pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa wilayah Indo-Malayan (membentang dari Indonesia Timur hingga Filipina dan Kepulauan Solomon) sebagai pusat keanekaragaman hayati laut.

Jauh sebelumnya, Charles Darwin pada 1854 menyebutkan bahwa wilayah Indo-Malayan memiliki kekayaan spesies yang lebih besar dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya di dunia pada saat itu. Darwin memberi nama wilayah Indo-Malayan ini Hindia Timur (East Indian Archipelago), yaitu wilayah yang meliputi Filipina, Kalimantan, Papua Nugini, Sumatra, Jawa, Malaka, dan pantai timur India. Hindia timur ini dikategorikan Darwin sebagai provinsi teritip yang ketiga. Di provinsi ini, Darwin menemukan 37 spesies teritip, jumlah terbesar yang  saat itu, dibandingkan provinsi teritip lainnya yang ada.

Wilayah Indo-Malayan dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati bentik laut yang belum tergantikan oleh daerah mana pun di dunia. Oleh karena itu, beberapa penelitian dan ekspedisi ilmiah dilakukan di wilayah ini untuk mengungkap keanekaragaman biota laut, termasuk teritip. Sebagai contoh, tiga ekspedisi yang dilakukan di Filipina dari tahun 1976 hingga 1985 melalui ekspedisi Musorstom di Puerto Galera, Oriental Mindanao, Filipina. Secara keseluruhan, ketiga pelayaran ilmiah Musorstom ini telah berhasil mengumpulkan 78 spesies teritip, 43 di antaranya adalah catatan baru dan 12 adalah spesies baru teritip dari Filipina.

Selain itu, ekspedisi Panglao Filipina pada 2005 juga telah menambah jumlah temuan teritip dari Filipina, yaitu sebanyak 20 spesies teritip dengan dua di antaranya merupakan jenis yang baru bagi ilmu pengetahuan.

Sama halnya dengan perairan Filipina, perairan Indonesia bagian timur Indonesia juga memiliki keanekaragaman teritip yang tinggi. Baru-baru ini, telah terungkap bahwa Kepulauan Maluku di bagian timur Indonesia memiliki 97 spesies teritip, 23 di antaranya merupakan catatan baru dan dua spesies masih menunggu untuk proses pendeskripsiannya sebagai spesies baru.

Indonesia Kekurangan Taknosom Laut

Catatan penelitian-penelitian tersebut, ditambah dengan hasil penelitian ekpedisi Karuba, mengukuhkan kembali bahwa wilayah perairan Indonesia timur termasuk ke dalam wilayah yang merupakan hotspot atau pusat keanekaragaman hayati laut. Namun demikian, masih banyak jenis biota laut yang belum dideskripsi oleh ilmuwan, termasuk di dalamnya teritip.

Hal ini terjadi karena di Indonesia masih kekurangan ilmuwan yang ahli di bidang taksonomi laut. Ilmu penamaan kurang diminati masyarakat sebab dianggap kurang eksotis. Selain itu, menjadi seorang taksonom yang ahli membutuhkan waktu panjang, ketekunan belajar, serta ketelitian tinggi. Sebagian besar taksonom harus rela menghabiskan waktunya di laboratorium untuk mengamati sampel beserta dengan dokumen-dokumennya yang tebal dan berkutat dengan nomor-nomor katalog museum.

Di lain sisi, jumlah museum di Indonesia sebagai salah satu tempat para taksonom bekerja juga masih minim sehingga hanya sedikit ilmuwan Indonesia yang mau menjadi taksonom. Dari uraian di atas kita dapat memahami besarnya pekerjaan yang diperlukan untuk menemukan dan mendeskripsikan biota teritip yang ada di Indonesia secara ilmiah.

Pada saat bersamaan, kita melihat laju kehilangan biodiversitas semakin meningkat akibat perubahan tata guna lahan, pencemaran, pembangunan perkotaan dan faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, mengungkap keanekaragaman akan membantu mengarahkan dan memberi masukan bagi perlindungan atau pengembangan potensi keanekaragaman teritip Indonesia di masa mendatang.

Ikuti penelitian terbaru tetang teritip di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain