Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 01 April 2024

Akankah Kabinet Mendatang Bebas Korupsi?

Komposisi kabinet pemerintahan mendatang mencerminkan apakah disusun menghapus korupsi. Tapi apa itu korupsi?

Korupsi dalam penyusunan kabinet

KELEMBAGAAN adalah aturan main dalam suatu masyarakat. Masyarakat yang dimaksud bisa terikat oleh suatu organisasi atau ikatan lain. Dalam hal ini, aturan main tidak sekadar berupa peraturan-perundangan formal, juga menyangkut perjanjian yang mengikat terkait hubungan antar orang maupun lembaga, norma sosial budaya, juga dapat berupa kebiasaan yang telah disepakati secara turun-temurun. 

Korupsi di Indonesia telah melembaga. Tecermin dari indeks secara global yang hanya 34 dari 100. Karena itu kita mesti melihat korupsi keluar dari pendekatan hukum dan peraturan-perundangan, Ia tak lagi cukup untuk melihat akar korupsi yang sebenarnya. Sebab, lingkup korupsi dalam peraturan perundangan relatif terbatas, sementara praktik korupsi mencakup transaksi yang menghilangkan perlakuan setara atau keadilan bagi masyarakat luas.

Konstruksi Kayu

Transaksi dalam korupsi sering kali dilakukan oleh orang-orang yang mengaku apa yang dilakukan itu keliru, tetapi tetap dilakukan akibat hubungan struktural kelembagaan yang mengikat. Ada pula kondisi pembiaran korupsi, misalnya, puluhan juta hektare hutan alam produksi atau jutaan hektare hutan tanaman telah rusak dan tidak lestari. Tetapi tidak ada tinjauan dari perspektif korupsi. Padahal, sifat kejadiannya serupa dengan definisi korupsi menurut undang-undang, yaitu merugikan keuangan negara. Para pelakunya memenuhi syarat melawan hukum, akibat tidak menjalankan prosedur kerja yang diwajibkan serta memperkaya diri sendiri.

Hal itu sejalan dengan pandangan Paul Robbins, dua puluh tahun lalu, dalam bukunya The rotten institution: corruption in natural resource management. Robbins menyebut meski ada banyak bukti suap dan pertukaran ilegal dalam pengelolaan sumber daya alam, korupsi sebagian besar belum dieksplorasi dan tidak dimasukkan dalam teori dan deskripsi ekonomi politik interaksi lingkungan dan masyarakat. Bahkan sampai saat ini.

Praktik korupsi sudah menjadi sistem interaksi masyarakat yang diabaikan oleh penyelenggaraan negara yang secara terus-menerus dibentuk berdasarkan kekuatan sosial-politik. Bila kita membaca buku-buku mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, belum ada yang membahas isu korupsi secara mendasar. Belum ada upaya untuk memberikan penjelasan teoritis mengenai korupsi dalam interaksi sumber daya alam dan lingkungan dengan para pelakunya. Kecuali hanya menjadi renungan, memperlakukan korupsi sebagai pengecualian terhadap norma regulasi, anomali yang mengganggu, atau sebagai sebuah kasus gangguan yang tidak menguntungkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Transaksi korupsi secara formal juga belum dicatat oleh lembaga negara seperti Biro Pusat Statistik atau kementerian. Bahkan berbagai studi sosial ekonomi jarang menyinggung pengaruh korupsi terhadap kesimpulan. Sejalan dengan itu, pengamatan empiris terhadap korupsi masih menempatkan peneliti dan informan pada risiko yang tinggi. Bagi peneliti, akses terhadap obyek atau wilayah studi terancam, sementara informan berisiko terkena sanksi yang serius dan terkadang jauh lebih buruk. Saya dan beberapa teman sesama peneliti korupsi pernah menjadi obyek ancaman seperti itu.

Dalam penelitian korupsi yang menggunakan praktik ilmu sosial standar, termasuk kuesioner yang telah diuji dan sampel statistik pun menjadi sulit, bahkan tidak dapat diterapkan. Meningkatnya materi kasus yang menyebutkan korupsi, betapa pun samarnya, menunjukkan bahwa korupsi merupakan fenomena penting yang menjadi faktor penentu kajian ilmiah.

Untuk itu perlu teori atau setidaknya “fakta berulang” dengan berbagai faktor yang menentukannya. Korupsi di sini dapat dieksplorasi dari sistem pengaturan yang disesuaikan dengan praktik nyata di lapangan, praktik sesungguhnya oleh lembaga negara, pola kesenjangan kekuasaan formal dan informal yang terjadi. Semua itu bisa menjadi fakta yang menentukan kinerja pemerintahan sesungguhnya, bukan kinerja administrasi.

Dalam artikel saya di Forest Digest, kenyataan seperti itu saya sebut “dunia kedua”, yaitu kenyataan yang sesungguhnya terjadi, tetapi sangat jarang dibicarakan dalam pertemuan resmi. Adapun “dunia pertama” adalah pembicaraan formal dengan kondisi yang sesuai dengan fakta administrasi, yang tidak sesuai dengan kenyataan seperti pada dunia kedua. Dalam dunia kedua, bentuk-bentuk modal sosial yang korup mengikuti garis kekuasaan dengan kepatuhan birokrasi yang melampaui batas regulasi resmi, serta mereproduksi unsur-unsur politik birokrasi dan dipertahankan secara terus-menerus 

Dalam “Political corruption: Individual or institutional?” (2021), Emanuela Ceva dan Maria Paola Ferretti menyebut bahwa kualitas praktik kelembagaan bisa ditelusuri dari perilaku para pejabat atau pemegang otoritas, baik sebagai individu maupun terkait peran kelembagaan secara keseluruhan. Cara kerja demikian itu, disebut Ceva dan Ferretti, masuk dalam kategori “pendekatan kontinuitas” antara seseorang sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara untuk korupsi politik di lembaga-lembaga publik.

Cara kerja tinjauan korupsi seperti itu pada dasarnya menggambarkan bentuk keterkaitan perilaku para pejabat negara. Oleh karena itu, korupsi politik bersumber dari tindakan para pejabat negara di suatu lembaga, tidak peduli seberapa baik lembaga tersebut dirancang. Musuh internal di dalam lembaga negara ini merupakan musuh yang serius, karena tindakan korupsi para pejabat negara bisa menggagalkan apa yang disebut sebagai “raison d’être”, tujuan normatif yang memotivasi pendirian dan berfungsinya suatu lembaga negara. 

Dalam publikasi Susan Rose-Ackerman pada 2010, The institutional economics of corruption, korupsi terjadi ketika kekayaan pribadi dan praktik kekuasaan publik tumpang tindih. Misalnya, seorang pegawai perusahaan swasta melakukan pembayaran kepada pejabat publik sebagai imbalan atas suatu manfaat layanan atau untuk menghindari biaya yang lebih besar. Kini kenyataan itu dianggap wajar. Suap bisa meningkatkan kekayaan pribadi pejabat negara dan menjadi pendorong untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan kepentingan kelompok, bukan kepentingan publik.

Dengan begitu pendekatan kelembagaan dalam mempelajari norma dan kepemimpinan menjadi fondasi tindakan maupun landasan hubungan kekuasaan. Keduanya bertujuan menghapus korupsi. Dalam analisis seperti itu penting mempelajari jaringan mereka yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang, dengan pengaruhnya, mengubah praktik birokrasi bukan untuk kepentingan umum tetapi demi kepentingan mereka.

Pendekatan kelembagaan itu dapat pula akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti hubungan antara reorganisasi birokrasi dengan kinerja yang akan dicapai, dampak ukuran kinerja dengan efektivitas layanan publik, atau manfaat relatif dari sistem gaji. Memperbaiki kinerja birokrasi seperti itu untuk kasus Indonesia, biasanya terjadi pada masa pergantian presiden yang secara politik umum ingin menata fungsi kabinetnya.

Korupsi dalam bentuk suap menguntungkan penerima suap dan juga menguntungkan pihak yang menyuap, jika mereka dapat memperoleh manfaat yang tidak selayaknya diperoleh atau diperoleh dalam jangka waktu yang lebih cepat. Oleh karena itu, pejabat dan politisi yang korup mungkin berupaya melakukan reorganisasi negara justru untuk meningkatkan peluang memperkaya diri.

Niat ini bisa kita lihat dalam penyusunan komposisi kabinet dalam pemerintahan mendatang.

Ikuti percakapan tentang korupsi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain