PADA akhir abad XIX dan abad XX, hutan dipandang sebagai bagian dari planet bumi yang tidak bernilai kecuali sebagai sebagai cadangan lahan yang dinilai layak untuk dikonversi menjadi jenis penggunaan baru seperti pertanian, perumahan, kawasan industri atau perkotaan.
Sebagai ilustrasi, pada lima puluh tahun terakhir 1800-an, tepatnya setelah Abraham Lincoln mengeluarkan Homestead Act 1862 dan Morrill Act 1862 serta berdirinya Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA), pembukaan lahan hutan menjadi lahan pertanian di Amerika berkembang sangat cepat.
Pada tahun 1860, luas lahan pertanian di AS kurang dari 500 juta acres atau 202,3 juta hektare dengan jumlah petani sekitar 2 juta orang. Pada 1950, luas lahan pertanian di Amerika naik menjadi 406,6 juta hektare. Sekarang luas lahan pertanian Amerika kurang-lebih 396 juta hektare.
Amerika tahun 1931 bisa menjadi pembelajaran bagi dunia. Pembukaan lahan hutan atau belukar di sana selama 1860-an hingga 1930 menjadi areal pertanian mencapai sekitar 204,3 juta hektare. Akibatnya bencana alam yang luar biasa besar, yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yaitu datangnya badai debu atau dikenal dengan dust bowl.
Jadi, kalau kita membuat jarak waktu antara lahirnya Homestead Act pada 1862 dan datangnya bencana badai debu pada 1931, kurang-lebih hanya 70 tahun, tidak sampai satu abad. Sangat singkat.
Bencana tahun 1930-an itu, berakhir setelah sekitar 10 tahun dengan dampak jangka panjang terhadap ekonomi wilayah jauh lebih lama. Bencana kekeringan menghantam wilayah Barat-Tengah (midwest) dan dataran luas Selatan (Southern great plains). Bencana tersebut juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih parah.
Pada 1934, sekitar 14,2 juta hektare lahan yang sebelumnya diusahakan tidak bisa dipakai untuk bertani, sementara itu sekitar 50,6 juta hektare—sekitar tiga perempat luas Texas—dengan cepat kehilangan lapisan tanah paling atas (topsoil). Tahun 1930-an juga dilengkapi oleh bencana depresi besar ekonomi. Jika depresi ekonomi akibat kerakusan pasar modal Wall Street, dust bowl merupakan bencana akibat eksploitasi manusia terhadap alam.
Ketika saya masuk Fakultas Kehutanan IPB tahun 1974, luas hutan Indonesia sekitar 140 juta hektare. Luas Indonesia adalah 192 juta hektare. Jadi, luas hutan pada tahun itu sekitar 72,9 persen luas daratan Indonesia.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, kawasan hutan seluas 125.766.896,3 hektare. Hingga tahun 2023, sekitar 105.860.850,1 hektare telah ditetapkan dan sisanya sekitar 19.906.046,2 hektare dijadwalkan selesai pada 2024. Jadi, luas kawasan hutan Indonesia pada 2024 adalah 65,5% dari total wilayah daratan Indonesia.
Data agregat ini perlu dipahami secara hati-hati.
Pertama, seolah-olah 65,5% hutan tersebut terdistribusi merata di seluruh Indonesia. Pada kenyataannya distribusi hutan di Indonesia tidak merata. Kondisi hutan di Jawa dan Bali, misalnya, sudah jauh di bawah 30% dari luas wilayah kawasan ini. Angka 30% adalah arahan umum yang diberikan oleh ilmu pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).
Kedua, dengan berpegang pada pola struktur kepulauan, sebuah pulau memerlukan alokasi lahan untuk kebutuhan konservasi tanah dan air jauh lebih banyak intensitasnya dibanding daratan benua. Alasannya sederhana, jarak antara puncak gunung dengan pantai sangat dekat. Air hujan di hulu sungai, dalam tempo yang tidak lama, segera sampai di pantai sehingga kesempatan menggenani daratan menjadi pendek.
Ketiga, selain berstruktur kepulauan, Indonesia juga berada di wilayah tropika yang bersifat lembap, panas, dan basah, karena curah hujan relatif tinggi. Kondisi ini juga memerlukan proporsi lahan konservasi tanah dan air yang relatif tinggi.
Keempat, jumlah penduduk Indonesia yang banyak menuntut tingkat konservasi tanah dan air yang tinggi juga.
Jadi, bagaimana kita membaca hutan untuk masa depan?
Penghuni planet bumi telah meningkat dari 1 miliar jiwa pada 1800 menjadi 8 miliar lebih pada 2024. Padahal luas bumi konstan. Maka dengan peningkatan jumlah penduduk bumi 800% selama kurang lebih 200 tahun, atau 4% per tahun, kondisi lingkungan planet bumi ini sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi 200 tahun yang lalu.
Jumlah penduduk yang semakin banyak akan memproduksi limbah yang semakin banyak dan kompleks. Perkembangan teknologi di satu pihak memberikan banyak kemudahan dan kenikmatan hidup, pada saat yang sama menimbulkan banyak permasalahan.
Dunia bergerak ke arah yang lebih kompleks sebagai dampak dari inovasi global yang terus berkembang mulai dari era dampak penemuan mesin uap (1780-1830), pengembangan kereta api (1830-1880), industri elektro dan kimia (1880-1930), industri otomotive dan petrokimia (1930-1970), ICT (1970-2010) dan teknologi kecerdasan artifisial (2010-2050).
Keadaan itu mengundang pemikiran bahwa era ke depan merupakan era di mana siklus dunia ditentukan oleh keberhasilan masyarakat mengembangkan teknologi lingkungan yang bisa mengatasi permasalahan lingkungan hidup seperti pemanasan global, kepunahan spesies, dan permasalahan kesehatan akibat dari terus meningkatnya fenomena resistensi antibiotika.
Apa kaitannya hal yang diuraikan ini dengan makna hutan sebagaimana dijadikan sebagai judul tulisan ini?
Selama dua abad terakhir hutan dipandang sebagai waste land. Karena itu nilai ekonominya jauh lebih rendah dibanding lahan pertanian, perumahan, industri dan perkotaan. Maka, pada masa depan, apabila kehidupan umat manusia ingin berkelanjutan, hutan jadi memiliki fungsi yang menentukan.
Fungsi klasik hutan sebagai penghasil kayu dan hasil hutan non-kayu tetap berlanjut. Fungsi baru yang akan semakin berkembang dalam kehidupan masyarakat adalah fungsinya sebagai pengaman keberlanjutan kehidupan dunia mendatang (safety for sustainability).
Asimilasi gas-gas rumah kaca adalah salah satunya. Fungsi lainnya yang segera berkaitan dengan siklus air pada suatu wilayah adalah sebagai penyuplai bio-aerosol yang mempercepat pembekuan uap air menjadi es dan akhirnya menjadi air hujan. Kesehatan holistik akan sangat bergantung pada keberadaan dan pengembangan fungsi hutan, baik sebagai lingkungan yang indah dan menyehatkan maupun dalam penyediaan sumber-sumber obat alami.
Dengan singkat, hutan adalah sumber perlindungan dan sekaligus juga pengaman kehidupan masa depan penghuni planet bumi ini. Pengalaman Amerika Serikat yang telah membuka hutan secara besar-besaran menjadi lahan pertanian menjadi pembelajaran kita agar tidak dengan mudah mengubah hutan menjadi bentuk peruntukan lain.
Demikian juga pengalaman 7000 tahun yang lalu bangsa Sumeria yang meninggalkan reruntuhan kota Kish. Lowdermilk dalam bukunya yang diterbitkan dalam First USDA Bulletin No. 99, U.S. Department of Agriculture, Soil Conservation Service, 1939, dengan judul “Conquest of the Land Through Seven Thousand Years”, menulis: “Di daerah ini pertanian berkembang sejak 7000 tahun yang lalu, utamanya di dua tempat: Mesopotamia dan lembah sungai Nil di Mesir.”
Pengalaman dan sejarah itu memberi pelajaran satu hal: mengubah hutan menjadi pertanian yang lebih bernilai secara tidak berkelanjutan akan meruntuhkan sebuah bangsa.
Ikuti percakapan tentang pemanfaatan kawasan hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan IPB 1978, Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan (2005-2010). Sekarang Rektor Universitas Institut Koperasi Indonesia Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat
Topik :