KUTUKAN sumber daya alam itu memang ada dan nyata. Paradoks antara keberlimpahan sumber daya alam Indonesia, terutama sumber daya yang tidak terbarukan (seperti mineral) versus keterpurukan dan berbagai kerugian lain, mencuat kembali hari-hari ini setelah merebaknya kerugian ekologi fantastis dari korupsi timah.
Kutukan sumber daya alam merupakan tesis Richard Auty dalam bukunya Sustaining Development in Mineral Economies: the Resource Curse Thesis (1993). Auty memaparkan bagaimana negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah gagal memanfaatkan kekayaan itu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Para ahli kemudian menggali lebih dalam isu ini untuk menelisik pengelolaan sumber daya alam di suatu tempat: apakah menjadi berkah atau kutukan. Ini misalnya dilakukan oleh ekonom ternama, Jeffrey Sachs.
Sorotan terhadap pengelolaan sumber daya mineral kini kembali mengemuka. Pemicunya, karena beberapa selebritas, yang sering menampilkan kekayaan super mewah di media sosial, diciduk aparatur hukum. Mereka terjerat kasus korupsi tambang timah, yang berpusat di Kepulauan Bangka Belitung. Bukan main-main. Perkiraan kerugian negara, termasuk kerusakan lingkungan, diperkirakan sebesar Rp 271 triliun. Bisa jadi, inilah kasus korupsi terbesar yang (ketahuan) pernah terjadi di tanah air. (Baca: Bagaimana Menghitung Kerugian Ekologi Korupsi Timah)
Bagaimana dengan tambang lainnya? Contoh yang sudah lama lekat di masyarakat adalah batu bara. Di Kalimantan ada "haji-haji" terkenal yang kekayaannya juga tidak main-main. Nama para pengusaha batubara ini bisa dilacak di berbagai media, beserta tampilan harta mereka yang melimpah-ruah. Lalu ada pula contoh tambang lain, yang juga sedang naik daun, yakni nikel.
Adalah fakta bahwa Indonesia merupakan negeri yang kaya tambang. Bahkan sangat kaya. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2020, Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia untuk negara dengan kekayaan sumber daya geologi terbesar. Kekayaan sumber daya geologi tersebut mencakup berbagai jenis bahan galian, misalnya logam, non-logam, batuan dan batubara. Juga ada sumber daya energi besar yang dimiliki negeri ini seperti minyak bumi, gas alam, panas bumi dan uranium. Tak pelak, ini memang keberlimpahan.
Untuk timah, data World Population Review menunjukkan bahwa Indonesia merupakan penghasil timah terbesar kedua di dunia, setelah Cina. Selain itu, cadangan timah Indonesia juga yang terbesar kedua, sesudah Australia. Pada 2022, produksi Indonesia mencapai 74 ribu ton, sementara cadangan timah mencapai 800 ribu ton.
Indonesia juga penghasil batu bara terbesar ketiga di dunia, dengan produksi sebanyak 281,7 ton per tahun. Indonesia menempati peringkat kedua eksportir batu bara di tingkat global. Batu bara banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Contoh ketiga adalah nikel. Nikel juga merupakan salah satu jenis tambang berharga di Indonesia. Pada 2023 Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Jumlahnya mencapai 21 juta ton. Sedikitnya ada tujuh provinsi yang memiliki banyak tambang nikel berdasarkan jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP), yakni Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Sejatinya, dengan kekayaan tambang Indonesia yang luar biasa tersebut rakyat Indonesia sudah pasti hidup gemah ripah loh jinawi. Bagaimana faktanya? Apakah sudah banyak yang bisa menikmati kekayaan seperti para selebritis dan para haji batubara tadi? Perbandingannya bisa dilihat dari kondisi masyarakat yang berada di wilayah tambang-tambang tersebut.
Untuk timah, Kompas edisi 1 April 2024 menulis bahwa korupsi tambang timah sebesar Rp 271 triliun tersebut adalah "puncak gunung es" dari praktik pertambangan timah yang tidak memberikan manfaat. Dituliskan pula bahwa praktik culas membuat "si emas putih" itu hanya memperkaya segelintir pihak dan meninggalkan kerusakan lingkungan serta fenomena anak putus sekolah. Meski ada data yang menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di wilayah ini relatif jauh lebih baik dibandingkan wilayah lain di Indonesia, ternyata fenomena kemiskinan masih banyak ditemui.
Batu bara juga senada. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada 2019 menyebutkan bahwa wilayah tambang batu bara yang luas tak menjamin bisa menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran masyarakat sekitarnya. Di tujuh provinsi yang memiliki banyak tambang nikel ada kenaikan persentase kemiskinan sepanjang September 2022 hingga Maret 2023. Hanya Papua dan Papua Barat yang sedikit (bukan drastis) mengalami penurunan tingkat kemiskinan pada periode tersebut.
Riset JATAM, bahkan menunjuk pada 2019 sebanyak 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia rentan mengalami kerawanan pangan. Kemiskinan pun terjadi di wilayah-wilayah itu.
Dalam dua dekade terakhir kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan, menurut World Inequality Report 2022. Laporan itu menyebutkan, dalam kurun waktu 2001-2021 sebanyak 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional (total household wealth). Laporan itu menulis, "Sejak 1999 tingkat kekayaan di Indonesia telah tumbuh signifikan. Namun, pertumbuhan ini meninggalkan ketimpangan kekayaan yang hampir tidak berubah." Bisa jadi salah kelola tambang berperan besar dalam menciptakan kesenjangan tersebut.
Persoalan lain, dampak sekaligus penyebabnya, dalam pengelolaan sumber daya alam adalah korupsi, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial. Berbagai ironi atau anomali ini memang menjadi bukti adanya "kutukan" dari keberlimpahan SDA di Indonesia. Alih-alih jadi anugerah, tambang negeri ini tampaknya lebih banyak jadi "penuai badai" karena salah kelola dan berbagai praktik buruk lainnya.
Ikuti percakapan tentang tata kelola sumber daya alam di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Board Kawal Borneo Community Foundation dan anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia.
Topik :