Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 08 April 2024

Solusi Mencegah Detransformasi Ekonomi Indonesia

Sejak merdeka, ekonomi Indonesia mengalami detransformasi atau mundur. Bagaimana solusinya?

Detransformasi ekonomi Indonesia

DASAR pemikiran mengapa kita perlu melakukan reinterpretasi, reorientasi, dan reaklualisasi pembangunan nasional adalah bahwa fakta dalam periode kurang-lebih 70 tahun setelah merdeka, ekonomi Indonesia makin mundur. Setelah Indonesia merdeka terjadi detransformasi perekonomian Indonesia.

Sebagai ilustrasi, pada 2022 komposisi sektor jasa dalam produk domestik bruto (PDB) Korea Selatan, sebagai ekonomi negara maju, adalah 58,03%, sektor industri 31,73%, dan sektor pertanian kurang dari 2%. Sekitar 70% pekerja di Korea Selatan diserap oleh sektor jasa. Pada tahun yang sama, komposisi PDB Indonesia adalah pertanian, kehutanan dan perikanan 12,4%, manufaktur 18,3%, pertambangan 12.2%, dan sisanya jasa.  

Indonesia mengalami penurunan kontribusi sektor manufaktur dari 26% pada 1997 menjadi 18,3% pada 2022 dari nilai PDB nasional, atau terjadi penurunan sebesar 7,7%.  Pada 1997, PDB Indonesia pada harga berlaku mencapai US$ 215,75 miliar, naik menjadi US$ 1,32 triliun pada 2022.  Selisih PDB Indonesia tahun 2022 dengan PDB Indonesia 1997 adalah US$ 1104,25 triliun.

Dengan demikian nilai penurunan PDB Indonesia 7,7% dalam periode tersebut mencapai kurang-lebih US$ 85,02 miliar. Nilai ini setara dengan nilai rupiah pada April 2024 sekitar Rp 1.317,92 triliun. Selain berdampak terhadap pendapatan nasional, penurunan peran sektor manufaktur merupakan indikator yang sangat berbahaya dalam upaya peningkatan nilai tambah.

Kita layak menggunakan istilah “detransformasi” ini mengingat proses transformasi positif telah berkembang paling tidak sejak tahun 1970 hingga 1997. Dalam 27 tahun itu, kontribusi sektor manufaktur naik dari kurang lebih 10% dari PDB nasional pada 1970 menjadi 26% pada; atau kontribusi sektor manufaktur meningkat 16%.

Indikator detransformasi kedua adalah melemahnya sektor pertanian. Pelemahan sektor pertanian diperlihatkan oleh “guremisasi” pertanian rakyat yang terjadi bersamaan dengan fakta usaha perkebunan besar mendominasi penggunaan lahan yang sebelumnya berstatus kawasan hutan menjadi aset perusahaan perkebunan besar.

Pada 2021, menurut BPS, jumlah perusahaan perkebunan besar sebanyak 3.557 unit, dengan 2.892 unit atau 81,3% perusahaan perkebunan besar kelapa sawit. Andaikan perkebunan kelapa sawit itu menguasai 12,3 juta hektare, per perusahaan perkebunan besar menguasai lahan rata-rata sekitar 4.253 hektare. 

Pada kenyataannya, kepemilikan lahan perkebunan tersebut tidak merata. Sebanyak 25 perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar Indonesia menguasai lahan 5,8 juta hektare atau hampir setengahnya dari total luas perkebunan besar kelapa sawit Indonesia. Pola penguasaan lahan tampak sangat timpang.

Menurut Sensus Pertanian 2023, jumlah rumah tangga petani di Indonesia sebanyak 27.368.975. Sebanyak 17.248.181 petani Indonesia merupakan petani gurem, yakni petani yang menggarap lahan kurang dari 0,5 hektare. Andai 12,3 juta hektare perkebunan kelapa sawit milik perusahaan perkebunan besar itu didistribusikan kepada seluruh petani gurem, luas lahan milik petani gurem akan naik rata-rata menjadi 1,22 hektare. 

Proses seperti itu akan terjadi apabila struktur ekonomi yang berkembang di Korea Selatan berkembang di Indonesia. Artinya, perluasan lahan per petani akan terjadi dengan sendirinya apabila transformasi ekonomi nasional berkembang. Sebaliknya, apabila pola yang berlaku sekarang berlanjut, yang akan terjadi kedua kelompok pelaku ekonomi pertanian, yaitu petani gurem dan perusahaan besar pertanian, akan mengalami detransformasi secara simultan. 

Sebagai ilustrasi, tanpa perkembangan industrialisasi yang berarti, dengan kesamaan asal-usul suatu bangsa Eropa, dapat dilihat perbedaan perkembangan bangsa Eropa Barat di Amerika Serikat dan Kanada dibandingkan dengan bangsa Spanyol di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. 

Pendapatan per kapita Argentina pada 1860, misalnya, mencapai US$ 2.000 dan meningkat menjadi US$ 18.875 pada 2016. Selama 156 tahun pendapatan Argentina meningkat kurang-lebih US$ 108,17 per tahun. Sedangkan pendapatan per kapita Jerman pada 1860 berada tidak jauh berbeda dengan pendapatan Argentina, yaitu US$ 2613.00, lalu naik pesat mencapai US$ 44689.00 pada 2016.

Pendapatan per kapita Jerman naik US$ 42.076 selama 156 tahun atau mengalami peningkatan rata-rata US$ 269,72 per tahun. Peningkatan pendapatan per kapita Jerman ini 2,49 kali lipat atau 249% lebih tinggi daripada laju peningkatan pendapatan Argentina.

Kasus Argentina bisa jadi bahan pembelajaran bahwa model perkebunan besar sebagaimana yang berkembang di Argentina pada 1860-an hingga sekarang, yang dikenal dengan istilah latifundia (model perkebunan besar), tidak membuka peluang besar berkembangnya industrialisasi.  Sebaliknya model pertanian Jerman yang dikerjakan oleh para petani atau koperasi petani membuka berkembangnya proses industrialisasi.

Sektor ekonomi yang ketiga yaitu jasa. Sektor ini, dipandang dari kacamata transaksi global (Balance of Payment (BOP) untuk Jasa) merupakan sektor yang terlemah bagi Indonesia. Dalam transaksi jasa secara global, Indonesia belum pernah mencapai surplus. Bahkan, kebocoran dalam jasa ini sangat besar sehingga neraca keseimbangan perdagangan jasa dalam BOP jasa menjadi penyebab defisit dalam transaksi neraca berjalan secara keseluruhan. 

Sebagai gambaran umum, pada 1971 defisit perdagangan jasa baru mencapai negatif US$ 511 juta, naik menjadi negatif US$ 6,4 miliar pada 1980. Pada 1990, defisit dalam jasa ini naik menjadi negatif US$ 8,6 miliar. Pada 2000 kembali naik menjadi negatif US$ 17,04 miliar.

Sedangkan menurut data IMF yang disajikan oleh FRED, total defisit bersih transaksi berjalan pada 2024 diperkirakan mencapai US$ 40 miliar. Kebocoran jasa ini sebagian besar merupakan kebocoran dalam bidang perdagangan jasa keuangan. 

Dengan tren melemahnya ketiga sektor utama perekonomian nasional itu, apa kiranya yang bisa dan harus dikerjakan agar tren detransformasi ekonomi bisa dan kuat menjadi transformasi ekonomi sebagaimana teori dan praktik ekonomi yang telah membuktikan dirinya sebagai sumber kemajuan perekonomian suatu negara?

Dalam rumusan yang sangat singkat, sesuai amanah UUD 1945, yang perlu dikerjakan untuk membangun masa depan Indonesia yang adil dan makmur adalah menjalankan nilai dan praktik demokrasi ekonomi. 

Detransformasi adalah akibat, bukan kebab dari suatu proses. Penyebab akibat tersebut adalah nilai-nilai pembangunan ekonomi nasional yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi ekonomi, melainkan dilandasi oleh nilai-nilai feodalisme yang terus bergerak dinamis mencengkeram budaya pembangunan Indonesia. 

Nilai feodalisme yang berbasis pada rente tidak kompatibel dengan industrialisasi. Nilai ini yang tampak pada alokasi lahan sebagaimana digambarkan oleh kesenjangan yang sangat jauh antara petani dan perusahaan perkebunan besar. Bukan hanya tidak kompatibel dengan industrialisasi, juga akan menjadi bom waktu revolusi sosial pada waktu yang akan datang. Sedangkan detransformasi pada sektor jasa juga akan menjadi perangkap yang membuat perekonomian Indonesia tidak berdaya menghadapi kebocoran sektor jasa sebagaimana yang terjadi puncaknya pada 1997. 

Obat feodalisme dalam bidang ekonomi hanyalah demokrasi ekonomi dan demokrasi ekonomi pada dasarnya adalah pengamalan nilai-nilai koperasi.

Ikuti percakapan tentang ekonomi Indonesia di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan IPB 1978, Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan (2005-2010). Sekarang Rektor Universitas Institut Koperasi Indonesia Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain