DALAM kurun 300 tahun terakhir, dunia telah kehilangan 35% tutupan hutan. Dalam rentang 2015-2020, kita kehilangan hutan sebesar 10 juta hektare per tahun. Deforestasi berarti hilangnya keanekaragaman hayati dan lepasnya cadangan karbon hutan yang ikut mengeskalasi pemanasan global. Hilangnya hutan berkontribusi terhadap 10% perubahan iklim.
Menjaga dan memulihkan hutan yang rusak adalah misi global untuk mencegah perubahan iklim. Namun, memulihkan hutan bukan hal yang mudah. Berdasarkan studi di Global Change Biology, restorasi buatan manusia menghadapi tantangan berat.
Tim peneliti, yang dipimpin oleh Robin Hayward dari University of Stirling, mengamati dan menganalisis lebih dari 5.000 semai yang ada di area konservasi Lembah Danum dan Cagar Alam Ulu Segama di Sabah, Malaysia. Mereka mengamati ribuan semai itu selama 1,5 tahun.
Para peneliti lalu membandingkan kemampuan bertahan hidup dan keanekaragaman bibit di tiga tipe hutan, yakni hutan alami, hutan yang dibiarkan pulih secara alami, dan hutan yang dipulihkan dengan kegiatan restorasi. Dua hutan terakhir merupakan bekas hutan tebang pilih 35 tahun lalu.
Pada awalnya, hutan yang direstorasi punya kepadatan bibit yang lebih tinggi dibanding hutan alami dan hutan yang pulih secara alami. Namun setelah enam bulan, tingkat kematian bibit di hutan yang direstorasi secara buatan lebih tinggi dibanding kedua tipe hutan lainnya. Hal ini menunjukkan walaupun dengan aktivitas restorasi, bibit yang ditanam punya kemampuan bertahan hidup yang rendah.
Kemungkinan penyebabnya adalah bibit yang ditanam mengalami stres akibat perubahan lingkungan. Hutan yang ditebang telah mengalami perubahan struktur kanopi, kondisi iklim mikro yang berbeda, dan kondisi tanah yang belum matang. Alhasil, kondisi tersebut mendorong stres pada bibit dan membuat ia tak bisa bertahan hidup.
Namun, bukan berarti kegiatan restorasi menjadi sia-sia. Berdasarkan studi lain yang dipublikasikan di jurnal Science Advances, campur tangan manusia dalam restorasi hutan memiliki hasil yang lebih baik dibanding hutan yang dibiarkan pulih secara alami. Penelitian selama 20 tahun itu menunjukkan hutan yang ditanam oleh manusia punya jenis yang lebih beragam dan biomassa yang lebih tinggi dibanding hutan yang dibiarkan pulih secara alami.
Pada akhirnya, studi pertama mempertegas bahwa hutan yang telah ditebang akan sangat sulit dipulihkan. Butuh sumber daya, biaya, waktu, dan tenaga yang tak sedikit untuk memulihkan hutan mendekati kondisi aslinya. Pada akhirnya, menjaga kelestarian hutan adalah cara paling hemat dan efisien untuk mencegah perubahan iklim.
Studi tersebut juga memberikan sudut pandang baru, bahwa restorasi seharusnya tidak fokus menanam bibit sebanyak-banyaknya. Tapi juga memastikan bibit yang ditanam bertahan hidup. Pengawasan secara berkala menjadi poin penting untuk menjamin regenerasi hutan dalam jangka panjang. Teknik restorasi dan silvikultur yang dapat meningkatkan ketahanan hidup bibit juga perlu dikembangkan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :