KETIKA alam berbicara kepada kita dengan caranya, masih saja sebagian kita berbicara soal bagaimana memaklumi ketelanjuran atas kesalahan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya hutan. Alasan pemenuhan kebutuhan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, pendapatan negara berupa pajak maupun non pajak mencuat sebagai salah satu latar belakang yang kuat.
Forest amnesty, seperti gagasan Pungky Widiaryanto di Forest Digest edisi 11 ini, dinyatakan untuk pertambangan, perkebunan dan fasilitas umum/fasilitas sosial yang selama ini telah telanjur masuk ke dalam kawasan hutan.
Ada beberapa tanggapan sementara saya soal gagasan forest amnesty tersebut:
- Forest amnesty dianalogkan dengan tax amnesty atau pengampunan pajak. Pertanyaannya apakah hutan bisa disamakan dengan pajak? Gagasan ini sangat kental memandang hutan hanya sebagai komoditas daripada sistem penyangga kehidupan. Hutan dipandang tak lebih sebagai cash flow bagi negara daripada value bagi lingkungan dan keselamatan warganya. Eksternalitas lingkungan tidak dipertimbangkan secara mendalam. Lalu siapa yang akan bertanggungjawab atas keselamatan warga termasuk potensial terdampak dari perilaku tersebut? Tidakkah cukup berbagai bencana yang selama ini terjadi sebagai pelajaran? Ingat risiko dari perilaku tersebut bukan hanya dihadapi oleh pelaku sendiri tetapi juga warga yang berada jauh dari lokasi akibat dampak lingkungan yang dihadapi.
- Berbagai ketelanjuran tersebut memiliki tipologi yang berbeda-beda dan tentu membutuhkan penanganan serta pendekatan yang berbeda. Tidak bisa digeneralisasi. Bagaimana mungkin ketelanjuran yang diakibatkan oleh konflik kebijakan kita samakan penanganannya dengan ketelanjuran yang diakibatkan oleh kesengajaan merampok hutan dan tak sedikit karena perilaku koruptif dari perizinan? Bagaimana mungkin ketelanjuran dalam konteks lanskap yang berbeda posisi satu dengan yang lain beserta risikonya tersebut disamakan? Sungguh secara hukum dan etik tidak bisa kita terima dengan akal sehat.
- Gagasan forest amnesty berisiko mencampuradukkan antara persoalan pengakuan hak kelola masyarakat yang tergantung pada hutan dengan pelanggaran oleh korporasi. Alih-alih memperkuat berbagai program untuk pengakuan hak kelola dan konflik tenurial bagi masyarakat yang selama ini dianggap memiliki kelemahan oleh penggagas, forest amnesty justru berpeluang bagi terjadinya pemutihan secara terselubung terhadap perilaku ilegal yang terjadi oleh korporasi. Seharusnya pemerintah lebih berkonsentrasi menutup kelemahan-kelemahan dalam hal pengakuan hak kelola dan konflik tenurial bagi masyarakat, terlebih konflik tenurial tersebut tidak sedikit yang dimensinya masyarakat vs. korporasi.
- Jika atas nama kepastian hukum, seharusnya pemerintah mampu menahan diri mengeluarkan tindakan administratif seperti perizinan di atas areal hutan di mana kebijakan masih tumpang tindih sebelum mengharmonikannya terlebih dahulu. Tentu hal ini juga memerlukan pengawasan dan penegakan hukum, termasuk bagi oknum pemerintah sendiri yang berkontribusi atas pelanggaran tersebut.
- Terakhir, jika negara dianggap tak lagi mampu membenahi kekurangan-kekurangan yang telah disampaikan sebagai latar belakang gagasan tersebut, lalu apa makna negara hadir menjalankan mandat konstitusi bagi warga dan lingkungan hidupnya?
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law
Topik :